28 Tersiksa dengan Harapan

Hari-hari berlalu begitu saja usai peresmian cabang terbaru Da Lusi. Tante Lusi juga mulai disibukkan dengan ketiga restorannya, Ryan dan Om Sofyan tenggelam dalam rutinitas rumah sakit. Mereka pergi pagi, pulang menjelang maghrib, bahkan jadwal Ryan lebih buruk; pernah beberapa kali dalam seminggu dia pergi pagi, pulang pagi, dan beberapa jam kemudian kembali ke rumah sakit.

Sementara aku adalah manusia yang paling senggang, memiliki banyak waktu luang, tapi tidak tahu bagaimana bersenang-senang dan hampir mati kebosanan karena melewati hari demi hari tanpa melakukan apa-apa. Aku mengisi hari-hariku dengan berjalan-jalan di sekitar Kuala Lumpur. Mendatangi beberapa tempat yang Instagram-able, mengunjungi museum dan balai riset. Sesekali aku berakhir di bioskop dan berujung menonton film yang sama.

Tidak banyak yang bisa aku lakukan, belum lagi aku tidak punya referensi tempat yang bagus untuk dikunjungi. Mereka juga tidak bisa menemani karena rutinitas dan aktivitas yang tidak bisa diajak kompromi. Di tambah lagi, ayah dan bunda tidak mengizinkanku pergi ke kota lain jika tidak ditemani oleh Ryan atau orangtuanya.

Lengkap sudah, liburan ini hanya nama dan tidak berjalan sesuai rencana.

Sangat membosankan membiarkan waktu berlalu tanpa kegiatan apapun. Pikiranku menjadi lebih kusut dari sebelumnya. Belum lagi kehadiran Anne diam-diam menyiksaku tanpa ampun. Aku masih terpengaruh dengan kejadian malam itu, belum bisa menetralkan kecemburuanku dengan sosok Anne yang menjadi pasien kesayangan Ryan.

Ketika perlahan jawaban dan penjelasan yang ingin kutemukan muncul ke permukaan, realita itu tidak membuat semuanya menjadi lebih baik. Aku tidak bisa berdamai dengan hati dan menerima kenyataan. Terkadang, mengetahui kebenaran lebih menyakitkan daripada hidup damai dalam kebohongan.

Haruskah aku berhenti mencari tahu dan kembali ?

Realita itu membuat keadaanku menjadi lebih berantakan. Hal itu semakin diperburuk karena mereka tidak akan membiarkanku pergi dan menarik diri tanpa alasan.

Setidaknya, aku harus mencoba bertahan dan pelan-pelan melupakannya. Aku harus menenangkan hati, menatanya kembali, dan membiasakan diri.

Dengan begitu, bayang-bayang Ryan mungkin akan menghilang atau setidaknya memudar dari ingatanku.

Meski terdengar memaksakan diri, aku hanya berusaha menjadi lebih kuat dan berani menghadapi cinta dan takdir yang telah memilih jalan cerita sendiri.

Aku tahu, jatuh cinta bukan pilihan yang tepat, tapi tidak seorangpun mampu mengendalikan dan menggerakkan hati sesuai kehendaknya.

Saat ini, aku mencoba melemahkan dan mengalahkan perasaan itu. Berusaha memenangkan pertarungan hebat melawan hati untuk menghapus kenangan tentang Ryan, kenangan tentang cinta.

Tujuanku telah berubah. Aku tidak lagi ingin menemukan jawaban karena semua telah menjadi lebih jelas. Aku tidak punya pilihan, selain terlibat dalam pertarungan besar melawan musuh yang tangguh; hatiku, diriku, dan harapanku.

Aku hanya ingin mengalahkan hati dan memenangkan logika, sehingga tidak akan tergoyahkan dengan alasan sederhana yang telah kehilangan makna, yang kusebut cinta.

Sungguh tujuan luar biasa yang sulit menjadi realita. Sekalipun sudah kulafalkan secara berulang-ulang, tetap saja segala hal tentangnya telah menjelma menjadi kecanduan yang tidak ada penawarnya.

Akhir-akhir ini, perasaan dilema semakin dalam menguasaiku dan mengubah emosi. Aku semakin bingung dan kehilangan diriku secara perlahan.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri; mengapa aku berubah, mengapa harus dia, mengapa kedekatan berubah menjadi penghalang, dan mengapa banyak sekali kategori dari kasih sayang.

🍁🍁🍁

Saat raga masih bersamaku, jiwa telah mengembara jauh melewati batas dan ruang yang tidak bisa ditempuh dengan kesadaran.

Tiba-tiba aku tersadar sesaat sesudah Mak Mah mengetuk pintu kamar, mengingatkanku untuk makan malam. Aku mengikutinya dengan langkah lunglai tanpa semangat, tanpa rasa lapar meski belum menyentuh makanan apapun sejak pagi.

Aku memperhatikan Tante Lusi, Om Sofyan, dan Ryan yang tengah menikmati makanan yang disajikan. Aku memperhatikan mereka, lalu menatap lebih jauh melewati dan menembus dinding rumah menuju tempat yang jauh.

Aku sedang tidak bisa menikmati apapun, tidak merasa tergugah melihat makanan lezat yang tersaji di hadapanku.

Mengapa aku seperti ini, ini bukan aku. Aku tidak pernah seperti ini, tidak pernah sekacau ini. Tidak ada yang membuatku begitu sedih. Tidak ada sesuatu yang benar-benar mempengaruhiku. Kali ini seluruh rasa berkecamuk, menggores luka yang dalam di hati.

Aku telah mencoba, mencoba melupakan, mencoba membebaskan diri dari jeratan yang mengikat hati. Meski telah berusaha sangat keras, aku terus gagal dan kembali terluka oleh harapan yang sama, cerita yang sama, dan orang yang sama.

"Ara, Ara
", suara Tante Lusi mengagetkanku.

"Ara kenapa, makanannya gak enak ?", tanyanya lagi.

"Gak, makanannya enak kok", jawabku sambil mengambil suapan pertama untuk menutupi kekacauan yang menyerangku.

Mereka kembali tersenyum dan percaya dengan jawaban cliché. Aku tidak bisa membiarkan orang lain melihatku dalam masalah. Aku harus menyelesaikan kekacauan ini dengan baik. Kali ini mungkin butuh waktu, entah berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk mengembalikan hati seperti semula, sebelum merasakan cinta.

Sesudah makan malam, Tante Lusi dan Om Sofyan langsung ke kamar. Ryan juga telah beranjak ke kamar, aku pun memilih menenangkan diri dalam kesunyian. Pikiranku masih kacau dan belum netral. Selama ini rasa ini, cinta ini, kekecewaan ini, terpendam sekian lama. Aku tidak mampu bertahan lebih lama meredam segalanya.

***

avataravatar
Next chapter