20 PAIN

Makoto mengantar Naoki pulang, sepanjang jalan Naoki hanya berceloteh bahwa ujian itu mudah dan bisa ia kerjakan walau tidak belajar. Makoto hanya menjawabnya dengan ber-Oh ria. Hanya tinggal 2 meter lagi menuju rumah Naoki. Begitu melihat gerbang kayu rumahnya tak tertutup Naoki terkejut. "Apakah ada yang datang?" katanya melirik Makoto

Makoto hanya mengangkat bahu. Mereka setengah berlari menuju pintu dan membukanya dengan cepat tanpa menutupnya kembali, ada tas Miyuki-san di atas meja. "Ibumu datang", Makoto bicara sambil mencari-cari keberadaan Miyuki-san. Naoki masih sibuk dengan sepatunya yang bertali.

Makoto mengendus aroma anyir yang menguat dari dapur, ia berjalan pelan kearah dapur untuk memastikan. Tiba-tiba ia berhenti, tangannya gemetaran melihat Miyuki-san tergeletak dilantai dengan pisau menancap di dada. Darah menggenang di sekelilingnya.

"Ada apa Makoto-sensei?" Naoki mendekat, bingung melihat gurunya terdiam di antara dapur dan ruang tengah.

Makoto sadar dengan cepat dan berbalik ke arah Naoki, "Jangan kesini!! JANGAN LIHAT!!!" Makoto berusaha merangkuh Naoki. Terlambat

"Ah!" tubuh Naoki membeku.

Makoto memeluknya dan menutup mata Naoki "Jangan lihat.. tolonglah!" tangis Makoto tidak terbendung

Jeritan itu juga .. tidak terbendung "AAAAAAAAAAAAAAAAAKH!! MAMA!!!!! MAMA!!" Naoki menerjang, tangannya menggapai-gapai jasad ibunya. Makoto sekuat tenaga memeluknya. Tetangga berdatangan dengan wajah panik "Ada apa?"

"Panggil polisi dan ambulan tolong, tolong!" Suara Makoto parau, tenaganya terbagi. Menjegal Naoki yang seperti kesetanan sangat menguras energinya, belum lagi tubuhnya lemas akibat melihat keadaan Miyuki-san. Beberapa orang terdiam mengigil melihat pemandangan itu. Tiga orang pemuda membantu Makoto membawa Naoki keluar rumah.

"Lepaskan aku!!! Biarkan aku!!! Makoto-sensei!!" Naoki masih terus berontak. Makoto juga masih terus berusaha memeluknya. Suara sirine mendekat dengan cepat. Polisi dan beberapa petugas berseragam putih masuk kedalam rumah.

"AAAAAAAAAAAAKH!! Makoto-sensei lepaskan!!!" tangisnya menjadi, tiba-tiba dia terdiam dan terkulai tak sadarkan diri. Makoto panik, petugas berseragam putih dengan sigap memasang selang oksigen pada Naoki. Sekitar 20 menit Naoki terbaring di atas brangkar di dalam ambulan, tim forensik dan polisi masih berada di dalam. Menelaah, memotret apapun yang ada di dalam sana. Lalu petugas berseragam putih keluar membawa kantong jenazah berisi Miyuki-san.

Karena tak kunjung sadar, Naoki dibawa ke Rumah sakit beserta jasad Miyuki-san. Makoto diantar oleh salah satu tetangga Naoki dengan sepeda motor. Sesampainya di Rumah sakit Dokter mengatakan bahwa kondisi Naoki memburuk dan harus diopname. Makoto hanya bisa terduduk diam di sisi Naoki.

Makoto masih belum bisa mempercayai apa yang ia lihat. Hingga akhirnya, sosok Naoki yang terpejam dengan selang oksigen di hidungnya membuatnya sadar. Ada sebuah kematian yang buruk di sekitarnya..

Sedangkan dirumah Naoki polisi masih sibuk menyelidiki tempat kejadian, garis polisipun sudah di pasang melintang. Kabar itu sudah sampai ketelinga sang nenek. Ia panik dan bergegas menuju Rumah sakit bersama anak ke tiganya dan cucunya yang lain.

"Dimana anakku, sensei?!" Suaranya melengking , seperti suara burung yang berduka. Makoto tidak bisa berkata, hanya menunjuk ruangan dengan papan bertulis 'Kamar Mayat'.

Jerit tangis sang nenek dikamar jenazah menggema di hati Makoto. Naoki masih belum sadarkan diri. Cucu dan anak perempuan lain sang nenek juga tampak terpukul sembari terus memeluk ibunya yang tenggelam dalam duka. Makoto meninggalkan kamar jenazah dan kembali ke kamar Naoki dirawat. Terus terdiam diambang pintu. Semua alat medis yang familiar baginya sudah terpasang di tubuh Naoki.

"Futaba-sensei, saya harap anda bisa datang ke kantor kami untuk memberi kesaksian", salah satu polisi itu bicara sambil menepuk pundak Makoto yang lesu.

"Baik", jawabnya singkat, polisi itu berlalu kembali ke kamar jenazah. Dari jauh sang nenek dengan dipapah anaknya mendekat ke arah kamar Naoki. Matanya nanar, airmata masih deras mengalir di pipi tuanya.

"Futaba-sensei, mari masuk", suaranya patah-patah, Mereka sudah duduk di sofa samping ranjang Naoki berbaring. "Aku sudah di beritahu oleh kepolisian tentang kejadiannya. Meski tidak secara rinci..", suaranya tercekat

"Yamada-san...", Makoto menunduk, tak menyelesaikan kalimatnya.

Yamada-san menoleh sebentar, masih menangis. "Aku sudah sangat tua.. tapi mengapa anakku dulu yang tiada?!" Yamada-san menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, tangisnya lebih tenang dari yang sebelumnya. "Terimakasih telah menjaga Naoki, sensei. Aku sangat bersyukur ada kau di sisinya. Tapi, mulai saat ini aku akan mengurusnya. Aku akan membawanya ke Kumamoto. Kampung halaman kami. Aku harap disana dia mendapatkan ketenangan."

'Naoki akan dibawa pergi!' benak Makoto memprovokasi.

Makoto masih terus terdiam "Sensei.. aku yakin sebelum pergi Miyuki tampak baik-baik saja. Kurasa ada pemicu dia melakukan hal ini", sang nenek tampak serius "Aku harus melihat rekaman CCTV di depan rumah Miyuki! Harus!"

"Apakah anda akan puas dengan melihat CCTV?" Makoto terus menunduk. Kematian Miyuki-san memang tidak mudah diterima semua orang, karena begitu mendadak dan dengan cara yang salah. Apalagi bagi Naoki. Miyuki-san juga baru saja keluar dari rehabilitasi.. Tapi, apakah dengan mengetahui alasannya semua akan terbayar? Apakah semua akan berjalan kembali pada alurnya? Apakah ada yang akan menjamin tidak ada dendam yang terlahir dan membawa petaka? Atau siapa yang akan menjamin bahwa luka lama yang mereka derita, yang belum pulih akan membuka lagi dan membusuk?

"Aku tidak bisa menerima kenyataan sensei.. bagaimana putriku yang begitu menderita itu meninggal sendirian. Menghabisi dirinya sendiri dirumah anaknya yang begitu sangat ia rindukan. Miyuki baru saja ingin memulai semuanya lagi dari awal, bersama Naoki. Lalu tiba-tiba hal ini terjadi. Ini sangat tidak bisa aku terima!"

Makoto sangat mengerti hal itu. Karena itu bagian dari harapan yang Naoki impikan.

"Lalu Naoki?" mata Makoto nanar menatap Naoki yang masih terbaring.

Semua terdiam.

"Aku hanya punya satu permintaan" wajah Makoto berubah serius.

"Apa itu sensei?"

"Jika anda sudah mengetahui faktanya, tolong jangan beritahu Naoki apapun!, Jika anda lalai dalam hal itu, bolehkah saya meminta satu hal?"

"Apa itu?" Yamada-san tampak sangat terganggu dengan pertanyaan Makoto.

"Berharaplah hal itu tidak terjadi yamada-san, karena Naoki bisa saja kehilangan kewarasannya" Makoto menyadarinya, ia hampir melewati batasnya.

Mata coklat gelap yamada-san membulat, tak percaya dengan yang ia dengar dari seorang guru hoomroom cucunya, tak pernah dalam hidupnya ada orang selancang ini padanya. Tapi disisi lain, ia membenarkan apa yang dikatakan Makoto.

Alasan Naoki tetap bisa tersenyum hancur berkeping-keping dihadapannya. Yamada-san tidak bisa membayangkan seperti apa Naoki yang akan terbangun nanti. Apalagi mengetahui alasan dibalik tindakan ibunya, yang lebih memilih pergi untuk selamanya ketimbang Naoki, anak tercintanya.

Naoki sudah terlalu banyak menanggung luka. Makoto bersumpah pada dirinya sendiri, siapapun penyebab Miyuki-san bunuh diri adalah penjahat yang harus ia jauhkan dari Naoki. Siapapun tanpa kecuali.

"Aku harap di Kumamoto, Naoki bisa pulih dengan cepat" Neneknya bersuara, pelan sekali.

Meski sebenarnya Makoto tidak sedikitpun setuju dengan keputusan Yamada-san, membawa Naoki pergi jauh darinya. Makoto hanya bisa mengangguk.

"Ya, semoga saja" Makoto menimpali singkat.

***

avataravatar
Next chapter