30 HATE

Pagi yang cerah, langit tampak cemerlang di musim dingin ini. Meski udara dingin diluar tapi bagi Makoto tubuhnya terasa begitu panas.

Teh di hadapannya terlihat masih mengepulkan udara panas, di sajikan dengan cangkir mewah yang berkelas. Makoto tidak pernah sekesal ini, ia harus menyambangi cafe dengan menu-menu mahal yang tak masuk akal tapi ia tak bisa sedikitpun melihat-lihat dekorasinya.

Ia hanya harus memesan teh sebagai formalitas, dan pergi secepat yang ia bisa.

"Ini sudah yang ke 17 kalinya anda menemui saya!" mata Makoto tajam menusuk melihat seseorang yang duduk besebrangan dengannya. Pria paruh baya dengan perawakan tinggi, bertubuh kurus dan tampak lebih muda dari usia yang bisa Makoto perkirakan. Dia ayah Naoki. Kakeru.

Kalimatnya cukup dingin untuk dikatakan sebagai pembuka percakapan.

"Anda sangat hebat dalam mengingat dan menghitung sesuatu," Kakeru tersenyum simpul.

"Saya tebak ini mengenai Naoki?"

"Tepat! untuk apa lagi aku menemuimu? Lalu jawaban anda sensei?" balasnya sedikit lebih santai dari Makoto.

"Naoki tetap dengan saya, Yamada-san sudah memberikan tanggungjawab itu pada saya," Makoto menyesap tehnya

Kakeru yang sedikit terlihat bisa membawa diri akhirnya terbawa emosi. "Bagaimanapun juga aku ini adalah ayahnya, sensei!" dia memainkan arlogi mahalnya lalu melirik Makoto yang terdiam "dia adalah anakku, jika aku bawa ini ke meja hukum, sensei bisa saja dipidana atas dugaan penculikan. Sensei.. aku hanya ingin memperbaiki semua kesalahan yang telah aku perbuat." wajahnya tertunduk, Menyesal.

Makoto diam beberapa detik lalu tertawa, kebencian itu merambat dari ujung senyumnya. Kesal. Marah. Jijik bercampur menjadi satu dan kini terlukis diwajah Makoto, "Maaf, maafkan aku tidak bisa menahan rasa geli di perutku." ia mengusap air mata yang menitik di sudut matanya.

Kakeru masih mencoba bersabar, ia mengeratkan tautan jari-jemarinya yang ia sandarkan diatas meja cafe yang mengkilat. tidak bicara apapun, hanya memperhatikan wajah Makoto yang memerah karena tawa. Meski ia masih bertanya-tanya dimana titik kelucuan dari kalimat yang ia lontarkan.

"Jika kau pikir bisa memperbaikinya, bisa kau hidupkan kembali Miyuki-san?" ekspresi Makoto berubah serius. Tatapan tajam kembali ia layangkan pada Kakeru.

Kakeru sendiri membatu. Ia terhenyak dengan pertanyaan itu.

Makoto membenarkan letak kacamatanya yang turun, kemudian bangkit dari kursi cafe, "Aku melihat CCTV itu. Anda dan keluarga bahagia anda datang sebelum Miyuki-san bunuh diri. Saya yakin anda yang paling tahu apa penyebab Miyuki-san putus asa hari itu."

"K,kau?!-"

"Saya belum selesai bicara. Anda ingin bertanggung jawab? Lalu bisakah anda bertanggungjawab atas hal itu terlebih dahulu? Jika Naoki tahu hal ini apakah anda pikir ia bisa menerima anda dan istri tercinta anda sebagai bagian hidupnya?" Makoto berlalu tanpa melihat bagaimana ekspresi marah sang ayah Naoki.

Sudah ketujuh belas kalinya ayah Naoki datang menemui Makoto, disekolah, dijalan, di rumah sakit tempat Sagiri dirawat. Dari semua kunjungan ini, tak satupun Kakeru menemui Naoki. Bahkan tanpa adanya larangan dari Makoto sekalipun.

Kakeru adalah pengecut. Hal itu yang selalu Makoto simpulkan.

Makoto sudah muak.

'Orang-orang jahat yang ingin memperbaiki masa lalu? menjijikan!' Dia mendengus, tanpa sadar dia melonggarkan sampul dasinya dengan kasar.

Ingatannya melambung.. tentang bagaimana orangtuanya dulu hingga kini mengabaikan Sagiri, mungkin dalam kepala mereka Sagiri sudah tidak ada.

Tidak ada kabar yang datang dari mereka padanya, tidak ada pertanyaan tentang Sagiri yang terlontar dari bibir mereka padanya..

Mereka dengan mudah melupakannya.. Sagiri yang bahkan masih berjuang antara hidup dan mati disini.

Tangan Makoto mengepal.

'Ku kira, aku sudah melupakan masa lalu.. tapi Sagiri, mereka terlalu memuakkan untuk aku maafkan.'

Langkah kakinya terus berpacu melawan aspal jalanan. Raganya tegap melawan arus manusia di pelataran distrik Shibuya, tapi pikirannya yang sedari tadi melayang masih belum kembali.

Ingatan itu masih terus melambung, berlanjut hingga gambaran yang terekam jelas dikepala Makoto. Bagaimana Miyuki-san terbujurkaku bersimbah darah. Bagaimana Naoki begitu terpukul hingga hampir kehilangan kewarasannya. Lalu tiba-tiba manusia penyebab segala malapetaka itu datang tanpa rasa malu pada Makoto untuk mengambil kembali Naoki. Seakan-akan Naoki hanya seekor anjing peliharaan.

Semua orang yang mengetahui ini pasti akan membenci ayah Naoki, tapi saat ia mengatakan ingin memperbaiki kesalahannya Makoto tak sedikitpun melihat kebohongan. Tidak seperti orangtuanya yang sama sekali tak muncul untuk menyesal, ayah Naoki datang. Meski ke tempat yang salah. Meski sangat terlambat baginya.

Mungkin saja mereka memiliki kesempatan untuk bersama kembali, memperbaiki segala sesuatu yang selama ini berjalan salah.

Tidak!

Raungan dari dasar palung hati Makoto menyadarkannya. Naoki tidak mungkin berada ditempat seperti 'Rumah bahagia sang ayah'. Itu akan sangat menyakitinya..

"Nii-chan egois" suara sagiri terdengar direlung hatinya.

Apakah tidak memberikan ayah Naoki kesempatan adalah hanya karena keegoisannya?

Mungkin.

Bahkan untuk membiarkan Naoki mengetahuinya dan memutuskannya?

Ya, tak akan.

Jika memang ini hanya keegoisannya, jika memang iya. Tidak akan ia biarkan Naoki menderita lebih dari ini.

Ya, Makoto tidak ragu lagi. Ia akan menebalkan rasa bencinya. Pria itu adalah antagonistnya. Jika ia datang dan datang lagi, jawaban baginya tetap sama. Tidak.

Naoki lebih aman dengannya, seperti yang Yamada-san bilang "Naoki menjadi dirinya saat bersamamu. Aku titip cucuku, sampai ia bisa berjalan sendiri dan menemukan kebahagiaannya"

Tidak ada tempat lain untuk Naoki selain bersama Makoto untuk saat ini. Dan Naokipun akan berpikir hal yang sama.

Belum jauh ia beranjak dari cafe tempat mereka bicara, suara langkah cepat seseorang seakan mengekornya. Makoto menoleh, disana ayah Naoki berada tak jauh di belakangnya "Saya kira pembicaraan kita sudah selesai."

"Dengar sensei. Anda hanya seorang guru bagi Naoki. Tapi aku ayahnya! Naoki lebih berhak hidup dengan ayahnya dan ibu barunya. Tinggal di lingkungan yang tepat. Di keluarga yang lengkap!"

Jantung Makoto berdegup keras. Rasa benci itu .. bagaikan sedang mengepakkan sayapnya dipundak Makoto. "Jika saya bilang tidak, apa yang akan anda lakukan?"

"Apa yang membuat anda begitu terikat dengan anak ku?! Apa arti Naoki bagimu sensei?!" Ayah Naoki mulai kehabisan kesabaran

Makoto bergeming. Benar, Naoki itu siapa bagi Makoto?

Sebelum Makoto berhasil menemukan jawabannya, ayah Naoki berjalan mendahuluinya "Aku akan tetap mengambil kembali Naoki dari anda sensei," langkahnya cepat, menuju mobil BMW mewahnya yang terparkir di tepian jalan. Ia menutup pintu mobil dengan kasar dan berlalu dengan mobilnya begitu saja.

Tangan Makoto mengepal. 'Keras kepala sekali!'

Kebencian itu seperti percikan api, entah dinamapun ia jatuh. Ia akan melahap segalanya..

'Kebencian itu datang padaku Sagiri, kini membesar dan membakar sedikit demi sedikit empati yang aku miliki.'

***

avataravatar
Next chapter