23 Masih diam seribu bahasa

"Apa maksudmu? Kalau itu bukan Senopati Adi, lalu siapa?" Abiseka mencoba memancing reaksi Retno.

"Yang jelas itu bukan dia yang aku kenal selama ini. Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskannya pada siapa pun" tegas Gisell cemas. Ia memaki dirinya sendiri karena hampir saja bocor.

"Karena dia bukan dirinya lagi, apa dengan begitu akan ada kesempatan kau lari dari Istana, denganku?" goda Abiseka berharap besar jika Retno mau memberinya kesempatan sungguhan.

"Bukan kah akan lebih menyenangkan bila kau mendapatkanku dengan seizin Romo? kenapa kau selalu membuatku berpikir kalau kau terlalu terburu-buru?" Gisell menatap mata Abiseka kosong.

"Aku takut sebelum sempat terwujud nyawamu sudah melayang lebih dulu di dalam lubang neraka yang kau banggakan sebagai Istana Wijayamu" keluh Abiseka.

Gisella melihat sekaligus mendengar ada nada tak berdaya dalam setiap ucapan Abiseka.

Aneh.... pikir Gisell.

Dihati Retno jelas hanya mencintai Adi. Seharusnya, ketika Angga menggantikan karakter Adi, perasaan Retno tak sedalam dulu. Tapi... sampai Angga menghilang dengan wajah masam, keinginan Retno untuk mengikuti Adi palsu itu masih sangatlah kuat.

Anehnya lagi, Retno juga tak ingin mengecewakan Abiseka. Jantung Retno seolah ada dua buah sekarang. Yang satu berdetak untuk Senopati Adi, dan satunya lagi bergetar hanya ketika sedang bersama Abiseka.

Gisell terus memikirkan hal ini, hingga terlihat melamun di mata Abiseka.

"Setidaknya jika kau tidak nyaman disekitarku, kau bisa berpura-pura bersikap biasa saja. Kalau kau diam begini, aku jadi merasa bahwa akulah yang berusaha memisahkan kalian berdua" Abiseka ikut duduk di samping Retno.

"Bukan itu yang aku pikirkan Abiseka" sahut Retno lirih. Ia menoleh ke Pria itu lalu terkekeh lirih.

Hah... seandainya dunia ini mendukung untuk menikahi dua Pria sekaligus. Pikiran bodoh itu tiba-tiba muncul.

Tidak tidak! jelas bukan aku yang sedang berpikir begitu. Retno, jangan rusak pikiranku dengan angan-anganmu yang liar itu!! teriak Gisell dalam batinnya.

"Kurasa aku sudah mulai sedikit gila" kini Retno menundukkan kepala.

"Jadi, pikiran gila apa yang bisa membuatmu sampai melamun begitu lama?" Abiseka bertanya lembut sambil menggeret beberapa kayu untuk membuat perapian. Karena langit, sudah berangsur-angsur menggelap.

"Entah kenapa ketika aku melihat kembali sosok Adi tadi, aku merasa itu bukanlah dia. Sebaliknya, kau terasa seperti Adi yang selama ini aku kenal"

"Kalau begitu, kau berusaha mengembalikan akal sehatmu?"

"Apa lagi? memang apa yang bisa kulakukan selain itu? kalian adalah dua manusia yang berbeda. Bagaimana mungkin kau dan Adi adalah orang yang sama" tandas Retno seolah sedang menggerutu dengan keras.

Alam bawah sadarnya menyadari bahwa kami sesungguhnya adalah satu. Tapi pikirannya berusaha menyangkal kenyataan itu. Entah ini keuntungan atau kemalangan untuk ku. Abiseka sedikit kecewa.

"Kau hanya merasa ingin lari dari kenyataan" balas Abiseka sambil mengulurkan tangan ke dekat perapian.

"Abi, ku harap kau bisa memberikan penjelasan kenapa pemikiranmu terhadapku sedangkal itu?"

"Sederhana. Sejak awal hatimu hanya ditujukan kepada Senopati Adi. Lalu ketika kenyataan mulai menampar dirimu, karena semua sudah tidak dapat dirubah lagi. Adi telah ditetapkan menikahi saudarimu Reswani"

deg...

deg...

Gisell diam mematung. Menunggu kalimat lain meluncur bebas dari mulut Abiseka. Meski menyakitkan hati.

"Karena itulah, ketidak berdayaanmu ini, mendorongmu untuk menempatkan laki-laki lain sebagai pengganti kasih sayang Adi yang hilang" ucapan Abiseka seperti ratusan anak panah yang dihujamkan tepat ke jantungnya.

"Baiklah, kalau kau keberatan" Gisell menggantungkan kalimatnya sejenak.

"Setelah aku keluar dari tempat ini, maka sudah tidak akan ada lagi alasan untuk kita berdua saling bertemu"

"Aku hanya membuat sedikit penilaian tentangmu. Bukan berarti aku sedang menyatakan keberatan" tandas Abiseka sambil menghadap ke arah Reswani.

"Kau memang jauh dari kata normal" desis Gisell.

Bukan reaksi ini yang diinginkan Gisell. Ia justru ingin Abiseka merasa kecewa dan memutuskan untuk tidak menghantuinya lagi!

"Apa?!" ketus Abiseka bersungut-sungut.

"Apa kepalamu tadi terbentur? sampai otakmu jadi tersumbat? kau baru saja berasumsi bahwa aku telah, menjadikanmu sebagai seorang Pria cadangan. Seharusnya kau marah"

"Itu harapanmu bukan?" kekeh Abiseka. Ia sekarang kembali ke posisi awal dan mulai bersila.

"Lupakan saja pertengkaran ini. Fokuslah untuk berlatih bela diri besok" tambah Abiseka setelah memejamkan kedua mata.

"Bilang saja kau mulai bosan harus terus melindungiku. Kau sengaja mengajariku agar aku yang lemah ini, bisa melindungi diriku sendirikan?" gerutu Gisell.

Dia tidak suka dengan kegiatan fisik yang berat. Jangankan berlatih bela diri. Olah raga saja jarang dia lakukan di dunia nyata.

"Kurasa kepalamu terluka ringan setelah jatuh dari kuda. Tapi sekarang aku berubah pikiran. Setelah pulang ke Neraka Wijaya, kau harus segera diperiksa Mantri"

"Lukaku sudah sembuh, kenapa dibahas lagi?"

"Otakmu tidak bekerja dengan benar. Apanya yang sembuh,"

"Apa maksudmu?"

"Kau pikir semua orang disekitarmu bisa terus menjagamu? apa kau senaif itu? mereka termasuk diriku, punya urusan sendiri. Jadi saat waktu itu tiba kamu masih bisa bertahan hidup dengan ilmu bela diri yang ku ajarkan" kali ini Abiseka merasa usaha pemulihan energi jiwanya akan sia-sia mengingat Retno sangat cerewet malam ini.

"Hanya dalam jangka waktu seminggu kau melatihku? dalam mimpi pun aku tidak yakin bisa menguasai bela diri dengan waktu sesingkat itu" cicit Gisell merasa lirikan Abiseka mampu melubangi wajahnya sekarang.

"Apa kamu sedang ingin meneriakkan kata hatimu? kalau aku ini guru yang buruk?" Abiseka memicingkan mata penuh selidik.

"Hanya perasaanmu saja"

"Benarkah? kenapa aku merasa hari ini kau berbohong satu kali padaku?"

"Tidak. Aku tidak pernah berbohong. Pohon damar putih itu buktinya. Kalau aku berbohong, damar putih itu akan tersambar petir" elak Gisell kesal sambil memalingkan wajahnya.

Bledar!!

Tak lama kemudian apa yang diutarakan Gisella terjadi. Suara keras petir menyambar pohon damar putih hingga tumbang. Ia melompat kaget menghambur pada Abiseka ingin berlindung.

Yang Ada Pria itu malah dirobohkannya dalam sekejap mata. Karena terkejut dengan kejadian petir yang menyambar pohon damar, sekaligus Retno yang melemparkan diri padanya, tanpa sengaja Abiseka berteleportasi masuk ke dalam gua.

Mereka masih diam seribu bahasa, dengan posisi yang sama persis dengan posisi sebelum mereka berteleportasi ke dalam gua. Kedua mata mereka beradu dan seolah sulit untuk bergerak.

"Ehm. Putri Retno," Abiseka memulai percakapan sambil mengerjapkan matanya setelah tersadar dari keterkejutannya.

"Saya Pria normal. Kalau Anda 5 menit lebih lama lagi berada di atas saya seperti ini," desis Abiseka memicingkan mata.

"Saya tidak berani menjamin bisa menahan keinginan saya untuk menerkam Anda" kali ini ada sedikit nada peringatan dalam suara Abiseka.

Gadis di depan matanya langsung kembali pulih dari keterkejutannya setelah mendengar peringatan Abiseka. Ia langsung bangkit dan lebih memilih duduk bersandar di pojokan gua. Sambil mengawasi Abiseka dengan sikap waspada penuh.

Melihat reaksi berlebihan dari belahan jiwanya itu, Abiseka memalingkan wajahnya dari pandangan Retno menggunakan kesempatan itu untuk tersenyum geli.

"Bertapalah sejenak. Kita bisa memanfaatkan energi positif alam untuk meningkatkan stamina sekaligus pemulihan diri" tuntun Abiseka, mencontohkan sikap bertapa yang benar kepada Retno.

"Selama kita bertapa tidak boleh kemana-mana. Jadi jangan khawatir aku akan memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan darimu" tegas Abiseka menatap tajam mata Retno yang masih saja terlihat penuh kecurigaan terhadapnya.

avataravatar