2 Bagian 2

Dua jam setelah kepulangan keluarga Exelo, suasana rumah sederhana ini terlihat sedikit mencekam. Raut wajah kedua wanita yang sudah berdiri dengan berkacak pinggang dan bersedekap membuat nyali Allea menciut.

Di belakang mereka berdua Ayahnya hanya duduk tanpa berusaha mencegah. Allea tahu alasannya.

"Maaf Ibu..." Entah apa yang harus di lakukan, Lea hanya bisa melontarkan kalimat itu.

"Dasar wanita penggoda!" Cristine menggelengkan kepala Allea hingga tubuhnya bergeser.

Allea menatap Ayahnya berharap mendapat bantuan dari nya. Tapi seperti biasa, satu pelototan saja dari mata Stela sudah langsung membuat Erik memilih untuk diam. Ingin sekali membantu Allea tapi tak bisa Ia lakukan.

"Aku akan membuat rencana pernikahan mu gagal. Ingat itu!" Menunjuk wajah Mona dengan geram. "Kau sama seperti Ibu mu! Wanita penggoda!" Maki Cristine lagi.

Allea masih berdiri dengan kedua tangannya menggantung di bawah pusarnya. Ingin sekali berucap 'Ayah tolong Aku' tapi rasanya kelu. Berapa kali memohon Ayah tak akan pernah bisa membantunya.

Inilah kehidupannya. Menderita dengan berbagai cacian dari Ibu dan saudara tirinya. Mencaci dengan menyebutnya Anak haram, Anak kotor dan kata hina lainnya. Ada sosok Ayah di sampingnya. Seorang Ayah yang seharusnya bisa melindungi putrinya dari segala hal buruk. Tapi apa? Bukan seperti itu kisahnya. Allea memang mendapat kasih sayang dari Ayahnya, tapi Dia juga mendapat siksaan dari Ibu dan saudara tirinya.

Mungkin ini kisah klasik bagaimana seorang anak yang hidup bersama Ibu tirinya yang kejam. Tapi begitulah yang dirasakan Allea. Tak ada istilah rumah adalah surga Ku.

"Maaf Ibu. Aku akan mengatakan pada Tuan Exelo. Aku akan datang ke rumahnya untuk membatalkan semuanya. Iya Ibu. Aku janji," jelas Mona meyakinkan. Mungkin hanya ini caranya untuk meredakan amarah Ibu dan Cristine. Setidaknya senyum palsu di bibirnya bisa meyakinkan mereka berdua.

"Ayah." Allea duduk di samping Ayahnya yang sedari tadi hanya menonton. "Ayah, di mana alamat rumah Tuan Exelo? aku akan datang kesana."

Terlihat dari wajah Cristine sudah mulai tak terlihat pias. Ia tahu Allea akan melakukan apapun yang dikatakan dirinya dan Ibunya.

"Cepat lah! Lebih baik kau ke sana sekarang!" Semprot Cristine. "Ayah! Beri tahu dimana alamatnya."

Erik mendesah. Ia bingung harus berbuat apa. Kedua wanita ini terus memarahi Allea sementara dirinya hanya diam seperti orang bodoh.

Allea mengguncang lengan Erik lebih cepat. "Beritahu aku Ayah, aku akan ke sana sekarang."

"Baiklah jika itu yang kau mau. Tapi ingat!" Erik menatap bergantian wajah Istrinya dan Cristine bergantian. "Jika Tuan Toma tetap mau menikahi Allea, Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa."

Stela menoleh pada Cristine. Begitu juga sebaliknya. Keduanya saling berkedip menimang ucapan dari Erik. "Baiklah. Terserah Ayah," ucap Cristine akhirnya.

Setelah mendapat alamatnya, Allea langsung pamit. Lea ingin segera mengakhiri masalah ini. Disamping dirinya yang memang belum siap untuk menikah, Lea juga tak mau terus-terusan mendapat masalah dengan Ibu tirinya. Raga ini sudah lelah dengan bentakan Ibu nya yang kadang tak masuk akal. Dan sekarang bertambah dengan satu masalah lagi tentang sebuah lamaran yang mendadak.

Hampir seperempat jam Allea duduk di halte bus. Bibirnya terus komat-kamit memohon supaya semuanya baik-baik saja. Kaki nya yang menggantung saling di tabrakkan satu sama lain. Dengan jemari yang memegang erat secuil kertas berisikan sebuah alamat, Mata Allea mengamati beberapa mobil yang berhalu lalang.

Allea mendengus. Ia berdiri menghentakkan kaki. Berjalan maju kemudian berbalik. Di ulang hingga beberapa kali.

"Kenapa lama sekali?" keluhnya karena sudah mulai lelah dan kepanasan.

Desahan lega langsung keluar dari mulutnya ketika satu bus berwarna merah melintas. Dengan cepat Allea melompat masuk kedalam. Ia duduk di kursi nomor tiga. Bersendehan supaya tubuhnya sedikit terasa nyaman.

Sementara di kediaman Exelo. Tubuh tegap berbadan atletis yang menjulang tinggi sekitar 189 cm sedang duduk di pinggir kolam di temani satu gelas jus jambu. Sepertinya Ia sedang mengobrol dengan seseorang di ponsel. Kakinya yang panjang Ia selonjorkan di kursi pembaringan.

Setelah ponsel terputus sambungan, Toma meletakkannya di atas meja. Toma berdiri. Jubah handuknya Ia lepas. Dan kini hanya sortpant warna hitam yang melekat menutupi bagian bawah pusar hingga paha. Rambutnya yang sedikit gondrong Ia kibaskan, lalu berdiri di tepi kolam untuk melakukan pemanasan.

Di balik tirai tanpa Toma sadari ada sosok mata sipit yang sedang terkagum mengamati tubuh seksinya. Gadis itu menutup mulutnya ketika tirai itu terkena angin. Bibirnya terbuka. Matanya membulat. Sebuah pemandangan yang sebelumnya tak pernah Ia lihat. Matanya terasa berat untuk mengatup. Terlalu sayang jika tak di nikmati. Hei! Sepertinya Kau tak selugu yang di pikirkan banyak orang.

Allea masih diam disana. Berdiri di depan pintu kaca yang masih tertutup. Setelah Toma naik dari dalam kolam dan memakai kembali handuk jubahnya, Toma membungkuk dengan kepala miring. Ia mendekat pada gadis yang berdiri di depan pintu kaca yang tertutup tirai tipis.

"Siapa itu?" Toma menarik pintu hingga terbuka, "Kau?"

Allea langsung salah tingkah. Sekarang pria yang baru saja Ia intip sudah berdiri di hadapannya. Dan kenapa wajahnya begitu terlihat sangat tampan? Rambutnya yang masih basah sungguh membuatnya begitu seksi.

Astaga! Apa yang kau pikirkan hei Allea. Sadarlah! Allea bergidik sambil menjitak kepalanya sendiri. Toma hanya angkat alis melihat tingkah Allea.

"Ma-maaf Tuan, aku sudah me-mengganggu mu." Gemetar dan terbata-bata. Ia tak berani mendongak. Matanya hanya melihat kakinya yang polos karena alas kakinya Ia lepas saat dengan tak sopannya masuk ke dalam rumah orang.

Toma mengeryit. "Ada apa kau datang kemari?" Tubuhnya menyender pada kusen pintu dengan tangan terlipat di dada.

"A-aku cuma... ma-mau, e..."

Sepertinya bibirnya kelu. Susah sekali untuk berbicara. Apalagi seseorang di hadapannya terus mengamati dirinya. Allea masih menunduk.

"Hei!" Toma mengangkat dagu Allea. Allea sudah mendongak tapi sebisa mungkin matanya memandang ke arah lain, "Aku tanya. Apa yang Kau lakukan disini?" wajahnya mendekat. Hembusan nafasnya pun bisa di rasakan Allea.

Untuk sesaat Allea begitu terpesona. Tapi setelah sadar apa tujuannya datang kemari, Allea langsung menyingkirkan tangan Toma yang masih menyentuh dagunya.

"Ma-maaf Tuan." Allea mundur, "Aku ingin bicara dengan Tuan."

"Bicara?" Toma mengangkat alis di ikuti kerlipan yang membuat Mona hampir berjinjit karena terkejut.

"Apa kau mau mempercepat pernikahan Kita" Toma menyentil hidung Allea. Dan akhirnya Allea pun terlonjak kaget.

"Ti-tidak Tuan. Aku justru..." Allea menelan salivanya. Setelah mengela nafas Allea melanjutkan kata-katanya yang tertunda. "Aku ingin Tuan membatalkan rencana pernikahan denganku." Cepat dan jelas. Tapi entah kenapa tubuh Allea terasa bergetar dan mulai panik.

"Hemmm..." Toma hanya manggut-manggut. Memutari tubuh Allea yang sudah takut dengan tangan memegang dagunya sendiri.

"Apa kau yakin?" Toma menarik pelan ujung rambut Allea yang sedikit bergelombang.

"Aku tidak pernah main-main jika sudah membuat keputusan." Hembusan nafasnya terasa di dekat telinga.

"Eh!" Allea menghindar. Tubuhnya hampir menggelinjang karena sentuhan nafas Toma di area telinganya.

Toma tersenyum licik. Sepertinya gadis ini masih terlalu polos. Pipinya yang terlihat merah dan wajahnya yang tersipu, terlihat sangat lucu. "Aku suka kau!"

Allea hanya melongo ketika Toma berlalu setelah melempar ucapan yang berhasil membuat Allea seperti sebuah manekin. Matanya masih bisa melihat punggung Toma yang kemudian menghilang masuk ke dalam kamar mandi di dekat kolam renang.

"Aku sudah memutuskan. Maka tak ada satupun yang bisa merubahnya," gumam Toma dengan air dari shower mengalir ke tubuhnya.

Sesaat Allea hendak berbalik, seseorang memegang pundaknya. "Allea? Kau datang?" Mika tersenyum. "Sejak kapan kau disini?"

Allea nyengir. Jemarinya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. "Maaf Nyonya, aku..." Ucapannya terhenti. Bukankah ini tidak sopan? Datang tanpa menunjukkan rasa sopan santun lalu dengan beraninya bilang ingin pernikahan ini batal. Konyol sekali.

"Aku hanya ingin berkenalan dengan Tuan Toma. Iya itu." Jawab Allea. Rasanya ingin sekali memukul kepalanya sendiri. Bagaimana bisa menjawab seperti itu. Bodoh!

"Benarkah?" matanya langsung berbinar. Dengan semangat Mika menarik lengan Allea untuk duduk di sofa.

Allea hanya bisa meringis unjuk gigi. Mau bilang iya akan bermasalah bilang tidak pun sama saja. Ya sudahlah pasrah.

"Kau datang dengan siapa?"

"Sendiri."

"Sendiri?" Alisnya berkerut. Jarak tempuh kesini sekitar 1 jam lebih. Gadis ini berani sekali. Ini kota yang sangat padat.

"Iya." Jemarinya sudah saling mengatup menahan rasa grogi. Bagaimana tidak, wanita di depannya ini mungkin akan menjadi mertuanya kemudian hari.

Mika tersenyum tipis. Matanya mengamati raut wajah Allea yang terlihat kebingungan. Pilihan Toma tidaklah salah. Gadis ini pasti gadis yang baik-baik. Untung saja Toma tidak memilih saudaranya yang terlihat centil itu.

"Kau cantik, sayang"

"Eh!" Begitu saja kata itu keluar dari mulut Allea hingga spontan menutup mulutnya.

"Maaf."

"Tidak apa. Aku akan senang jika kau bersedia menjadi menantuku." Usapan lembut Mika berikan di kepala Allea.

Allea mungkin saja terkejut dengan perlakuan Mika, Ini terasa lembut dan penuh perasaan. Sentuhan itu rasanya terasa hangat walaupun hanya menempel di rambut coklatnya saja. Ah! Perasaan apa ini?

"Nyonya." Allea menatap dalam wajah Mika.

"Apa lamaran itu memang benar untukku?"

"Tentu saja. Toma sudah memilih dan kau yang dipilih dia."

"Tapi..." Allea menunduk. Ingin menolak tapi dengan alasan apa? Mika terlihat begitu tulus. Jahat sekali jika menolak semua ini.

"Kenapa sayang? Kau tidak menyukai Toma?" Mika memiringkan kepala mendekat ke wajah Allea yang tertunduk.

"Bukan! Bukan itu." Allea mengibaskan telapak tangan di depan dada, " Aku hanya belum siap. Aku masih ingin kuliah dan bekerja."

"Kau jangan khawatir, Toma tidak akan melarang mu. Kau bisa beraktivitas seperti biasa setelah menikah."

"Benarkah?"

"Tentu saja."

***

avataravatar