3 NAME

Sudah jam 10 malam. Semua pelanggaan sudah pergi dengan perasaan senang dan perut kenyang. Sedangkan aku masih sibuk dengan mangkuk-mangkuk kotor. "Terimakasih bantuannya. Sejak tadi kau berlari kesana kemari dengan 2 mangkuk besar di tanganmu. Apa tidak panas? Tidak lelah?" Pria dengan ikat kepala itu tertawa sambil menepuk punggungku. Namanya Hiroshi dia seorang pekerja paruh waktu. Siang harinya dia bekerja di perusahaan furniture. Baginya bekerja adalah hobi dan mendapatkan uang adalah bonus dari semua itu. Aneh sekali ya? Dan Kurasa pertanyaan tadi juga bukan untuk dijawab, dia langsung berlalu begitu saja.

"Terimakasih atas kerja keras hari ini" bibi membungkuk pada Hiroshi dan 2 lainnya. Semuanya sudah bersiap dengan jaket dan barang-barang mereka. Mereka ikut membungkuk dan membalas dengan kalimat yang sama lalu berpamitan. Gadis mungil tadi yang baru saja aku tahu namanya Miki menyapaku "Anoo, mantelmu aku letakan di lemari sudut dekat kamar mandi" dia menepuk pelan pundakku "Jyaanaa" melambai sebentar lalu menyusul yang lainnya. Sedangkan Yoshino pria pendiam yang dari tadi membantu bibi memasak hanya mengangguk padaku dari jauh, pamit dengan cara yang umum. Menyisakan mangkuk-mangkuk kotor yang bertumpuk-tumpuk di washtafel dan beberapa meja yang belum sempat aku bereskan.

"Mikicchan itu sudah 30 tahun." aku reflek menoleh pada bibi yang bicara dengan santai

"Eeeeeh?!" yang benar saja. Wajahnya dan penampilannya seperti anak SMA.

Bibi tertawa melihat reaksiku, "Awalnya aku tidak percaya, setelah melihat kartu tanda pengenalnya aku mengerti kenapa dia begitu gugup. Aku juga bertanya padanya kenapa dia tidak terlihat menua, dia hanya menjawab 'Rahasia'. Jadi kau harus sopan padannya yaa, lalu Yoshino itu masih anak SMA, tapi dia punya bakat dalam memasak." bibi diam sejenak "Naaaah giliranmu untuk mencuci semuanya. Selamat bekerja" Bibi tersenyum jahat

Aah.. banyak sekali. Ini Romusa..

Dari tempatku mencuci mangkuk, aku memperhatikan bibi yang membereskan kursi dan meja. Tangan gemuknya cekatan. Sesekali ia melirik padaku, pandangan kami bertemu. Aku belum menyelesaikan pekerjaanku. Dia mendekatiku dan bertanya "Apa kau merasa kelelahan?" Suaranya tidak setegas seperti awal kami bertemu. Matanya mengawasi tanganku yang penuh dengan busa sabun.

"Tidak juga" aku tersenyum dan kembali mencuci.

"Setelah semua ini selesai aku tunggu kau di depan oke" bibi beranjak ke arah dapur dari tempatku mencuci, dari sini aku hanya bisa mendengar suara denting piring dan suara kesibukan bibi di dapur. Namun entah apa yang sedang bibi lakukan di dalam sana.

Beberapa kali tanganku tergelincir saat mencuci mangkuk-mangkuk besar itu, untung saja tidak ada yang pecah. Aku tidak mengerti cara kerja sabun. Mereka begitu licin. Jangan tanya kenapa? jelas saja aku tidak tahu bagaimana sabun bekerja. Aku tidak harus mandi. Jangan sekalipun berpikir aku bau. Karena sekali lagi, aku Karasu.

"Bibiiii~ semuanya sudah kususun di rak. Lalu apalagi yang harus aku kerjakan?" Aku duduk di salah satu bangku yang menghadap dapur. Dapur kedai ini terbuka seperti sebuah jendela besar jika dilihat dari tempat meja-meja di susun. Bibi terlihat begitu sibuk dari jendela besar itu. Seperti seorang ibu yang menyiapkan makan malam.

"Tunggu di sana" katanya, masih sibuk. Tak berselang lama ia keluar dengan 2 mangkok besar dan sesuatu yang mengepul di dalamnya.

"Kau belum makan kan? Ayo makan sama-sama, aku tidak tahu apakah satu mangkuk cukup untukmu, karena kemarin kau makan banyak sekali," bibi meletakkan salah satu mangkuk itu dihadapanku. Sup daging hangat dengan beberapa tempura yang tersusun diatasnya. "Orang tua jaman dulu bilang, makan itu lebih nikmat jika bersama-sama. Itadakimasu." dia mulai menyantap makanannya.

"Benarkah itu? Heee.. eh tunggu! Apakah hutangku akan bertambah jika aku makan ini?" Bibi menyembur, tertawa terbahak-bahak. Tawanya cukup lama sehingga aku harus menunggu jawaban darinya. dia tidak menjawabnya. Jadi apakah hutangku lunas?

"Benarkan makan bersama itu terasa nikmat. oh aku tebak usiamu sekita 21 tahun ya.. anakku juga seusiamu." bibi bicara tanpa menungguku menjawabnya, sesekali ia melihatku lalu tersenyum. Wajah lelahnya tampak kesepian. "Dia punya cita-cita sebagai seorang fotografer, sifatnya mirip sekali denganku. aku membesarkannya tanpa sosok ayah. Pasti sulit baginya ya." matanya menerawang jauh.. Rindu dan rasa sepi melebur pada semburat senyum tipisnya.

Tidak. kurasa yang kesulitan bukan anak bibi. melainkan bibi sendiri.

"Bibi selalu makan sendirian?" Dia tersenyum tanpa menjawab. Kemana anaknya itu? aku tidak pernah melihatnya. "Bi, kau tidak menjawabku?"

"Pertanyaan yang mana? Oh iya, aku selalu makan sendirian." katanya cepat lalu kembali sibuk dengan makanannya.

"Bukan," sungguh, tanpa si bibi penjual ramen ini menjawabnya aku sudah tahu kalau dia selalu makan sendirian. Dia begitu kesepian. "Tentang hutangku, apakah jika aku makan ini hutangku akan bertambah?" dia seketika menyembur tertawa keras sekali.

"Oiya, siapa namamu?" Sembari mengusap air mata akibat tertawa tadi, ia menatapku ramah.

lagi-lagi tidak dijawab.

Nama.. siapa ya? Satu hal yang tidak aku miliki.

"Nak, siapa namamu?" Sorot mata bibi semakin penasaran, apalagi aku hanya diam. Sup dagingnya.. baru kumakan beberapa suap.

"Aku tidak tahu." kepala bibi bergerak kebelakang. Terkejut.

"Mana mungkin kau tidak tahu namamu. Sejak lahir pasti ada yang memberikanmu nama," dia bicara tanpa sedikitpun melepaskan pandangannya dariku. "Nah siapa namamu?"

Keras kepala, malah semakin penasaran saja dengan namaku. Masalahnya aku benar-benar tidak tahu. Apakah aku harus mengarang sebuah nama agar ia puas? Tapi, sepintar apapun aku, tidak terpikirkan apapun di kepalaku. Seakan pertanyaan itu belum tersetting pada otakku sehingga aku belum bisa mempersiapkan jawabannya.

"Aku benar-benar tidak tahu." mata bibi menatap lurus mataku, seperti mencari-cari kebohongan yang aku sembunyikan.

"Maa .. aku percaya padamu. Aku sering menghadapi anak-anak sepertimu. Kau tahu, nama itu penting. Saat kau memiliki nama, orang lain bisa dengan mudah menyimpan kenangan tentangmu dan mengingatnya lagi hanya dengan mendengar namamu. Saat kau punya nama, orang-orang disekitarmu akan mudah mengingatmu. Jadi, bagaimana teman-temanmu memanggilmu?"

Teman? Itu juga aku tidak punya.

"Baiklah jika kau benar tidak memiliki nama, kau hanya harus membuatnya untukmu sendiri" bibi menghabiskan isi mangkuknya "Jika kau sudah punya nama, beritahu aku ya" dia tersenyum dan menepuk pundak ku.

"Baik" senyum itu menular padaku.

"Namamu itu haruslah yang bagus!" Ia tersenyum lagi.

Tentu saja! Aku melanjutkan menyendok sup dagingku yang sudah sedikit dingin. Tapi, perasaan hangat di dadaku ini meluap-luap. membuatku tak henti-hentinya tersenyum.

Jika aku manusia aku akan menamai perasaan ini sebagai 'kebahagiaan'.

Bibi tersenyum melihatku, kurasa dia ikut bahagia. Kesepian di wajah bibi sedikit memudar. Syukurlah.

Bahagia itu bisa menular ternyata.

***

avataravatar
Next chapter