webnovel

Rahasia Sara

"Bagaimana perkembangan musiknya?" tanya Katerina di sekolah pada Sara. Mereka sedang mengadakan latihan di aula dan Sara sedang berdiskusi di sudut dengan rekan-rekan musisinya.

"Kami sedang melatih musik koboi untuk beberapa adegan. Kan, Ibu membuat konsep pementasan seperti antara kota koboi dengan hutan Indian... Nah, sebagian lagunya yang bertipe Indian sedang kami kerjakan." jawab Sara. "Hery cukup mahir menggunakan harmonika..."

"Bagus sekali."

"Oh, ya, Bu..." Sara menarik Katerina mendekat dan berbisik di telinganya. "Aku terima surat dari Mike... Dia cukup baik... Rasanya kami akan bisa berteman."

"Syukurlah kalau begitu..."

"Dia menyebutkan juga bahwa dia dan Ibu sering nongkrong di pohon bersama-sama... Maksudnya pohon yang di belakang sekolah?"

"Iya."

"Katanya Ibu sayang sekali sama pohon itu dan mempunyai hubungan yang sangat dekat."

"Oh.." Katerina tahu ia telah melarang Mike menceritakan pada siapa pun tentang asal usul pohon itu karena itu Mike menyuruh Sara bertanya langsung padanya.

"Pohon itu ditanam sebagai kenangan atas seorang murid SMP ini yang meninggal 9 tahun lalu... Dia adalah sahabatku, Chris, kau masih ingat tidak? Anak jahil yang sering kuceritakan? Semua orang menyukainya..." kata Katerina pelan.

Ia melihat wajah Sara menjadi terkejut luar biasa, matanya terbelalak menatap Katerina keheranan,

"Maksud Ibu... dulu Ibu murid SMP ini?!" Ia menggeleng-geleng, "Dan..."

Wajahnya tiba-tiba terlihat putus asa dan ia tak sanggup berkata-kata lagi. Sara lalu bangkit berdiri dan berlari keluar aula.

Katerina keheranan. Ia ikut berlari mengejar Sara tapi tidak berhasil menemukannya di mana-mana. Rupanya anak perempuan itu pulang.

"Ada apa dengannya?" keluh Katerina bingung.

Ia berusaha menelepon rumah Sara berkali-kali tapi tidak diangkat. Dan yang lebih parah, Sara tidak masuk sekolah sama sekali sampai berhari-hari.

"Kalian tahu di mana rumah Sara?" tanya Katerina pada murid-muridnya. Ia sudah putus asa bagaimana caranya menghubungi Sara. Sayangnya tidak ada yang tahu.

Katerina bingung sekali. Latihan-latihan jadi agak terganggu karena ketidakhadiran Sara dan ia terpaksa ikut memikirkan kembali tentang musik.

Sara tiba-tiba masuk sekolah saat ujian tengah semester. Katerina segera menemuinya tetapi Sara menolak bicara dan bersikap sangat dingin.

"Kenapa kamu begini? Apa salah Ibu padamu? Sara..."

"Saya tidak suka sekolah di sini. Saya mau pindah." kata Sara tegas. "Papa akan datang ke sini mengurusnya sesudah nilai ujian tengah semester keluar."

"Tapi Sara.... kenapa?"

Sara membereskan tasnya dan berjalan pergi. Katerina terkejut melihat meja ujiannya basah... sepertinya oleh airmata. Hatinya pedih memikirkan sesuatu yang berat telah terjadi pada Sara yang membuatnya benar-benar hancur.

Sara berubah sekali. Ia datang dan pergi ke sekolah seperti mayat hidup. Ia tidak pergi ke lapangan basket, kantin, atau pun bercanda dengan teman-temannya. Ia berusaha tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tetapi semua orang bisa melihatnya berduka. Laura berusaha mendekatinya karena ia benar-benar kasihan melihat Sara.

"Michael cerita sama aku kalau kamu kira-kira punya masalah yang mirip dengan kami." Ia duduk di sebelah Sara saat yang lain berhamburan keluar kelas untuk istirahat.

"Rasanya masalah kita nggak sama." jawab Sara acuh. "Aku juga nggak tahu kalau Michael itu tukang gosip."

"Kedua orangtua kami sama-sama berpisah... Ayah ibunya, karena mereka berhenti saling mencintai dan memilih untuk menikah dengan orang lain... Sedangkan orangtuaku..." Laura menarik nafas panjang dan berusaha agar tidak menangis saat menceritakannya.

"Papa suka mukul... ya mukulin Mama... ya mukulin aku... dan dia... melempar adikku yang masih kecil dari jendela... sampai meninggal... Sejak itu Mama dan aku kabur... bersembunyi dari satu kota ke kota lainnya... kami takut Papa akan menemukan kami dan menyiksa kami lagi... Dia punya pengaruh yang besar dan bisa membalikkan kebenaran... Tak ada orang yang percaya kalau dia selalu menyiksa kami... Kematian adikku pun dianggap sebagai kecelakaan akibat kelalaian Mama..."

Sara memandang Laura keheranan. "Benarkah?"

"Sampai sekarang kami masih hidup dalam ketakutan..."

Sara terdiam, demikian pula Laura. Masing-masing merenungi nasib mereka yang malang.

"Aku.. ikut sedih dengan keadaan kamu..." kata Sara akhirnya. "Aku nggak bisa menolong kamu... sebaliknya, kamu juga nggak bisa menolong aku..."

Ia membereskan bukunya, karena bel sudah berbunyi kembali. Laura terpaksa kembali ke bangkunya.

***

Siang itu Katerina diberi tahu bahwa ayah Sara datang untuk mengurus kepindahan putrinya dan sekarang sedang ada di kantor Bu Amelia.

Ia diberitahu Pak Usman untuk datang ke sana bersama Sara. Katerina meminta ijin pada kelasnya untuk meninggalkan mereka dan mengajak Sara pergi bersamanya.

"Karena, toh, kamu akan pindah sekolah... tolong beritahu Ibu... apa yang membuatmu begitu marah waktu itu?" tanya Katerina dalam perjalanan mereka ke kantor Bu Amelia. "Ibu ingin mendengar darimu dulu sebelum bicara dengan papamu... Kenapa kamu ingin pindah?"

Sara melengos, "Aku benci sekolah ini. Semula aku pikir di sini aku bisa merubah hidupku dan memulai dari awal... Kupikir biarlah, tapi Papa nggak peduli sama aku... Sebenarnya aku nggak mau merusak diri... tapi rupanya kesempatan kedua itu nggak ada... Bahkan di sini pun aku nggak bisa tenang..."

"Maksudmu apa?" Katerina memperlambat langkahnya karena mereka sudah sangat dekat, ia ingin mendengar lebih banyak.

"Bu... saya orang yang tidak berguna..." kata Sara tiba-tiba dengan suara yang sangat pedih, "Saya selalu hidup dalam bayangan orang lain... Saya tak pernah bisa sebaik kakak laki-laki saya... bagi Papa, dia adalah segala-galanya..."

"Tapi... kamu sendiri luar biasa, Sara... Kamu pintar dan berbakat. Berilah dirimu kesempatan... Kamu pasti bisa lebih baik darinya... Kamu juga harus memberi papa kamu waktu untuk menyadarinya..."

"Tapi kami selalu dibandingkan, Bu... dan bagaimana caranya saya menang dari orang yang sudah mati? Ia mati dan meninggalkan begitu banyak kenangan hebat tentang hidupnya."

Sara terhenti di depan pintu dan menekap wajah dengan kedua tangannya. "Bahkan...orang menanam pohon untuk mengenang keberadaannya....."

Katerina tertegun.

Pintu kantor Bu Amelia terbuka dan ia sudah melihat laki-laki yang duduk menghadap ke arah Bu Amelia.

Ia kenal orang itu...

Tentu saja... itulah sebabnya ia merasa familiar dengan Sara.

"Oom Armand..."

Laki-laki itu menoleh. Ia membutuhkan sedikit waktu untuk mengenali Katerina dan segera berdiri menghampirinya.

"Hai... Katerina, sudah lama sekali..." Ia mengerutkan kening melihat Katerina datang menggandeng Sara. "Oom tidak tahu... kamu jadi guru di sini?"

"Sudah hampir setahun, Oom..." jawab Katerina ramah. "Bagaimana kabar Oom sekarang? Maaf, ya... Saya baru tahu kalau ternyata Sara... adalah adiknya Chris."

Oom Armand mengangguk. "Iya, sejak kecil Sara dirawat tantenya, karena sejak mamanya meninggal Oom tidak sanggup merawatnya... Jadi itulah sebabnya kamu nggak pernah kenal Sara..."

"Oh..."

Katerina seketika mengerti apa yang terjadi.

Karena terlalu lama berpisah, Oom Armand pun tidak mengenal Sara. Hidup bersama putri bungsunya sejak dua tahun lalu terasa seperti orang asing saja karena ia pun tidak memberi dirinya kesempatan untuk saling mengenal.

Sedangkan Sara berpikir bahwa ayahnya hanya mencintai Chris dan tidak peduli kepadanya. Sara benar-benar hancur karena terbebani kenangan akan Chris dimana-mana dalam kehidupan ayahnya...

Oom Armand tidak pernah tahu Chris adalah anak nakal di sekolah, karena setiap surat panggilan dari sekolah tak pernah disampaikan olehnya.

Chris lebih suka dihukum daripada membiarkan ayahnya tahu semua kejahatannya.

Lalu, setelah Chris meninggal, semua orang ingin menjaga kenangan manis tentangnya dan sampai sekarang Oom Armand tidak tahu riwayat yang sebenarnya. Baginya Chris adalah anak laki-lakinya yang sempurna dan bernasib malang karena terkena penyakit jantung dan meninggal di usia yang begitu muda.

Meninggal di hari kelulusan dari SMP.

Setelah mengetahui Katerina adalah wali kelas Sara, Oom Armand memutuskan bahwa Sara tidak boleh pindah sekolah.

"Tapi, Pa...aku nggak mau tetap di sini...! Kalau Papa memaksa...aku..aku nggak akan pernah masuk sekolah..!"

"Sara!"

"Kenapa Papa marah? Papa kan biasanya nggak perduli..." kata Sara pelan. Oom Armand terpaku. Ia hendak mengatakan sesuatu, terapi Katerina telah berinisiatif mengalihkan pembicaraan.

"Maaf, Oom...sebagai wali kelas Sara ada beberapa hal yang harus saya bicarakan dengan Oom..." Ia menoleh pada Sara, "Kamu kembalilah ke kelas dan beritahu anak-anak yang lain supaya tetap tertib. Kerjakan saja soal latihan bab 8. Ibu tidak akan masuk lagi. Suruh Hendry mengantar tas Ibu ke kantor."

Sara pergi dalam diam.

Setelah minta ijin pada Bu Amelia, Katerina mengajak Oom Armand berbincang-bincang sambil berkeliling sekolah. Terakhir, mereka sampai di halaman belakang sekolah...dimana pohon Chris tumbuh.

"Ini...tempat Chris meninggal, kan?" tanya Oom Armand dengan suara sedih. "Sembilan tahun yang lalu..."

"Iya, Oom...dan pohon ini ditanam setahun kemudian, setelah saya lulus...untuk mengenang Chris..."

Oom Armand menyentuh pohon itu pelan-pelan, pandangannya tampak takjub, "Chris..."

"Saya ingin mengatakan sesuatu tentang Sara, Oom..."

"Ya?"

"Dia merasa sangat sedih karena pikirnya Oom tidak mencintai dia... Sara berusaha keras mendapatkan perhatian Oom...Dia sudah menjadi juara kelas, memenangkan berbagai perlombaan untuk membuat Oom bangga...tapi ia mengira...Oom terlanjur menganggap Chris begitu hebat dan sempurna... dan Sara takkan bisa menggantikannya. Selama ini Sara berusaha menggantikan posisi Chris bagi Oom...tapi ia merasa gagal dan kemudian mulai merusak diri..."

"Sara itu sangat berbeda, Rin... Begitu banyak peringatan dan surat panggilan dari sekolah tentang kenakalannya...kemana pun ia pergi selalu menimbulkan masalah. Oom benar-benar kecewa... Chris dulu tidak begitu..."

Katerina menggeleng lembut, "Chris dulu nakal sekali, Oom... Begitu banyak peringatan dan surat panggilan yang ia buang ke tempat sampah dan Oom tidak pernah tahu... Bahkan waktu Oom keluar negeri, ia membawa mobil Oom dan mengangkut kami jalan-jalan... Ia juga sering diskors dan Oom tidak pernah tahu..."

Oom Armand tampak bingung, "Itu...tidak mungkin... Kalian dan juga para guru selalu bilang betapa baiknya dia..."

"Dia memang baik, tapi Chris yang tahu dia akan mati muda mau menikmati hidup sepuasnya dan untuk itu dia tak butuh peraturan..." kata Katerina lembut, "Lagipula, kami tak mungkin menceritakan hal buruk tentang orang yang sudah meninggal..."

Oom Armand tampak terpukul.

"Oom juga akan kehilangan anak Oom yang seorang lagi kalau tidak segera bertindak. Oom selama ini terlalu merindukan Chris dan tidak memberi kesempatan bagi Sara untuk menjadi anakmu... Saat ini ia sangat putus asa dan siap menghancurkan dirinya sendiri... Tolong, Oom...selamatkanlah dia...'

Oom Armand menekap wajahnya dengan sedih. "Saya tidak bermaksud begitu..."

"Saya tahu, Oom...tapi Sara tidak."

Oom Armand menatap pohon itu lalu menatap Katerina dengan sendu. "Kamu...sudah dewasa, ya, Rin... Seharusnya sekarang Chris juga begitu... mungkin sekarang kalian sudah menikah.."

Katerina memegang tangan Oom Armand memberinya semangat, "Saya akan menikah bulan Desember nanti dengan Rio, Oom... Oom masih kenal?"

"Oh... Rio yang pintar itu? Oom masih ingat, dia itu teman dekat Chris sejak kecil." Ia tersenyum,

"Kalian serasi...semoga kalian berbahagia."

***

Katerina menceritakan pertemuannya dengan ayah Chris kepada Rio saat mereka bertemu di rumah.

"Oh, aku ingat, Chris memang punya adik perempuan yang jauh lebih muda... Mamanya meninggal saat melahirkan dan terpaksa diserahkan pada tantenya untuk dirawat." Ia mengangkat bahu, "Siapa yang menyangka akan begitu ceritanya..."

"Kuharap saja hubungan mereka membaik."

"Aku juga berharap demikian."

***

Next chapter