18 Suara Abiseka sedingin es. Ditambah sorotan mata tajamnya membuat Senopati Satya membeku ditempat.

"Terlambat? Apa yang terlambat?" suara seorang gadis tak jauh dari tempatnya berdiri mengejutkan Abiseka.

Pria itu berbalik, membelakangi air sungai, menyelipkan tangan kanannya ke belakang, kemudian menggunakan jari telunjuknya, untuk menembakkan sebuah sinar biru ke aliran air sungai sehingga air sungai tersebut tak lagi menampakkan suasana Kerajaan Wijaya.

"Terlambat... menangkap ikan" sahut Abiseka berusaha setenang mungkin.

Gisell mendekati Abiseka merasakan sesuatu yang ganjil pada sikap Pria di depannya. Ia melongok memperhatikan kedua tangan Abiseka yang disembunyikan di belakang punggungnya.

Tidak ada barang yang sedang disembunyikan, pikir Gisell. Kali ini ia memperhatikan air jernih sungai di balik punggung Abiseka. Tetap tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Anehnya, kenapa kelakuannya sangat mencurigakan?!

"Retno!!"

Gisell tertegun mendengar suara seseorang di belakangnya. Bahkan Abiseka menatap orang yang tak jauh dari Gisell itu dengan tatapan syok.

"Menjauh darinya!!" perintah orang tersebut sambil menarik tangan Gisell ke arahnya. Hingga tubuh si cantik ini tertarik berputar dan menubruk sang pemilik suara.

"Senopati Adi?!" kata Gisell tertahan. Matanya menyiratkan keterkejutan luar biasa sekaligus kelegaan.

Sring!!

Ujung pedang Senopati Adi di arahkan tepat ke ujung leher Abiseka.

"Jangan menyerang orang sembarangan!" teriak Gisell pada Adi lalu menurunkan pergelangan tangan Adi yang memegang pedang dengan kuat.

Abiseka langsung menghilang tanpa jejak setelah Gisell berhasil membebaskannya dari ujung pedang Adi. Sementara dua Pelayan jadi-jadian tadi, kembali kewujud aslinya lalu kabur begitu saja.

"kamu membela dia?! dia sudah menculikmu," protes Adi.

Kejutan seolah datang bertubi-tubi hari ini. Seperti saat ini wajah Senopati Adi jelas sangat berbeda dari hari dimana, sebelum Gisell menghilang. Tapi entah kenapa, Gisell masih bisa mengenali sosok Pria yang pernah dicintai Retno ini.

Gua hutan terlarang.

Pendaran sinar putih terlihat di dalam gua. Disusul hembusan angin, membuat dua obor yang menyinari gua sempat berkedap-kedip.

"Yang Mulia. Hamba mendapatkan sinyal bahaya dari Anda. Ada masalah apa?" ternyata Mantri Dasa Prana sudah menunggu kedatangan Abiseka di dalam gua.

"Aku tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi" wajah pucat Raja Abiseka menjelaskan betapa besarnya masalah sang Raja kali ini.

"Dimana Putri Retno Yang Mulia?" kini Mantri Dasa Prana merubah wujudnya ke wujud aslinya. Menjadi sosok Senopati Satya Rajendra Pradipta.

"Bukankah kau pergi bersama jiwaku yang lain?!" suara Abiseka sedingin es. Ditambah sorotan mata tajamnya membuat Senopati Satya membeku ditempat.

"Masalah itu..., apa hubungannya dengan kejadian yang Anda alami?" tampak si Senopati sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.

"Oh, jadi menurutmu apa yang terjadi di sini tidak ada hubungannya dengan jiwaku yang lain?!" hardik Abiseka berkobar-kobar.

"Ampun Yang Mulia. Hamba kemari ingin memberi tahukan masalah tentang jiwa Anda yang lain, sekaligus ingin mengetahui apa yang sedang terjadi pada Yang Mulia" Satya menyadari ada masalah besar kali ini.

Celakanya, setelah ia kehilangan jiwa yang lain dari junjungannya di saat dalam perjalanan pergi mengunjungi beberapa Desa yang bermasalah. Ia tak menyangka akan ada masalah lain menyertai.

"Katakan dengan jelas apa yang terjadi?! kenapa jiwaku yang lain menjadi tidak dalam kendaliku lagi?!"

Perintah sekaligus pertanyaan junjungannya ini justru sangat mengejutkan Senopati Satya.

"Yang Mulia. Kami diserang oleh orang-orang tidak di kenal dalam perjalanan. Senopati Adi jatuh ke jurang setelah sempat terdesak oleh kawanan bandit"

"Saat hamba mencari Senopati Adi di titik lokasinya jatuh, hamba justru kehilangan jejaknya. Lalu tak lama kemudian hamba mendapatkan sinyal bahaya dari Anda" Satya mencoba menjelaskan sedetail mungkin.

"Jatuh ke jurang?" Abiseka meninju dinding gua gusar.

"Apa ada yang sengaja mengacau ilmu pemecah jiwaku sebelum serangan itu di lakukan? Tapi apa tujuannya?" gumam Abiseka pelan.

"Tidak mudah membuat jiwa seseorang yang telah terbagi mengikuti kemauan orang lain. Kecuali...." Satya tidak berani melanjutkan.

"Kecuali jika jiwaku yang lain mati, maka cukup besar kemungkinan jiwa orang lain lah yang memasuki ragaku yang lain" desis Abiseka menyadari fakta mengerikan ini.

Sudah lama ia menggunakan keahliannya memecah jiwa. Dan tubuh keduanya, yaitu Senopati Mahasura Adiwilaga adalah tubuh yang tidak mudah ditumbangkan selama puluhan tahun. Baru kali ini, Adi mengalami kecelakaan dan tubuhnya malah dikuasai jiwa orang lain.

Siapa yang mencuri tubuh keduaku?! geram hati Abiseka.

Sungai hutan terlarang.

"Ayo kita pergi dari sini" Adi menggapai pergelangan tangan Gisell berniat membawa gadis itu keluar dari hutan terlarang. Ia geram kepada siapa pun yang menculik Retno dan membuangnya ke hutan terlarang.

"Adi berhenti"

Tapi Pria tersebut justru tak menghentikan langkahnya. Gisell justru panik ketika menyadari ia akan kembali ke Istana sekarang.

"Adi!! aku belum bisa kembali!!" teriak Gisell, berjuang untuk melepaskan tangannya dari Adi.

"Omong kosong apa ini?" Adi tampak marah.

"Jangan terlarut dalam drama aneh di dunia ini. Ingat Gisell, ini bukan tempatmu dilahirkan" tegas Adi berbisik di telinga Gisella.

Deg!!

Deg!!

"Bagaimana kamu bisa tahu nama asliku?" jantung Gisell hampir berhenti mendadak saking kagetnya.

"Kenapa? bukannya kamu yang menulis skenario film drama kolosal ini? bahkan kau sendiri yang memilih pemeran utama Prianya. Dan sekarang kamu tidak mengenali identitasku?" bisik Adi lagi.

Kedua mata mereka bertemu saling menyelidiki satu sama lain.

"Angga," sahut Gisell masih tak percaya.

"Riwangga Van Rendra?!" pekik Gisell membuat Angga yang kini menjadi karakter Adi, terpaksa menutup mulut gadis itu rapat-rapat.

"Hey! kita tidak diijinkan menyebut nama asli kita disini. Harusnya kau tahu itu. Kan kamu yang menentukan peraturannya?" bisik Angga pelan.

"Aku yang menulisnya tapi bukan aku yang membuat peraturan seperti itu" Gisell mengelak sekaligus sedikit berbohong.

"Jadi Monica waktu itu bersi keras mengatakan kalau namanya Candrani karena peraturan ini,"

"Monica ada di dalam Istana Wijaya?"

"Ya, namanya Candrani. Dia Dayang yang melayaniku"

"Kau selama di Istana berakting dengan sangat bagus ya, sampai aku bisa merasakan seolah aku ini benar-banar Retno," pancing Gisell.

"Selama ini? maksudmu?" Angga menggaruk kepalanya bingung.

"Dengar. Aku tidak sadarkan diri entah sampai berapa lama. Yang aku tahu, begitu aku bangun, aku... sudah terbaring di dasar jurang. Tubuh ini penuh dengan darah. Aku pikir, akan mati di sana karena kehabisan darah."

"Tapi keajaiban muncul. Darahnya berhenti mengalir bahkan lukanya dengan cepat mengering. Tubuh ini sangat luar bisa" jawab Angga panjang lebar.

"Adi... ada di dasar jurang? dan kau baru sadar setelahnya?" Gisell memucat. Air matanya menetes tak terkendali bahkan ia hampir kehilangan kesadaran.

Angga menggapai lengan Gisell menyadari sebentar lagi gadis itu akan tumbang.

"Jangan bertingkah seolah kau ditinggal mati pacarmu. Bangun!" ucap Angga menepuk-nepuk pipi Gisell agar gadis itu tersadar dari syoknya.

Apa itu artinya Adi mati? Kenapa kau sangat syok begitu junior? kemarin ditolak-tolak... giliran mati di tangisi. sindir si Penulis asli. Tiba-tiba tulisannya muncul silih berganti di atas awan.

avataravatar
Next chapter