1 HAJIMATTA (prolog)

Rambut hitam panjang terlepas dari kaitan di telinganya, saat ia menunduk menatap kosong kalender di pangkuannya. Jari-jari lentiknya mengusap pelan permukaan kertas licin itu. Suara konstan mesin mesin khas rumah sakit seakan menjadi lagu pengantar tidur. Bedanya, suara itu berbunyi sepanjang waktu.

"Sayangnya virus itu kebal dengan obat obat yang selama ini Sagiri minum, saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Kita hanya bisa menunggu", suara dokter terngiang-ngiang dalam benak nya. Kini ia menyesal menguping pembicaraan walinya dengan sang dokter.

"Dua bulan..", nafasnya berat. Hanya tersisa dua bulan hidupnya..

Hari berganti hari.. kalender sudah tidak lagi ada di meja atau di pangkuannya. Terlalu frustasi baginya melihat hari semakin berlipat menuju batas yang dokter perkirakan. Semakin lemah.. bahkan untuk menangis.

Sebelum semuanya menjadi semakin kelam. Ia melarikan diri. Mencabut selang infus di lengannya, melepas semua – yang entah apa namanya itu – yang menempel di seluruh tubuhnya, benda itu tersambung dengan mesin-mesin berisik di samping ranjangnya. Wajah pucatnya tak berekspresi bahkan ketika darah segar mengalir dari lengannya akibat selang infus.

Dengan tenaga yang susah payah ia kumpulkan. Ia terhuyung-huyung menuju tangga darurat di ujung lorong. "Pukul 2 malam", bisiknya pelan menilik ke arah dinding lorong di arah kanan, jam hitam besar bersanding di sana dengan detik-detiknya yang tak bersuara.

Tanganya beberapa kali menopang beban tubuhnya ke dinding. Dengan terseok-seok ia menaiki satu persatu anak tangga, sekarang ia sudah ada dihadapan sebuah pintu besi yang berat dan berderit saat dibuka. Tidak ada seorangpun disana. Ya! Siapa orang aneh yang pergi ke lantai paling atas gedung ini pukul 2 malam, selain orang putus asa seperti Sagiri? Hantu mungkin.

Angin malam yang tak pernah ramah menerpa wajahnya. Dinginnya bagai ratusan jarum kecil yang menusuk pori-pori. Tanpa alas kaki ia sempoyongan menyusuri ruang terbuka. Disana tidak ada apa-apa, hanya ada penampungan air besar dan pipa-pipa besar pembuangan exhaufan. Pandangannya tertuju pada pagar besi pembatas yang sudah mengelupas dan meninggalkan noda merah tua pada lantai beton, aroma karat menguar kuat dari sana. Lantainya basah akibat air hujan, beberapa genangan yang ia pijak mengeluarkan bunyi keciprak pelan dan membasahi sedikit ujung celana piyamanya. sedikit demi sedikit ia mendekati pagar yang tingginya hanya satu meter.

Sagiri memanjatnya..

Di hadapannya pemandangan gelap terang yang memukau. Gedung-gedung perkantoran menjulang, Tokyo tower yang kokoh berdiri menyapa dengan kedip-kedip lampu merah terangnya.

Sudah tidak ada harapan apapun yang bisa menjadi alasannya untuk kembali turun. Jika ia kembali, ia hanya tinggal menunggu kematian datang padanya, tertidur dengan rasa sakit menyiksa yang selalu datang tanpa tahu diri, menghabiskan biaya pengobatan yang mencekik orangtuanya. Lalu bukankah menjemput kematian akan jauh lebih baik baginya?

Sagiri hanya ingin semuanya cepat berlalu.

Otaknya berseru untuk lekas terjun, setelah ini mungkin orang tuanya akan sangat terpukul, terluka, menderita. Tapi, duka tidak abadi.

Perlahan waktu akan berjalan menjauh. meninggalkan yang sudah tidak ada, menjadikannya hanya sebuah kenangan. sebuah foto di Butsudan (altar Budha) yang diletakan di sudut ruang keluarga.

Matanya memburam, semua pemandangan hebat di hadapannya sekarang kabur. hanya tampak seperti pendar-pendar cahaya. Lalu, air mata itu jatuh. Pandangannya jernih kembali. Tapi, tidak dengan pikirannya, masih buram.

Hatinya menjerit dan saat itulah suara-suara itu datang.

"Apa yang kau inginkan?" suara itu.. pelan

Kakinya bergetar, hanya beberapa inci dari tepi gedung. Dari tempat ia berdiri, terlihat lampu-lampu kendaraan yang berjajar seperti sungai cahaya. Di dalamnya, berisikan manusia manusia lelah yang rindu akan alam mimpinya. Tapi kau tahu? Tokyo tak penah tidur.

"Apa yang kau inginkan?" suara itu lagi.. semakin jelas.

"Apa yang kau inginkan?" dia menoleh mencari-cari sumber suara. Tak ada siapapun disana.. hantu? Ah.. dia tak lagi peduli, sebentar lagi mungkin dia akan jadi hantu.

"Apa yang kau inginkan?" seperti semakin menuntut sebuah jawaban.

Ia merentangkan tangannya, seakan bersiap untuk terbang. Matanya tak lagi menatap kosong sungai cahaya yang menghipnotis. Terpejam erat menghindar dari kenyataan. Suara-suara semakin banyak berbisik di telinganya bertanya hal yang sama.

"Aku ingin ... bahagia", bibirnya berbisik .. ia melompat.

Tidak ada lagi suara. Tidak ada lagi rasa dingin dari angin yang menerpa.

Tidak ada apa apa..

Hampa.

***

avataravatar
Next chapter