2 Sihir Apa yang Kamu Simpan di Dalam?

Penampilanmu dengan kawan-kawanmu belum usai. Aku kira kamu dan kawan-kawanmu hanya akan membawakan satu buah lagu saja. Tapi, ternyata tidak. Syukurlah. Aku bersyukur bisa melihatmu lebih lama di sana. Bersyukur juga bisa menikmati musikmu lebih lama.

Aku tidak mengenalmu. Begitu pun denganmu. Kita adalah dua manusia asing. Tak pernah berkenalan, bertegur sapa, bahkan membicarakan suatu hal. Anehnya aku suka melihat senyummu. Entahlah, senyummu sangat meneduhkan.

Adanya kamu di atas panggung saat itu membuatku betah berlama-lama di lapangan. Kakiku rasanya tak ingin minggat lagi dari lapangan sesak itu. kamu benar-benar ajaib. Apa mungkin dalam diri kamu menyimpan sebuah sihir? Tak bisakah kamu memberitahuku? Apa mungkin kita seharusnya berkenalan dulu supaya aku bisa mengetahui sihirmu? Ayo katakanlah padaku.

Jujur saja musikmu siang ini sangat menyenangkan. Sangat selaras dengan cerahnya hari ini. Langit dan matahari seolah bekerjasama menyelaraskan dengan musikmu. Kedua temanku, Arum dan Rina tak henti-henti berlompatan sambil berteriak menyanyikan lirik dari lagu yang kamu dan kawan-kawanmu bawakan.

Sampai pada akhirnya penampilanmu bertemu dengan akhir. Sebuah akhir yang tak ingin aku temui. Seorang vokalis dari band-mu mengatakan terima kasih kepada seluruh penonton di lapang. Mungkin ucapan itu juga ditujukan kepadaku, karna aku juga ikut menikmati penampilan band-mu.

Kamu dan kawan-kawanmu perlahan meninggalkan panggung. Berganti dengan band lain yang sedang bersiap untuk tampil. Lagi-lagi aku tidak mengenal setiap personil band-nya.

Mataku tak berhenti menatap saat kamu menuruni setiap anak tangga. Hingga akhirnya tubuhmu menghilang ditelan kain hitam yang sengaja digantung sebagai pembatas antara penonton dan pengisi acara.

Musik kembali mulai menggema. Penonton di lapangan tak lelah menyenangkan dirinya masing-masing sambil berteriak, tidak memperdulikan seraknya tenggorokan. Begitu pun dengan kedua temanku. Rasanya seperti diabaikan aku oleh kedua temanku. Mereka asyik sendiri. Asyik melompat-lompat dan berteriak bagaikan gonggongan anak anjing yang kelaparan.

Pelan-pelan rasa sakit di kepalaku datang, menyuruhku untuk bergegas angkat kaki dari lapang. Kutinggal kedua temanku, berusaha menyelamatkan diri dari kerumunan. Kubiarkan kedua temanku bersenang-senang menghibur dirinya.

Aku membiarkan diriku duduk di sisi lapang tempat dimana tidak terlalu banyak orang ada. Kusibukkan tanganku memijit-mijit dahi menghilangkan rasa sakit di kepala. Dari tempatku sekarang, aku masih bisa mendengar jelas suara dentuman musik dan sorak sorai penonton. Heran aku, bagaimana bisa mereka tidak pusing mendengar suara keras seperti itu? Atau aku yang aneh? Atau mungkin saja tempat ini dibuat memang bukan untuk orang sepertiku? Sudahlah, yang terpenting sekarang aku sudah berhasil menyelamatkan diriku dari lautan manusia itu.

Mataku menjelajah setiap tempat, berusaha mencari keberadaanmu. Tapi, tak kunjung kutemui. Aku masih mengingat jelas wajah bahagiamu saat di atas panggung tadi. Aku juga masih mengingat jelas senyum teduhmu yang tersulam saat di panggung tadi, senyuman yang tentu saja membuat aku tersihir olehmu.

Sayup-sayup aku mendengar suara obrolan beberapa orang yang sekadar permisi bagaikan hembusan angin sepoi di telinga dari balik tubuhku. Tentunya aku merasa penasaran dengan suara itu. Lalu aku membalikkan tubuhku untuk menghapus rasa penasaranku. Aku terkejut bukan main. Ternyata itu kamu dengan kawan-kawan band-mu. Saat itu juga tubuhku seolah membeku bagaikan bongkahan es batu yang terduduk termenung di sisi lapangan.

Aku baru tahu kalau ternyata suaramu pun sangat menyejukkan. Membuatku tertagih ingin mendengarnya berulang-ulang kali. Aku ingin tahu, apakah itu juga dirasakan oleh teman-temanmu? Atau mungkin hanya aku saja yang berlebihan? Sudahlah, aku tidak peduli dengan bagaimana orang lain terhadapmu.

Perlahan tubuhmu menjauh. Perlahan tubuhmu menghilang. Ingin rasanya aku mengikutimu dan kawan-kawanmu. Mengendap-endap, bersembunyi dibalik semak-semak seperti seorang pencuri. Tapi, itu tidak mungkin. Aku tidak ingin di cap sebagai penguntit. Mendengarnya saja sudah membuatku jijik, apalagi jika sampai melekat di diriku. Tidak. Aku tidak segila itu.

"Lin, kok di sini sih?" Suara Rina memecah lamunanku hingga membuatku terkejut sedikit dengan kedua bahu yang ikut terangkat.

"Di sana berisik."

"Dealin, apa bedanya di sini sama di sana? Sama-sama berisik, lin."

"Tapi di sini nggak banyak orang."

"Lin, ayo kita ke sana lagi. Jangan sendirian di sini." Arum memaksaku. Lagi. Kepalaku menggeleng mengisyaratkan bahwa aku tidak setuju dengan ajakan mereka. Mereka pun akhirnya tidak tahan melihat sikap keras kepalaku dan meninggalkanku sendiri. Sendiri terlihat lebih baik bagiku. Walau pun aku sendiri tahu aku tidak bisa selamanya sendirian. Ada saatnya aku membutuhkan seseorang di sampingku.

Rasanya bosan jika hanya duduk diam menunggu acara pentas seni selesai. Kuputuskan untuk kembali ke kelas dan melanjutkan kegiatan menonton series yang terputus sebelumnya. Rupanya kelas kosong. Semua orang lebih memilih membaur di luar sana dibanding berdiam diri di kelas. Baiklah tidak masalah. Toh aku lebih menikmati suasana seperti ini. Sepi namun sangat damai.

avataravatar
Next chapter