webnovel

1. Malam kelam

Bising, ramai, riuh dan tidak terkendali. Itulah keadaan saat ini, di sebuah klub malam seorang wanita tengah membuat keributan. Dia mengamuk dan memaki semua yang bertanya padanya.

"Vina, jangan begini dong. Tolong jangan membuatku malu," kata seorang pelayan dengan seragamnya yang tengah menangani seorang pengunjung klub yang membuat kekacauan tersebut.

"Kenapa? Aku membayar mahal untuk minum di sini. Lalu mengapa aku tidak boleh bicara di sini?" tanya Vina dengan nada kesalnya ia sudah tidak memiliki pikiran jernih lagi. Otaknya sudah terpengaruh alkohol.

Si pelayan tersebut kemudian memberikan ttagihan kepada Vina. "Baiklah, segera bayar ini dan keluarlah. Kepalaku sudah hampir pecah gara-gara kamu!" ketus Sasa sahabat dari Vina.

"Ini Aku bayar!" Vina dengan sombongnya megeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dan mendarat tepat di depan batang hidung Sasa.

Sasa mendengus kesal, ia bahkan memutar bola matanya malas. "Dasar! Ini kartu dari showroom mobil second!" ia memekik kesal tepat di hadapan Vina namun Vina justru tertawa terbahak-bahak.

"Argh! Sudah tidak ada solusinya lagi selain Vinca. Dasar Kakak tidak berguna!" maki Sasa pada Vina yang tengah meracau dan menggerayangi tubuhnya dengan mulut yang tidak berhenti bernyayi.

Sasa mulai menghubungi seseorang di seberang sana. Seseorang yang selalu menjadi andalan Vina si pemalas dan juga tidak berguna. Vinca, si adik yang justru menjadi tumpuan dari kakaknya.

"Hallo!" seru Sasa menyapa Vinca yang masih setengah terbangun. "Vin," panggil Sasa pada Vinca tetapi yang menyahut justru Vina.

"Hemmh?" sahut Vina dan membuat Sasa mendorong tubuhnya untuk menjauh hingga terjatuh dan tergeletak di lantai klub.

"Bukan kau, tapi adikmu!" Sasa memekik kesal.

"Sasa! Selesaikan mengurus temanmu itu atau ku potong gajimu bulan ini. Lama sekali," keluh manager Sasa.

"Baik Pak!" sahut Sasa segera dengan nada kesal.

"Kau dengar itu? Jangan sampai aku kehilangan pekerjaan gara-gara kakakmu ini. Cepat jemput dia, aku harus segera bekerja!" ujar Sasa pada Vinca dengan cepat lalu menutup panggilannya tanpa banyak basa-basi.

Vinca yang baru membuka matanya itu hanya bisa menghela napasnya dalam-dalam dan kemudian bergegas menjemput Vina. Vinca menyadari bahwa ia sama sekali tidak memiliki pilihan dalam hal ini. Vina adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini.

Ayah dan ibu Vinca meninggal saat kecelakaan tragis terjadi. Nasib sial seolah tengah mengintai Vina. Ia baru saja di pecat dan harus menemui fakta yang menyakitkan lainnya. Pacarnya tertangkap basah berselingkuh dan membuatnya patah hati.

Dan di sanalah dia sekarang, mabuk dan berantakan. Vina sangat hancur sekarang, Dunia seolah tengah menusuknya secara terang-terangan. Hanya sang adik yang dapat ia andalkan saat ini.

***

Vinca menjemput Vina masih dengan menggunakan gaun pesatanya. Ia baru saja menghadiri sebuah peresmian restoran milik pacarnya. Vinca berpenampilan cantik meskipun baru saja terbangun dari tidurnya.

Vinca memakai gaun berwarna merah menyala dan terlihat bagaimana langsing siluet tubuhnya. Rambutnya pendek sebahu, dan terselip separuh sebelah kanan memperlihatkan jenjang leher yang begitu menggiurkan bagi kaum Adam. Ia berjalan memasuki klub dan langsung menemui sang Kakak.

"Lama sekali?" omel Sasa pada Vinca yang sedari tadi sudah lelah menjaga Vina.

"Maaf Kak, aku terlalu lama menemukan tempat ini. Kenapa dia memilih tempat yang paling mewah di sini?" tanya Vinca dengan mata yang memindai mengamati sekitarnya.

"Mana aku tahu?" ketus Sasa. "Bayar!" Sasa mengulurkan tangannya meminta bayaran pada Vinca.

"Astaga, dia belum membayarnya?" pekik Vinca terkejut.

Ini sudah ketiga kalinya dalam satu bulan kakaknya membuat kekacauan seperti ini. Tetapi, jujur saja ini yang terparah. Ia sampai harus membayar sejumlah tagihan yang besar.

Tidak ada pilihan, Vinca kemudian mengeluarkan kartu kredit miliknya. Dengan berat hati dan sempat tarik-menarik dengan Sasa seolah ia tak rela. Sasa yang kesal akhirnya menarik kuat sampai Vinca melepaskannya.

"Kak, kenapa kau hanya membuat ulah saja?" gumam Vinca memandangi sisa minuman yang masih ada tiga perempat botol.

"Minum, ayo minumlah! Kita party malam ini. Party, party yeah!" cicit Vina.

Vinca mendengus kesal. Akhir-akhir ini hubungan dan pekerjaannya juga tidak sedang baik-baik saja. Ia tanpa pikir panjang menenggak minuman keras itu langsung dari botolnya.

"Aku sudah membayar mahal untuk semua ini. 20 juta untuk minuman sialan ini, rasakan! Kini kau ku telan mentah-mentah!" umpat Vinca sebelum menghabiskan minuman keras yang cukup membuatnya oleng.

Vinca itu sama sekali tidak pernah mabuk sebelumnya. Tetapi beban hidup dan juga pikiran membuatnya menenggak minuman pahit tersebut. Sasa kembali membawa kartu kredit milik Vinca, ia pikir Vinca akan tetap berada di tempatnya.

Tetapi siapa sangka Vinca terlihat sudah duduk di pangkuan salah seorang pria yang sangat Sasa takuti. "Mati saja, kenapa kau mendatangi harimau itu?" gumam Sasa yang kemudian memasukkan kartu kredit Vinca ke dalam tasnya.

"Maaf Tuan, itu teman saya," kata Sasa pada seseorang yang berperawakan tinggi gagah dan tengah duduk mengenakan black suit.

"Sayang, kamu jangan marah begitu dong? Aku hanya sibuk bekerja, bukan sibuk dengan pria lainnya," Vinca meracau, ia berbicara sambil terus bergelayut dan memainkan dasi Maxim si pemilik klub tersebut.

Maxim menatap datar dan dingin Vinca. Tetapi Vinca justru terus mengusapnya penuh sentuhan lembut dan sesekali menciumi pipi Maxim. Sasa hanya bisa melongo melihat kejadian tersebut.

"Dia temanmu?" tanya Maxim pada Sasa.

"I iya Tuan," jawab Sasa dengan terbata-bata.

Maxim berusaha untuk melepaskan rengkuhan Vinca, tetapi Vinca justru semakin erat menempel bahkan gundukan miliknya kini menempel di wajah Maxim. Sasa semakin tergelak, ia menengguk ludahnya kasar.

"Ambil dia kalau bisa," kata Maxim yang syarat akan sejuta makna.

Sasa segera berusaha untuk melepaskan Vinca dari Maxim. Tetapi Vinca justru menangkup wajah Maxim lalu menciumnya dengan lembutnya. Ia kemudian menatap lembut wajah Maxim.

"Sayang aku masih mau sama kamu," kata Vinca saat Sasa berusaha untuk melepaskannya.

"Aku siapamu?" tanya Maxim pada Vinca yang penuh akan makna manipulasi.

"Sayang, kamu itu pacar aku!" jawab Vinca tanpa rasa malu.

"See! She is my girlfriend, don't touch her!" kata Maxim singkat dengan sorot mata tajamnya membuat Sasa mundur tak berani membantahnya.

"Tapi Pak!" Sasa keberatan.

"Pilih pulang dan kunaikkan gajimu 3 kali lipat, atau ku pecat sekarang?" tanya Maxim.

"Syuh! syuh!" Vinca mengibaskan tangannya mengusir Sasa.

Kesal dengan sikap Vinca, Sasa kemudian pergi meninggalkannya. Sasa lebih memilih memesankan taksi untuk Vina dan kembali bekerja. Sementara Vinca bagaimana nasibnya?

Vinca menghabiskan malam panjangnya dengan Maxim. Ia kewalahan melayani sosok perkasa yang terus menggarapnya semalaman. Entah berapa kali, tetapi yang jelas keduanya kini terkulai lemas di atas ranjang empuk milik Maxim.

Siapa sangka, pagi harinya sang Kakek datang berkunjung ke apartemen mewah milik Maxim tanpa pemberitahuan. Bel berbunyi berkali-kali membangunkan keduanya yang masih nyenyak berada di atas ranjang. Sang Kakek dan asistennya setia menunggu di depan pintu.

"Kak, buka pintunya!" ucap Vinca yang belum sepenuhnya sadar sambil menepuk-nepuk wajah Maxim.

Vinca mulai merasakan sesuatu yang aneh, sejak kapan kakaknya memiliki bulu-bulu ditangannya? Dan, sejak kapan pula kakaknya memiliki jakun?

"Eungh!" Maxim melengkuh dengan suara bass-nya membuat Vinca terbelalak seketika.

Vinca langsung terduduk dan berusaha mengamati wajah Maxim yang juga sayup-sayup melihatnya. Maxim terlihat biasa saja, memang 'One Night Stand' sudah sangat biasa baginya. Namun Vinca, ia seketika membelalakkan matanya dan mengamati wajah Maxim.

"Si-siapa kau?" tanya Vinca.

"Aku yang seharusnya bertanya padamu, siapa kamu mengapa sampai bisa di dalam kamarku?" ketua Maxim dengan santainya.

Vinca hanya bisa melihat dan mengamati sekitarnya dan kemudian melihat tubuh polosnya. Ia segera menutupinya dengan selimut. Namun Maxim justru menertawakannya.

"Buat apa kau tutupi, semalam saja kau yang membuka sendiri dan memberikannya secara cuma-cuma padaku." Maxim bangun lalu memakai celana dalamnya tanpa rasa malu sedikitpun pada Vinca.

Sedangkan Vinca memekik keras saat melihat senjata pribadi milik Maxim. Maxim menatapnya datar lalu melemparkan baju milik Vinca tepat di wajahnya. Ia kesal dengan sikap Vinca yang sok suci di matanya.

"Tutup mulutmu berisik! Tidak usah sok suci!" sarkas Maxim berbicara.

Maxim keluar begitu saja dan membukakan pintu untuk tamu yang ia nilai tak sabaran. Maxim bersiap untuk menyembur si pengetuk pintu tersebut. Siapa sangka jika yang mengetuk pintu itu adalah sang Kakek yang tengah melakukan infeksi dadakan.

"Lama sekali kamu hanya membuka pintu saja!" ketus Kakek yang kemudian masuk.

"Kek, jangan masuk!" Maxim melarangnya akan tetapi sang Kakek tetap masuk tanpa menghiraukannya.

"Max, siapa itu yang menangis di kamar?" tanya Kakek pada Maxim.

Maxim sedang tertangkap basah sekarang. Baru satu bulan lalu ia membuat perjanjian dengan sang Kakek. Perjanjian yang mengatakan bahwa jika sekali lagi Maxim tertangkap tengah membawa wanita masuk ataupun melakukan sesuatu yang tak lazim di lakukan sebelum pernikahan, maka Kakek berkuasa untuk menikahkannya tanpa bantahan sama sekali.

"Tidak ada Kek," kata Maxim yang kemudian berlari menghalangi pintu kamarnya agar si Kakek tidak masuk.

Maxim tidak suka berkomitmen, tetapi ia suka menggarap wanita. Itulah yang Kakek tidak sukai, akan sampai kapan cucunya itu seperti itu? Menjadi bajingan dalam silsilah keluarga ternama.

"Menyingkir atau ke tembak kepalamu?" kata Kakek dengan mengeluarkan sepucuk senjata api miliknya.

Maxim mundur dan mempersilahkan sang Kakek untuk masuk. Mata kakek menyipit beberapa kali lalu kemudian menatap Maxim. Ia terlihat sangat marah sekarang ini.

"Nak, pakai bajumu dan kita bicara sekarang juga!" ujarnya pada Vinca yang masih meratapi kebodohannya.

'Kejadian bodoh apa ini? Mengapa aku malah berada dalam lingkaran setan begini. Keperawanan ku, yang ku jaga dengan segenap jiwa dan raga, justru lenyap begitu saja. Dan, siapa dia?' batin Vinca menerka-nerka.

"Pakai bajumu, apa kau tuli?" seru Maxim berbicara pada Vinca dengan nada marah.

Kakek menatapnya tajam. "Jaga nada bicaramu, masih ada aku di sini," kata Kakek penuh penekanan.

Next chapter