7 Rara Menangis?

Rara menatap pantulan dirinya di cermin. Eza benar-benar keterlaluan, memaksanya turun dari mobil dengan banyak kissmark di lehernya. Rara bersumpah akan membalas pria itu.

Ia segera berlari ke minimarket di depan kampus dan membeli concealer. Dan disinilah ia sekarang, di toilet wanita dan tengah menggunakan concelaer untuk menutupi kissmark di lehernya.

"Rara?"

Suara seseorang mengagetkan Rara, ia segera memasukkan concealer ke dalam tas. Menoleh dan mendapati Sandra berdiri di belakangnya.

"Sejak kapan kau memakai make up?" tanya Sandra penuh rasa penasaran. Ia sempat melihat Rara memasukkan concealer ke dalam tas.

"Ah ini... tidak, aku hanya ingin mencobanya," kata Rara dengan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Kau mulai belajar pakai make up?" tanya Sandra penasaran, pasalnya Rara sebelumnya tak pernah memakai make up, tepatnya tidak bisa memakainya. "Kenapa tidak mengatakannya padaku? apa kau lupa sahabatmu ini ratu make up?!" Sandra bersedekap dada menatap Rara dengan sebelah alis meninggi.

"Hehehe, maaf Sand tiba-tiba aku ingin dan tidak terpikir meminta bantuanmu, maaf ya." Rara mengatupkan dua tangan meminta maaf dengan ekspresi wajah dibuat-buat.

"Ish... dasar kau ini, tapi tunggu, kenapa kau memakai concealer hanya dilehermu?" Sandra memperhatikan leher Rara dengan seksama.

"Ah, ini... aku baru mencobanya di leher dan kau mengagetkanku," Rara tersenyum kikuk.

"Benarkah?" Menatap Rara penuh curiga. "Kalau begitu mana, biar aku yang memakaikannya kewajahmu, aku juga membawa make up dalam tas agar semakin membuatmu sempurna." Menengadahkan tangan meminta concealer Rara dari dalam tas.

"Apa? tidak usah Sand, lain kali ya," kata Rara dengan gugup, ia tidak suka memakai make up tebal.

"Kau ini bagaimana? kau bilang ingin latihan memakai make up?" tanya Sandra penub selidik.

"Iya tapi tidak sekarang, sudah ya sebentar lagi kelasku dimulai, aku duluan." Rara segera pergi dari toilet mengabaikan panggilan Sandra.

"Hm... seperti ada yang ia sembunyikan," gumam Sandra.

***

Rara berjalan menuju kelas, ia menunduk menyembunyikan lehernya agar tak terlihat. Meski sudah memakai concealer tetap saja ia merasa risih dan malu jika ada yang menyadarinya.

"Ra!" Seseorang menepuk bahunya dari belakang membuatnya menoleh.

"Kak Alex?"

"Hai." Alex tersenyum. "Bagaimana kakimu? sudah lebih baik?" tanyanya kemudian dengan memperhatikan kaki Rara.

"I- iya Kak," jawab Rara dengan menunduk. Ia harap pria itu melupakan kejadian kemarin.

"Sebenarnya siapa orang itu?" tanya Alex.

"Maksud Kakak?" Rara pura-pura tidak tahu, ia menatap arah lain. Ia belum memikirkan alasan apa yang harus ia katakan.

"Yang kemarin, apa dia kekasihmu?" tanya Alex dengan hati-hati.

"A- apa? ti- tidak," jawab Rara dengan ragu.

"Tapi dia bilang...," ucapan Alex menggantung.

"Di- dia hanya pria aneh yang terus menggangguku," kilah Rara.

"Benarkah? apa aku perlu mempringatkannya agar tidak mengganggumu?" kata Alex khawatir.

"Tidak usah Kak, lama-lama dia pasti akan bosan menggangguku," kata Rara dengan tersenyum palsu.

"Oh... begitu...." Alex menggaruk pipinya yang tak gatal dan menatap arah lain. Ia tak ingin memaksa Rara mengatakan yang sebenarnya, jika memang ada sesuatu dengan mereka rasanya ia belum siap mendengar dan menerimanya.

"Kakak belum masuk kelas?" tanya Rara.

"Iya sebentar lagi, sebentar lagi kelasmu dimulai bukan?" kata Alex mengingatkan.

"Ah, iya."

"Baiklah semangat ya," kata Alex dengan mengangkat lengan menyemangati Rara. "Kalau begitu sampai jumpa." Alex berjalan melewati Rara dengan melambaikan tangan, namun baru beberapa langkah ia kembali berbalik. "Apa dia akan menjemputmu, lagi?" tanyanya dengan melihat ke arah lain, ia tak berani menatap Rara karena merasa wajahnya mulai terasa panas.

"Aku... tidak tahu," jawab Rara dengan menunduk menatap ujung sepatu flatshoes miliknya.

"Jika dia tidak menjemputmu, aku bisa mengantarmu," kata Alex dengan semburat kemerahan di wajah tampannya.

Sakura seketika mendongak memperhatikan ekspresi wajah Alex, bahkan ia dapat melihat wajah pria itu sedikit merona merah. Tanpa ia sadari pipinya juga mulai bersemu merah, ia melirik Alex dan arah lain bergantian. "Ba- baiklah Kak," kata Rara dengan suara kecil namun masih dapat didengar oleh Alex.

"Ba-baiklah, sampai jumpa." Alex kembali berbalik dan berjalan menjauh. Tanpa Rara sadari Alex menutup wajahnya dengan sebelah tangan dan seulas senyum tipis terpatri dibibirnya.

Rara kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas. Ia memasuki kelas yang sudah ramai. Duduk di tempat duduknya kemudian membenturkan kepalanya ke meja. Pikirannya kacau, seakan ribuan lebah terbang tak tentu arah di dalam otaknya. Eza, mertuanya, keluarganya dan Alex semua terbayang dalam ingatannya. Ia tidak bodoh, ia sadar mingkin Alex menyukainya. Jika saja ia tidak terjebak dengan Eza mungkin ia akan dengan senang hati bersama Alex, membiarkan pria itu mengantarnya kemanapun ia mau, makan bersama dan semua hal yang dilakukan pasangan kekasih. Tapi ia telah terikat dengan Eza, kalaupun Eza melepasnya nanti apa Alex masih menerimanya yang sudah menjadi barang bekas pakai?

"Ra- Rara."

Rara mengabaikan panggilan teman di sebelahnya. Ia masih memikirkan semuanya juga cara membalas Eza. Pria itu tak boleh menindasnya seenaknya saja. Dia sudah mengambil hartanya dan tak akan ia biarkan menghancurkan hidupnya, ia masih muda dan masa depannya masih panjang. Menjadi janda di usia muda tidak akan menghalangi langkahnya.

"Naura! jika kau tidak ingin mengikuti pelajaranku kau boleh keluar!" teriak dosen botak dari depan kelas.

Rara terjingkat kaget dan seketika menegakkan badan. "Ma- maaf Pak Troy," kata Rara dengan menunduk.

Dosen botak berwajah garang menatapnya tajam sejenak kemudian memulai pelajaran.

"Kau kenapa Ra? tadi aku sudah memanggilmu tahu," kata teman disebelahnya yang bertanya pada Rara dengan berbisik.

"Hehe, maaf Al aku hanya sedikit mengantuk," bisik Rara dengan tersenyum malu.

Alfian nama pria itu hanya memberi Rara acungan jempol dan tertawa lebar dengan bersembunyi dibalik buku yang ia tegakkan.

"Haah...." Rara menghela nafas berat. Karena memikirkan Eza ia sampai tak sadar jika guru tanpa rambut itu sudah masuk kelas.

***

"Bagaimana harimu hari ini Nona?" goda Eza saat Rara baru masuk ke dalam mobil.

Sementara Rara hanya diam tak berniat menjawab dengan memalingkan muka.

Eza terkekeh kecil, namun ia terdiam saat menyadari leher Rara sudah bersih dari kissmark ciptaannya.

"Apa yang kau lakukan?!" Menyibak kerah baju Rara dan menyadari sesuatu.

Rara tertawa remeh. "Sayang sekali caramu membalasku tidak berhasil," kata Rara dengan bangga. Mengusap lehernya menggunakan tissu basah membuat Eza tahu jika Rara menggunakan concealer untuk menutupi karyanya.

"Ck, sialan!" batin Eza.

Drt... drt... ponsel Eza bergetar. Ia segera mengangkat panggilan dari sang ibu.

"Hn?"

"Masa hukumanmu belum selesai Za! kau harus tetap membawa Rara pulang kesini." Suara Nyonya Arya begitu jelas ditelinga Eza.

"Hn," jawab Eza sekenanya. Ia tak mau berdebat dengan sang ibu. Bahkan ibunya belum selesai bicara pun ia sengaja mematikan sambungan telephon.

Eza memasukkan ponselnya ke dalam saku jas kemudian melirik Rara yang duduk dengan tenang.

"Jangan senang dulu kucing kecil, meski ibu melindungimu bukan berarti kau bebas," batin Eza.

Eza menatap Rara penuh seringai. Rara merasakan Eza terus menatapnya, saat ia menoleh ia dapat melihat seringai Eza kian melebar.

"Jangan menatapku seperti om-om mesum!" kata Rara dengan menatap Eza nyalang. Ia menyilangkan dua tangannya di depan dada.

"Kenapa? sah-sah saja bukan? jika kau lupa kita sudah menikah." Eza melonggarkan dasi dan mendekatkan tubuhnya pada Rara.

"Apa yang akan kau lakukan?!" Rara mulai was-was.

"Bukankah ide yang bagus jika kita bermain disini? mencoba hal baru?" Melempar jasnya ke jok belakang dan mulai membuka kancing kemejanya.

"Kau gila! ini di mobil dan masih di depan kampus!" teriak Rara yang semakin khawatir.

"Bukan masalah, selama kita sah sebagai suami istri kita berhak melakukannya dimanapun." Eza menarik tangan Rara. Menurunkan jok mobil dan menindihnya.

Sementara di luar, Alex tengah memperhatikan mobil Eza.

"Ini seperti mobil orang itu," batin Alex. Ia berjalan melewati mobil itu namun berhenti sejenak dan memperhatikan. Mobil itu bergoyang membuatnya curiga hingga membuatnya teringat Rara. Mengambil ponselnya dari saku celana dan menghubingi nomor Rara. Sekali, dua kali, hingga panggilan ketiga dan tetap tak mendapat jawaban.

"Bukankah itu kekasihmu?" kata Eza dengan menunjuk Alex dari dalam mobil dengan dagunya.

Mengikuti arah pandang Eza dan Rara tahu itu adalah Alex yang mulai berjalan menjauh.

"Bagaimana perasaannya saat tahu kita tengah bermain, disini?" Seringai mengejek terpatri di bibir Eza.

"Kau benar-benar pria brengsek!" kata Rara yang meringkuk memeluk tubuhnya, ia menangis.

Eza terkejut, istrinya menangis untuk pertama kalinya. Bahkan saat ia menghabisinya dimalam pertama mereka wanita itu sama sekali tak meneteskan air mata dan justru menatap nyalang padanya.

"Jangan bersandiwara di depanku, air matamu sama sekali tak ada artinya," kata Eza dingin.

Rara bangun dan membenahi pakaiannya, mengusap kasar air matanya dan menatap keluar jendela mobil. Eza sudah keterlaluan, bagaimana jika Alex melihatnya? meski kaca terlapisi film gelap tetap saja Alex pasti masih ingat ini adalah mobil Eza dan mungkin curiga saat melihat mobil bergerak. Mengambil ponsel dari dalam tas dan benar saja, tiga panggilan tak terjawab dari Alex.

Hatinya berdenyut nyeri, bagaimana jika Alex tahu? air matanya kembali menetes. Mengusap air matanya kasar dan melirik Eza tajam, ia akan membalasnya, membalas Eza hingga pria itu tak dapat melakukan apapun.

avataravatar