27 Random Talk

Bayangan Ryan baru muncul setelah penderitaan panjang yang aku alami sejak tadi. Hatiku menjadi sangat sakit saat melihatnya. Laki-laki bodoh itu masih bisa tersenyum dengan manis padaku tanpa mengetahui apapun. Bagaimana bisa orang yang sangat cerdas sepertinya bahkan tidak menyadari perasaanku terhadapnya, apakah dia benar-benar buta atau hanya berpura-pura bodoh saja?

"Apa kita benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk bersama?", lirihku dalam hati bersama langkahnya yang semakin mendekat.

"Yok, pulang", ucapnya.

Ryan meraih tanganku di depan kedua orangtuanya dan hanya melirik mereka sekilas. Om Sofyan hanya tersenyum menatap Ryan, sementara Tante Lusi menatap heran padaku dan padanya, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi kehilangan kata-kata.

"Duluan ya Tante, Om", ucapku.

Aku selalu mengikuti Ryan tanpa pembantahan, membiarkannya menggenggam tanganku tanpa penolakan. Entah bagaimana, setiap kali bersamanya, aku merasa seperti tersihir oleh pesonanya.

"Hati-hati di jalan", ucap Om Sofyan tapi tidak ditanggapi oleh Ryan.

Dia melangkah maju tanpa ragu, bahkan tidak menoleh ke belakang. Tapi, dia masih menggenggam tanganku, tidak melepasnya hingga keluar restoran.

Ryan bersikap begitu ambigu, terlihat kesal tapi tidak benar-benar kesal, seperti marah tapi tidak benar-benar marah. Nampak baik-baik saja, tapi tidak baik-baik saja. Pada dasarnya, aku hanya tidak mengerti "mood-swing" seorang Ryan. Jadi, aku mengangkat tanganku yang masih menyatu dalam genggamannya sedikit lebih tinggi dan mencoba tersenyum untuk mencairkan suasana, tapi dia hanya menatapku tanpa mengatakan apapun.

"Kenapa?", tanyaku.

"Kenapa apanya?", jawabnya dan dia hanya menatapku.

"Em, udahlah. Ayo, pulang", sahutku yang hanya ditanggapi dengan anggukan sebelum dia melepaskan genggamannya.

"Ada apa dengannya malam ini?", batinku.

Kami pulang dalam keadaan sunyi, sama sekali tidak ada pembicaraan, Ryan hanya menyetir tanpa bersuara. Aku menatapnya dalam diam, tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Jadi, aku hanya menatap lampu jalan ketika dia fokus dengan setirnya. Hingga mobil sudah terparkir di depan rumah, dia masih tidak bicara sepatah katapun.

Aku keluar lebih dulu, meninggalkannya yang masih duduk diam. Memberinya ruang, waktu, dan privasi, kurasa adalah yang terbaik. Jadi, aku tidak bertanya meski penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dengannya.

Lima menit kemudian, aku berubah pikiran saat mendengar bunyi alarm mobilnya. Aku berbalik arah, menuruni kembali satu persatu anak tangga teras depan, dan berhenti tepat di anak tangga pertama. Tepat di hadapanku, Ryan yang baru akan menaiki anak tangga pertama nampak kaget saat melihatku.

"Kenapa?", tanyanya dengan masih mengangkat alis, tapi terdengar kurang bersemangat.

"Em, em...", ucapku terbata-bata tidak tahu harus mulai dari mana.

"Apa?", tanyanya.

"Em, tunggu, diam di situ, tetap di sana, jangan gerak dulu!", komandoku.

Dia menatapku dengan heran, tapi tetap menuruti permintaanku, berdiri tanpa melakukan perlawanan apapun. Lalu, aku meletakkan kedua tanganku pada pundaknya yang membuatnya kaget, matanya terbuka sedikit lebih lebar, tapi tidak melakukan apa-apa.

"Ada beberapa hal dalam hidup yang mungkin tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan, tapi selalu ada kebaikan yang tersembunyi di balik itu", ucapku yang masih menyentuh kedua pundaknya.

"Ya, kan?", tanyaku yang masih dengan posisi yang sama.

Ryan hanya mengangguk tanpa pembantahan, dan aku tidak bisa menahan senyuman saat dihadapkan dengan sisi penurutnya yang lebih menyerupai anak TK dan aku adalah gurunya.

"Dan, sebesar apapun masalah yang kita hadapi, semua pasti akan berlalu", ucapku.

"Satu lagi, jangan pernah lupa, Abang gak sendirian, kita semua akan selalu ada. Jadi, apapun masalahnya, jangan dipendam sendiri. Cerita! Biar kita bisa cari solusi sama-sama", lanjutku lalu melepaskan tanganku dari pundaknya.

"Kita semua, termasuk Ara juga ?", tanyanya.

"Ya, itu pasti", jawabku seraya meletakkan kedua tanganku pada kedua pipinya selama beberapa detik.

"You used to be someone who I've always relied on, even now you are. So, you can count on me too. Anytime, when you need me, I'll be right there by your side", lanjutku seraya mengelus rambutnya.

Mengelus kepalanya, memperlakukan Ryan seperti adik kecil adalah hal yang langka sekaligus menyenangkan. Aku hampir tidak pernah punya kesempatan untuk melakukan itu. Tapi, aku pernah memeluknya dulu, 15 tahun lalu, ketika Riana meninggalkan kami semua untuk selamanya. Sekarang pun, sebenarnya aku ingin memeluknya, memberi kekuatan, menyiratkan padanya bahwa aku akan selalu berdiri bersamanya menghadapi dunia, tapi aku tidak bisa melakukannya. Untuk memeluknya, dia harus menikahiku terlebih dahulu.

"Anytime?", tanyanya sambil memegang tanganku yang masih menyentuh kepalanya.

"Ya, anytime. You'll always have a lovely sister behind your back", ucapku yang tidak sepenuhnya jujur seraya meletakkan kedua tanganku pada kedua pipiku, bersikap narsis.

Dia tersenyum tipis, lalu memindahkan tanganku dari kepalanya, sepertinya jiwa kekanak-kanakannya sudah pergi, dan Ryan kembali menjadi dirinya sendiri.

"To be honest, a woman behind your back is all I want", ucapku seperti sedang berkumur dengan suara yang hampir tidak bisa didengar manusia.

"What did you say ?", tanyanya.

"Barusan Ara ngomong apa?", tanyanya lagi.

"Gak ada, gak ngomong apa-apa, random, cuma ng-rap", sahutku.

"Em, sejak kapan Ara belajar nge-rap?", tanyanya sambil menaiki anak tangga.

"Ryan Idroes, anda melewatkan banyak hal tentang saya. Apa kita harus kenalan dan pendekatan dari awal?", tanyaku setengah bercanda tapi sebenarnya serius.

"Kenalan dan pendekatan dari awal?", ucapnya mengulang kembali kata-kataku.

"Ara Sofia Ahmad", ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Sayed Ryan Idroes", balasnya sambil menyambut tanganku.

"Ah, lupakan Sayed. Ryan Idroes terdengar lebih bagus", ucapku.

"Dari dulu Ara kayanya gak suka banget sama gelar Sayed", balasnya.

"Bukan gak suka", jawabku.

"Tapi?", tanyanya.

"Sayed cuma bisa nikah sama Syarifah kan ya?", tanyaku sembarangan.

"Gak juga. Sayed juga bisa nikah sama yang bukan Syarifah", jelasnya.

"Nikah bukan tentang gelar, tapi tentang cinta dan kenyamanan", lanjutnya.

"Berarti kalau misalnya kita berdua sama-sama nyaman, kita juga bisa nikah?", tanyaku yang membuat Ryan terbatuk-batuk dan berdiri mematung di depan pintu.

"Semudah itu?", lanjutku yang berpura-pura bodoh seakan tidak mengatakan apapun yang salah.

"Apa? Siapa yang mau nikah?", tanya Tante Lusi yang baru saja kembali bersama Om Sofyan.

"Mereka yang mau nikah", jawab Om sangat lancar dengan nada tidak keberatan.

"Bukan, bukan kita yang mau nikah. Tapi kita lagi bahas tentang pentingnya cinta dan kenyamanan dalam pernikahan", ucapku yang mencuri start karena memergoki Ryan seperti akan memberi penjelasan.

Lebih baik bersikap seakan menolak daripada tertolak, meskipun sama-sama menyakitkan, tapi setidaknya harga diri terselamatkan. Tapi, mungkin juga sejak awal aku telah salah mengambil langkah hingga sangat sulit kembali, apalagi memperbaiki jalan yang telah hancur karena diriku sendiri.

"Hmm, pasti tidak secepat itu prosesnya ketika dua orang dengan IQ superb jatuh cinta", ucap Om Sofyan random.

"Proses apa?", tanya Tante Lusi.

"Proses untuk memiliki menantu dan menimang cucu", jawab Om Sofyan santai.

🍁🍁🍁

avataravatar
Next chapter