1 Prolog

Hai.

Aku ingin menceritakan sedikit banyaknya kisahku pada kalian semua.

Apa kalian ingin mengikuti kisahku?

Aku harap kalian mengikuti kisahku ini. Karena aku akan sangat senang jika kalian melakukannya.

Aku adalah seorang siswa tahun ketiga di sebuah Sekolah Menengah Pertama.

Di semester kedua ini, sekolahku mengadakan les tambahan untuk menghadapi Ujian Nasional nanti. Namun les tersebut hanya diikuti oleh murid yang bersedia saja. Pihak sekolah tidak mengharuskan kami semua ikut les tambahan. Les tambahannya diadakan di sekolah. Berlangsung setelah jam pulang sekolah. Setiap kelas diisi oleh 20 orang murid berdasarkan urutan absensi.

Aku ingin memberitahukan sesuatu.

Selama tiga tahun aku bersekolah di Sekolah Menengah Pertama, aku selalu memperhatikan seorang anak perempuan dari kelas sebelah. Menurutku dia anak yang manis.

Selama les tambahan, dia belajar di kelasku. Sebab murid yang ikut les di kelasku sangat sedikit. Berbanding terbalik dengan kelasnya. Ya, kelasnya itu merupakan kelas unggulan, sih. Aku tidak heran banyak yang ikut les tambahan. Sedangkan kelasku, hampir semua isinya anak berandalan. Jadi karena setiap kelas diisi oleh 20 orang murid berdasarkan absensi, ada beberapa orang dari kelasnya yang dipindahkan ke kelasku untuk mengisi kelasku yang sedikit anak muridnya.

Anak perempuan tersebut duduk di bangku belakangku. Kebetulan teman sebangkunya adalah teman dekatku ketika aku masih berada di Sekolah Dasar dulu. Jadi, aku punya alasan untuk bisa berbicara dan sedikit dekat dengannya.

Tapi apa kalian tahu?

Perempuan itu selalu saja diam saat aku berbincang dengan teman dekatku. Dia hanya merespon dengan senyuman kecil atau anggukan kepala. Tidak lebih dari kedua hal tersebut.

Dari hal itu aku mendapatkan kesan pertamaku terhadapnya, saat bisa melihat dia dari jarak dekat.

Dia perempuan yang pendiam.

Aku sering kali melihatnya berjalan sendirian saat ke kantin. Dia jarang berbicara dengan teman-teman sekelasnya. Dia hanya akan berbicara jika ada hal yang penting saja. Dia juga jarang berbicara dengan teman dekatku itu. Aku yakin dia mempunyai sedikit teman yang memang sangat dekat dengannya. Jangankan teman dekat dari kelasnya, bahkan teman sekelasku saja ada yang tidak mengenalnya. Karena dia tidak terlalu mencolok.

Dia terlihat tidak perduli dengan sekitarnya. Dia selalu duduk manis di kursinya saat jam makan siang setelah pulang sekolah, sebelum les tambahan diadakan. Sambil diam memperhatikan isi kelasku yang terkenal sebagai kelas pembuat onar di sekolah.

Wajahnya memasang ekspresi yang biasa-biasa saja. Tidak pernah menampakkan minat pada keadaan sekitar. Atau ketertarikan terhadap lingkungannya. Walau aku pernah melihat dia tersenyum simpul saat menanggapi pembicaraanku dan teman dekatku.

Terkadang aku melihat dia duduk sendirian di koridor kelasnya sambil memperhatikan tiap tetesan air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Saat-saat seperti itu dia akan tersenyum. Tersenyum pada air hujan.

Aku selalu memperhatikannya selama ini. Apa kalian mau mengatakan kalau aku ini seorang penguntit? Sebut saja begitu. Tapi aku bukan seorang stalker. Karena itu bukanlah keahlianku.

Anak perempuan itu, benar-benar tidak terjangkau. Dia seolah menutup dirinya dari orang-orang sekitar. Seakan ada tembok tinggi yang dia bangun disekelilingnya. Sangat sulit untuk menghancurkan tembok itu. Dan orang yang mampu menembusnya, pastilah orang yang istimewa.

Sulit bersosialisasi.

Tertutup.

Tidak terkenal dan tidak populer.

Sederhana.

Tidak punya banyak teman.

Cuek.

Padahal selama tiga tahun ini, aku tidak pernah sekalipun berbicara dengannya. Tapi dia dengan mudah memikatku tanpa dia harus menatap wajahku.

Sial.

Aku sangat menyukainya.

Apakah aku bisa memilikinya?

avataravatar
Next chapter