webnovel

Laura Menghilang!

Tiga hari sudah berlalu dan Laura tidak juga masuk sekolah. Semua teman-temannya dan Katerina bingung karena sama sekali tidak ada keterangan darinya. Ia sudah menelepon berkali-kali tetapi tidak ada yang mengangkat, demikian pula teman-temannya.

"Ada yang tahu rumah Laura?" tanya Katerina pagi itu sebelum memulai pelajarannya. Dian mengangkat tangan. "Baik, nanti sepulang sekolah kita jenguk ke rumahnya untuk melihat keadaan Laura. Siapa saja yang mau ikut?"

Hampir seisi kelas mengangkat tangan. Katerina sangat puas. Mungkin lebih baik begini, ia harus tahu ada apa dengan Laura.

Tiba-tiba pintu kelas diketuk dan Pak Usman menyampaikan pesan untuk Katerina bahwa Bu Amelia ingin bertemu dengannya. Katerina terpaksa ikut dengan hati bertanya-tanya apa kira-kira alasan Bu Amelia memanggilnya kali ini.

TOK!

TOK!

"Silakan masuk." Terdengar jawaban Bu Amelia dari dalam kantornya. Katerina membuka pintu dan masuk.

"Ada apa, Bu?"

"Bu Katerina, perkenalkan ini Bapak Albert..." Katerina menyalami laki-laki separuh baya yang duduk di hadapan Bu Amelia dan tersenyum. Bu Amelia mempersilakan Katerina duduk dengan lambaiannya dan melanjutkan ucapannya. "Beliau adalah ayah Laura."

Deg!

Katerina tak berani menatap laki-laki itu karena takut emosinya terbaca. Ia sudah mendengar begitu banyak tentang laki-laki ini, kalau tidak mendengar sendiri dari Laura, rasanya tak akan percaya ia begitu kejam. Wajahnya terlihat simpatik dan tampan.

"Saya adalah walikelas Laura..." kata Katerina pelan.

"Wah...anda masih sangat muda. Saya kagum anda mampu menangani begitu banyak anak-anak di kelas..." kata Pak Albert ramah, "Saya yakin puteri saya sangat menyukai anda."

"Kami berhubungan cukup baik." jawab Katerina.

"Begitu, ya..." Pak Albert tersenyum, "Saya sangat berterimakasih karena anda telah mendidiknya selama ini..."

"Itu tugas saya," Katerina gagal menghilangkan nada dingin dalam suaranya.

"Bu Katerina, Pak Albert kemari hendak menanyakan keberadaan Laura..." kata Bu Amelia kemudian.

"Beliau sudah bertahun-tahun tidak bertemu Laura dan sangat merindukannya."

"Anda ayahnya, kan? Bagaimana bisa selama itu tidak bertemu anak sendiri?" tanya Katerina.

Pak Albert sama sekali tidak tampak tersinggung. Ia masih tersenyum dan menjawab dengan suara yang agak murung, "Laura membenci saya..."

"Pasti ada alasannya, kan?"

"Tentu ada... Dia menganggap saya menyia-nyiakannya dan mamanya karena saya terlalu sibuk dengan pekerjaan. Mereka pergi dari rumah untuk menghukum saya dan...demi Tuhan...saya sudah menyadari kesalahan saya... Selama tiga tahun ini saya selalu mencari mereka..."

"Mungkin lebih baik menurut mereka bila tak usah ditemukan," balas Katerina.

"Tapi itu tidak dibenarkan oleh hukum. Ibunya masih isteri saya dan membawa kabur anak saya sama artinya dengan penculikan... Saya berhak secara hukum atas mereka..."

Katerina menoleh pada Bu Amelia yang mengangguk membenarkan kata-kata Pak Albert.

"Tapi saya tidak tahu apa-apa tentang Laura, hubungan kami hanya sebatas di sekolah..." kata Katerina kemudian.

"Tapi pasti ada di antara teman-temannya yang tahu di mana tempat tinggalnya." kata Pak Albert cepat, "Bawalah saya ke kelas dan biarkan saya yang bertanya pada mereka."

"Tapi... mereka sedang belajar..." sahut Katerina putus asa. "Nanti saja sepulang sekolah akan saya tanyakan."

Untuk sesaat ia melihat kilatan berbahaya di mata laki-laki itu, walaupun bibirnya tersenyum.

"Saya mohon diperbolehkan untuk bertanya sekarang...karena saya tidak punya banyak waktu."

Bu Amelia mendehem dan Katerina sadar ia terpaksa harus melakukannya. Duh, seandainya Bu Amelia tahu siapa laki-laki ini...

Oh, Tuhan...semoga anak-anak tak memberitahu rumah Laura. Tapi bagaimana caranya ia membuat mereka bungkam? Mereka kan tidak tahu apa-apa tentang keadaan Laura...?

Sepanjang langkahnya menuju pintu kelas 3C Katerina memikirkan berbagai siasat...jalannya menjadi sangat lambat..tapi tak satu ide pun muncul.

Akhirnya mereka sampai di pintu kelas 3C. Kaki Katerina agak gemetar saat melangkah masuk. Ia merasakan tatapan di belakangnya yang sangat dingin dan ia tak berani berbalik.

"Anak-anak...ini adalah ayah Laura..." Ia berusaha keras membuat suaranya terdengar normal, "Beliau ingin menanyakan...apakah ada...di antara kalian yang mengetahui...di mana...letak rumah Laura...karena..."

Ia terhenti.

Dian mengacungkan tangannya.

"Saya... aww!!"

Ia memegangi kepalanya yang terbentur bola Basket dan menoleh pada Sara. Anak perempuan itu tiba-tiba melompat ke arahnya dan menangkap bola itu.

"Aduh... maaf, Dian... aku nggak sengaja...!" teriaknya sambil meloncati meja Dian dan memungut bola itu di kolong. Tanpa terlihat oleh siapa pun ia memegang tangan Dian dan berbisik cukup keras untuk menarik perhatian Dian, tapi tidak orang lain. "Jangan bicara! Jangan beritahu apa-apa pada orang itu.."

Ia muncul kembali dengan bola di tangan dan wajah yang tampak malu, "Maaf, Bu...saya terlalu bersemangat karena akan diajak Hendry ikut pertandingan Basket..."

"Kamu seharusnya tidak membawa bola ke dalam kelas..." tegur Katerina dengan suara tegang.

Dian telah menurunkan tangannya.

"Kamu...! Apakah kamu tadi mengangkat tangan hendak memberitahu letak rumah Laura?" tanya Pak Albert pada Dian.

Dian menggeleng polos, "Maaf, Pak... saya tidak tahu di mana rumah Laura, soalnya selama ini dia nggak pernah ngasih tahu. Lagipula Laura itu sangat tertutup... Iya, kan, teman-teman?"

Anak-anak saling pandang dan kemudian mengangguk.

"Lalu tadi kamu mengangkat tangan untuk apa?" tanya Pak Albert mulai tidak sabar.

"Saya mau tanya Bu Katerina apa soal latihan essaynya juga dikerjain, karena waktunya nggak cukup lagi..." jawab Dian.

Katerina merasa jantungnya berhenti bekerja beberapa saat lamanya. Ia menoleh pada Pak Albert dan kali ini menatapnya tepat di mata. "Maaf, Pak...rasanya kami tak bisa menolong Bapak..."

Pak Albert mengangguk-angguk, "Terima-kasih, Bu Katerina...saya akan mengingat hal ini baik-baik."

Ia pun keluar.

Setelah beberapa detik barulah Katerina berlari mengintip keluar pintu, dan setelah melihat laki-laki itu benar-benar pergi ia kembali ke depan kelas dan memberi tanda agar mereka tak bersuara. Mereka semua tampak sangat keheranan dan bingung. Katerina tahu, demi kebaikan Laura, ia harus memberitahu mereka yang sebenarnya.

"Anak-anak... Miss harap kalian semua tidak membicarakan masalah Laura pada siapa pun...dan jangan menjawab bila ada yang bertanya apa pun tentang dia..." Ia memandang Dian penuh penghargaan. "Kamu hebat sekali, Dian... terima kasih karena telah berpikir cepat..."

"Bukan saya, Bu... Sara sengaja pura-pura melempar saya dengan bola dan diam-diam menyuruh saya tidak bicara..." Dian menggeleng-geleng bingung, "Sebenarnya ada apa?"

Sara mengangguk dan Katerina segera sadar bahwa Laura telah bercerita pada Sara, waktu Sara dalam masalah, untuk mendekatinya. Untunglah Sara berpikir cepat barusan. Kalau tidak...

"Laura dan ibunya melarikan diri tiga tahun lalu dari rumah ayahnya... Mereka tidak tahan karena selalu disiksa, secara fisik, oleh ayahnya. Beliau adalah seorang yang sangat berkuasa dan tak ada yang percaya bahwa ia melakukan kekerasan..."

Ia menatap murid-muridnya dengan khimad. "Ibu yakin Laura beberapa hari ini tidak masuk sekolah karena telah terjadi sesuatu padanya... Sebagai keluarganya yang baik, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk melindunginya.."

Semua mengangguk pelan.

Untuk menghindari kecurigaan, mereka memutuskan tidak akan pergi ke rumah Laura. Dian menuliskan denah rumah Laura dan memberikannya pada Katerina. Ia akan meminta Rio yang menyelidiki, karena Rio sama sekali tak berhubungan dengan Laura, sehingga ia tak akan menarik perhatian.

"Separah itukah masalahnya?" tanya Rio keheranan saat Katerina dan Sara datang ke rumahnya menceritakan hal itu.

"Iya, Yo...aku curiga Laura dan mamanya bersembunyi dan tak berani keluar... Kita harus menolong mereka.

"Baiklah, kurasa aku harus ke sana secepatnya," Rio mengambil denah itu dan kunci mobil lalu pergi. Katerina dan Sara menunggu dengan perasaan cemas.

***

Rasanya sudah lama sekali mereka menunggu ketika telepon berbunyi. Katerina sigap mengangkatnya.

"Hallo..."

"Ini aku, Rin...sudah ke rumahnya tapi nggak ada siapa-siapa. Para tetangga bilang mereka nggak pernah kelihatan sudah berhari-hari... Apa aku perlu lapor polisi?"

"Nggak, Yo... jangan... Justru mereka sedang menghindari hukum. Lebih baik kamu pulang saja...aku harap Laura sendiri yang akan menghubungiku..."

"Baiklah."

Rio menutup hubungan.

Katerina menatap Sara yang menatapnya dengan pandangan bertanya, "Mereka nggak ada, rumahnya kosong dan para tetangga bilang sudah berhari-hari tidak melihat mereka..."

Mungkin mereka sudah melarikan diri ke tempat lain," gumam Sara. "Kasihan sekali...semoga mereka baik-baik saja.'

Katerina merenung lama. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Laura saat ini. Kemana gerangan ia dan ibunya pergi?

***

KRING...

KRINGG....

Dering suara telepon membangunkan Katerina yang jatuh tertidur. Di sebelahnya Sara juga menggeliat sambil mengusap-usap mata.

"Sekarang jam berapa?" tanya Katerina bingung.

"Jam setengah satu..."

Katerina menyambar gagang telepon dengan khawatir. Sudah lama sekali mereka menunggu tetapi Rio tidak juga tiba. Ia khawatir sesuatu telah terjadi padanya.

"Hallo..." Katerina mendengar suara di ujung sana hanya samar-samar, "Siapa ini?"

Suara samar-samar itu menjelaskan sesuatu dengan sangat cepat dan pikiran Katerina memusing mendengarkannya. Tubuhnya seketika lemas dan terhuyung-huyung ia meletakkan gagang telepon lalu berjalan mengambil jaketnya.

Sara kebingungan melihatnya dan bergerak mengikuti Katerina. "Ada apa, Kak? Mau kemana?"

"Rio..." gumam Katerina, "Rumah Sakit..."

Ia menangis terisak isak.

Next chapter