3 Chapter 2

"Kak Amel." 

Dina berlari kearah Amel yang tengah duduk santai di teras rumahnya. Seperti biasa, saat pulang sekolah Amel akan selalu menunggu Dina atau sebaliknya. Dina yang akan menunggu Amel.

"Beli jajanan, yuk." Ajak Dina.

"Ayuk." Amel pun langsung berdiri saat mendengar ajakan Dina. Mereka berdua pergi ke kedai yang tidak jauh dari rumah Amel.

Dina Syahputri, merupakan sahabat karib seorang Putri Amelia. Usia mereka terpaut tiga tahun. Tapi, itu bukankah masalah untuk mereka berdua. Amel sudah menganggap Dina seperti adiknya sendiri begitupun dengan Dina. Mereka sudah bersahabat sejak Dina masih bayi.

Kenapa bisa begitu?

Sebab ketika Amel masih kecil, dia selalu bermain bersama kakak laki-laki Dina, Putra namanya, sewaktu Dina bayi. Dan ibu Dina sering memperbolehkan Amel untuk ikut bermain bersama Dina juga. Walau Amel cuma melihat-lihat wajah Dina saja.

Saat ini Dina sedang duduk dibangku kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan Amel duduk dibangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Oleh karena itu, Dina tetap memanggil Amel dengan sebutan 'kakak' walau mereka adalah sahabat dan Amel tidak keberatan dengan panggilan Dina padanya. Itu sebagai bentuk kalau Dina menghormati rentang usia diantara mereka.

Amel dan Dina tidak berada di sekolah yang sama. Rumah Dina pun tidak berada di sebelah rumah Amel lagi. Saat kelas 5 SD, keluarga Dina pindah ke rumah baru mereka yang berada jauh dari rumah lamanya. Rumah lama Dina dijual.

Sejak kepindahan Dina, mereka jadi jarang bertemu. Kadang satu hari mereka hanya bisa bertemu dalam waktu dua jam. Itupun kalau Dina tinggal sebentar sebelum ayahnya menjemput perempuan itu di rumah saudaranya yang tidak jauh dari rumah Amel. Karena sekolah Dina sendiri dan tempat ayahnya bekerja masih berada dekat dengan rumah lama mereka.

Amel dan Dina melewati sebuah rumah besar bercat kuning muda. Dina memandangi rumah tersebut sambil terus berjalan disamping Amel.

Amel itu orangnya sangat pekaan terhadap sahabatnya sendiri. Walau dia tidak punya banyak teman karena terlalu cuek dan pendiam, tapi sekalinya berteman dekat, Amel akan bisa jadi sosok motivator bagi temannya. Dia adalah orang yang selalu memikirkan perasaan orang lain. Maka dari itu, Amel paham maksud dari pandangan Dina.

"Kayaknya dia tidak ada di rumah, Din. Motornya saja tidak kelihatan." Amel menoleh kearah rumah tersebut yang tampak sepi.

Dina menatap lurus ke jalanan saat mereka sudah melewati rumah itu. Wajahnya memasang ekspresi cemberut.

"Padahal dia akan selalu melihatku dari kaca jendela kamarnya saat aku sedang lewat." Ucap Dina.

"Ya. Mungkin dia sekarang sedang ada urusan." Tebak Amel asal.

Setelah percakapan itu mereka sampai di kedai dan membeli beberapa jajanan yang didominasi dengan es krim. Lalu, mereka lanjut berjalan pulang.

Amel dan Dina mendudukkan diri di teras rumahnya. Langit sudah senja dan sebentar lagi ayah Dina pasti akan menjemputnya. Mereka sibuk memakan jajanan mereka. Amel yang menghabiskan terlebih dulu jajanan dan membuang bungkusnya ke dalam tong sampah disusul dengan Dina.

"Din." Panggil Amel.

"Hm." Dina menganggapi dengan deheman singkat. Dia masih sibuk dengan es krim terakhirnya.

"Tadi, ada anak laki-laki yang duduk disamping kakak."

Mendengar itu Dina langsung mengarahkan pandangannya untuk melihat Amel. Wajahnya terlihat antusias.

"Siapa?" Tanya Dina semangat.

"Waahh. Apa itu Raffi?" Lanjutnya dengan senyuman jenaka.

"Bukan. Dia bukan Raffi." Bantah Amel. Wajahnya tidak merona tapi entah kenapa dia malu saat menyebutkan nama orang yang disukainya.

"Dari kelas sebelah. Bukan teman sekelas kakak."

"Terus?" Dina menaik turunkan kedua alisnya.

"Dia bicara sama kakak. Dan dia bilang sifat kakak berbeda dengan sifat teman sebangku kakak."

"Kalau dia bilang gitu, bukannya dia perhatikan kakak selama ini? Sampai tahu sifat kakak dengan teman kakak itu beda." Tanya Dina lagi setelah dia menghabiskan es krimnya.

"Mungkin dia suka sama kakak?" Tambah Dina.

"Jangan ngaco kamu, Din." Amel menepuk sayang kepala Dina.

"Itu tidak mungkin. Kakak bahkan tidak terlalu kenal dia kalau bukan dari teman sebangku kakak yang memberi tahu namanya. Kakak juga belajar di kelasnya waktu les tambahan saja. Kakak jarang ketemu dia selama di sekolah."

"Jadi?" Dina memberikan tatapan tanda tanya sambil mengelus-elus kepalanya. Sebenarnya, sakit juga tepukan sayang yang diberikan Amel.

Mata Amel memandang langit yang warnanya sebentar lagi hendak tergantikan dengan kanvas hitam. Dia menghembuskan nafas lelah.

"Kakak tidak suka saja kalau ada orang yang sok dekat begitu. Padahal tidak saling kenal." Ucap Amel pelan.

Amel memang tidak pernah suka dengan orang yang bertingkah seolah diri mereka sangat dekat dengannya. Seolah mereka sangat akrab padahal nyatanya tidak. Amel tidak menyukainya.

Ya.

Amel itu merupakan orang yang peka. Dia mudah tahu maksud seseorang. Apalagi maksud dari pemuda bernama Reyhan Alfitrah itu.

avataravatar
Next chapter