26 OFFENSE

"Kenapa kau hanya menatap kopimu?" Lagi-lagi suara Naoki yang ceria membuyarkan semua lamunanku. Tepatnya rasa bingung tantang bagaimana aku membuka minuman kaleng ini. Tanpa menunggu aku menjawabnya, dia meraih kopi itu dari tanganku dan membuka cincin penariknya hingga terdengar bunyi cklak, ia memutarnya lalu kembali menyodorkan minuman itu padaku. "Nanti dingin."

Aku kadang takjub dengan kepekaannya. Dia kembali bersandar dengan nyaman di kursi taman, menyeruput kopi hangatnya.

"Selama beberapa bulan ini kau kemana?"

Ekspresi wajahnya berubah. Seakan sesuatu yang ia kurung dalam pintu hatinya, mendobrak keluar. "Apa ada sesuatu yang terjadi?" aku makin penasaran. Rasa ingin tahuku lebih besar ketimbang rasa empatiku pada kondisinya saat ini. "Aku mencari ke rumahmu, dan kau tak ada disana."

Pertanyaan ku harus memiliki sebuah jawaban. Itu yang aku pikirkan, tanpa sedikitpun menyadari betapa berat dia mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya.

Mata coklat terang Naoki menatapku sejenak lalu kembali melihat kopi kaleng yang di genggamnya, "Aku sudah tidak tinggal disana."

"Oh begitu" keheningan berlangsung lama setelah jawabanku tadi. Naoki hanya diam dan aku tidak bisa mengawali pembicaraan. Aku tidak paham bagaimana memulainya, karena aku jugalah penyebab kekakuan ini.

"Apa kau baik-baik saja?"

Naoki menoleh padaku lalu tersenyum, "Sudah baik-baik saja sekarang. Aku bersama orang yang hebat dan tepat," suaranya mantap. Aku menebak-nebak siapa orang itu.

"Apakah dia gurumu?"

"Ya, sementara aku menumpang tinggal di apartemen Makoto-sensei. Sampai semua urusan disini selesai, aku akan ke Kumamoto bersama nenekku."

Itu artinya dia tidak akan disini?

"Kau mencariku selama ini?" Naoki menoleh padaku, wajah pucatnya menyapa, pipinya yang sedikit memerah karena udara dingin, mata coklat terangnya yang gemerlapan, wajahnya yang diam-diam selalu aku ingat di otakku tampak begitu menderita.

"Ya. Aku mencarimu kemana-mana. Aku ingin menemuimu secepat yang aku bisa. Tapi, bagaimanapun aku mencoba, aku tidak menemukanmu. Seakan kau jauh dari jangkauan radarku. Kini aku bersyukur bisa bertemu denganmu lagi."

"Radar?" Dia tertawa "Memangnya kau sudah memasang alat pelacak padaku ya?" Nada bicaranya meledek.

"Tanpa alat pelacak yang kau maksud aku bisa menemukanmu dimanapun. Tapi beberapa bulan lalu aku benar-benar tidak punya petunjuk." Wajah seriusku malah membuat tawanya makin menjadi.

"Aku makin tidak mengerti jenis manusia macam apa kau ini Kurocchan. Aku semakin yakin kalau kau itu anggota Yakuza atau semacamnya!" dia mengusap air mata karena tawa tadi.

Aku terlena dengan tawa Naoki, aku merasa sangat lega melihat wajah cerianya hingga tidak menyadari sebuah gelombang kejut kuat akan menghantam kami berdua.

Naoki terpental hingga 3 meter dariku. Ia terlihat kesakitan dan berusaha bangun, aku masih berada di posisi tertelungkup, melihatnya. Beberapa detik sebelum aku bisa bangun seseorang tampak mambantu Naoki untuk duduk. Pakaian serba putihnya menyita perhatianku. Rambut coklatnya yang mencolok, aku merasa tidak yakin bahwa dia adalah manusia.

Lalu gelombang tadi itu apa?! orang-orang di sekitar tidak terpengaruh, hanya kami berdua yang terpental jatuh. Semua seakan melambat.

Bagaimana keadaan Naoki?

Seseorang itu melihat kearahku, iris matanya kuning keemasan membuat aku yakin bahwa dia bukan manusia, juga bukan teman. Lalu ia tampak berbisik pada Naoki kemudian tersenyum puas. Naoki menoleh padaku dengan wajah tak percaya.

Apa yang dia katakan pada Naoki?!

Saat aku akan bangkit, tubuhku terasa begitu berat. Aku sontak menoleh, seseorang itu telah duduk diatas punggungku dengan seringai menakutkan di wajahnya.

Sejak kapan?!

Aku melihat Naoki. Dia disana masih melihatku dengan ekspresi yang sama, sendirian. Aku ingin kesana! aku ingin kesana!

"Mana tenagamu?" nada mengejek terdengar dari suaranya. Aku berusaha sekuat tenaga tapi tetap tidak bisa bangkit.

"Siapa kau?!" Aku gemetaran, bukan karena takut tapi entah mengapa energiku terkuras habis. Tenagaku seakan terserap keluar.

"Oiya! Dia Jokermu kan? Bukankah seharusnya dia sudah kau habisi?"

"Bukan urusanmu! Menyingkir dariku!" aku meronta-ronta.

"Hmm.. Jokermu itu Naoki Hajime. seharusnya sudah kau hentikan masa hidupnya beberapa bulan lalu kan? apakah kau kesulitan? Apa mau kubantu?" Ia menunjuk Naoki dengan tangannya yang bergestur layaknya sebuah pistol.

Bagaimana dia tahu?!

"Apa-" sebelum aku selesai dengan kalimatku suara desingan peluru yang meluncur dari selongsong pistol terdengar di telingaku. suara itu dari ujung jari telunjuk sosok itu. Saat itulah Naoki ambruk.

Aku membeku. Tiba-tiba kepalaku terasa mendidih, dadaku sesak dan bergemuruh.

Sosok yang tampaknya masih betah duduk diatas punggungku meniup ujung jemari telunjuk dan jari tengahnya, meniru para koboi yang bangga dengan hasil bidikan tepat sasarannya. seringainya begitu mengangguku!

"Apa yang telah kau lakukan?!" Amarahku memuncak. Apa yang telah dia lakukan pada Naokiku!!

"Tenang saja, Naokimu tidak mati. Dia hanya pingsan lalu melupakan kejadian hari ini." dia seakan bisa membaca pikiranku.

Kalimat yang ia lontarkan barusan bisa sedikit membuatku lega, meski institusiku bilang, untuk terus siaga.

"Manusia itu hebat ya. Mereka memiliki empati dan simpati untuk saling menolong satu sama lain. Contohnya mereka, Naokimu tertolong sekarang," dia tersenyum penuh arti padaku.

Aku melihat orang-orang sekitar tampak panik menolong Naoki. Ada beberapa orang yang sibuk menelpon. Salah seorang wanita itu mencoba menyadarkan Naoki, ia memangkunya dan menepuk-nepuk pelan pipi Naoki.

Setidaknya Naoki akan aman sekarang. Tinggal urus yang satu ini.

"Kau punya banyak sekali catatan buruk Karasu nomor 5. Banyak sekali! dan itu harus di tebus dengan sesuatu yang setimpal." ia bergumam tangan kanannya memegang sebuah buku besar yang terbuka - yang sejujurnya aku penasaran dari mana asalnya. tangan kirinya terus memilin rambut coklat terangnya yang sedikit panjang di bagian dekat telinganya.

"Aku tidak merasa berbuat kesalahan!"

"Tidak ada orang jahat yang mengakui kesalahannya, Aku kira itu hanya berlaku bagi manusia. Ternyata Karasu juga sama saja."

Aku menggeram. "Menyingkir dariku!!"

"Nah! Kau sudah kembali semangat bukan? Bagaimana kalau kau ikut denganku? Oh! Ini bukan permintaan, ini perintah!" dia bangkit dari duduknya, "ada banyak hal yang ingin aku bicarakan padamu. Terutama hukuman yang harus kau terima."

Tanpa persetujuan dariku, dia meraih tanganku seakan aku tidak memiliki berat badan. Satu detik kemudian kami berpindah tempat. Kakiku berpijak pada rerumputan basah, di sebuah bukit. Aku tidak bisa menebak dimana tepatnya. Aku belum pernah pergi sejauh ini dari kota. yang pasti dari pandanganku kota terlihat jauh sekali, aku hanya bisa melihat ujung Tokyo tower dari sini.

Langit sore yang memerah makin menggelap. pemandangan ini terlalu indah untuk aku lewati berdua dengan makhluk yang aku yakin membawa hal buruk padaku.

Terutama bagian hukuman tadi.

***

avataravatar
Next chapter