3 Perasaan Aneh

Suara bel sekolah sudah berbunyi. Menandakan bahwa waktu pulang sekolah telah tiba. Namun, acara pentas seni hari ini belum mencapai akhir acara. Dari kelas, aku masih mendengar jelas suara musik kencang dan suara sorakan penonton yang tak seirama. Sepertinya mereka masih asyik dengan pertunjukkan hari ini. Sangking asyiknya mengurungkan niat mereka untuk pulang.

Aku memutuskan untuk merapihkan barang-barangku, memasukkannya ke dalam tas hitam polos milikku. Beberapa siswa sudah mulai terlihat keluar melewati gerbang sekolah. Beberapa lagi masih asyik di lapangan berlompat-lompat kegirangan sambil berseru mengikuti alunan musik.

Kawanku Rina dan Arum belum juga nampak batang hidungnya. Rupanya mereka pun masih asyik dengan dunianya di luar sana. Kuputuskan untuk pulang lebih dulu tanpa mengabari mereka. Mungkin nanti mereka akan mencariku. Biarkan sajalah.

Kini aku berdiri di samping gerbang sekolah menunggu angkutan umum yang berjalan mengarah ke tempat yang aku tuju. Tanpa disengaja, aku berpapasan dengan seorang laki-laki yang membuatku kagum saat di atas panggung tadi. Ia sedang berjalan bergerombol, tentu saja dengan kawan-kawannya sambil tertawa. Entah menertawakan apa. Aku dihadapannya dilewati begitu saja seolah tak melihat seorang pun tengah berdiri.

Tentu saja perasaanku saat itu merasa senang dan sedih. Senang karna bisa melihatnya lagi. Sedih karna aku merasa tidak dianggap ada saat itu. Setidaknya ia bisa menunjukkan rasa sopannya dengan tersenyum atau mengatakan permisi kepadaku, biarpun kita tidak saling mengenal.

Tangan kananku melambai-lambai, mengisyaratkan angkutan umum yang tengah melintas untuk berhenti dihadapanku. Angkutan umum itu berhenti, seolah mengerti isyaratku. Angkutan umum itu sudah penuh. Hanya tersisa satu kursi kosong dekat pintu. Posisi yang sangat amat tidak aku sukai. Terpaksa aku menaiki angkutan umum itu karna merasa malas harus menunggu angkutan umum lain yang belum tentu sepi penumpang.

Jujur saja duduk di kursi dekat pintu itu sedikit menakutkan untukku. Tidak, bahkan sangat menakutkan. Di samping tidak adanya pengaman, aku harus lebih berhati-hati agar tidak terjatuh keluar sampai harus mencium aspal. Tangan kananku terpaku di salah satu dinding angkutan umum untuk menahan tubuhku agar tidak terjatuh saat sang sopir menancap gas atau pun menginjak pedal rem secara mendadak.

"Kiri, bang!" Anehnya setiap ada seseorang yang mengatakan kiri, pasti selalu tak lepas dari tatapan dari penumpang lain.

Angkutan umum itu berhenti tepat di depan gang rumahku. Gangnya tidak terlalu besar, hanya saja cukup bisa dilewati oleh satu kendaraan beroda empat, tidak bisa lebih. Kalau untuk kendaraan beroda dua, sepertinya cukup untuk dilewati dua kendaraan.

Usai turun dari angkutan umum, aku masih harus melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki untuk bisa sampai rumah. Tidak jauh. Mungkin, sekitar lima menit agar aku bisa sampai rumah.

"Assalamualikum, Alin pulang, bu."

"Waalaikumsalam." Di dapur ibuku masih sibuk menyiapkan beberapa pesanan kuenya. Di ruang tamu, sudah dipenuhi oleh box-box berisikan makanan yang sudah siap antar ke pemesannya.

Aku merebahkan sejenak tubuhku sekadar ingin mengisi ulang tenagaku yang sudah terkuras di perjalanan pulang tadi. Mataku dibuat terpejam. Alih-alih tertidur, pikiranku malah terbawa kembali pada wajah seorang laki-laki yang kutemui beberapa jam lalu. Sebentar lagi sepertinya aku akan gila karna terus terpikirkan wajahnya, walau pun tak ada niat dariku untuk bisa terus memikirkannya.

"Lin, sudah pulang?" Tiba-tiba saja Arum mengirimiku sebuah pesan yang tentunya sudah ku prediksi sejak awal.

"Iya, rum. Maaf ya nggak ngabarin kalian." Begitu balasan pesanku untuk Arum.

Arum mengabariku kalau acara pentas seni sekolah baru saja selesai. Lebih lama tiga puluh menit dari jam pulang sekolah seharusnya. Namun, tidak ada protes dari setiap siswa yang mengikuti acara hingga selesai. Malah sebaliknya, mereka merasa puas bisa bersenang-senang di masa putih abu-abunya. Banyak dari mereka yang menganggap acara pentas seni ini sebagai kesan terindahnya selama masa putih abu-abunya. Mungkin begitu pun dengan kedua kawanku, Arum dan Rina yang sangat menyukai keramaian.

Aku mengganti pakaian seragamku dengan pakaian rumah santai. Kulihat ibu masih sibuk di Dapur dengan pesanan kue yang menumpuk. Tanpa aba-aba darimana pun, mataku berselancar ke arah tumpukkan box yang sedang asyik menunggu waktu untuk bertemu dengan pemesannya.

"Bu, ini sudah semua?" Teriakku sambil menghitung tumpukan box.

"Sudah, Lin."

"Assalamualaikum, permisi." Terdengar suara seorang perempuan dewasa berseliwer ke dalam setiap ruangan.

"Waalaikumsalam, mau ambil pesanannya ya, bu? Tunggu sebentar ya, bu."

Aku memberikan box-box yang sudah tersusun rapih sebelumnya di ruang tamu rumahku kepada seorang ibu-ibu yang kini tengah berdiri menunggu di teras rumahku. Ruangan yang semula dipenuhi box-box, perlahan kosong dan kembali kepada kehampaannya. Tersisa satu kursi panjang dan meja yang memang dijadikan interior ruangan itu.

***

Malam datang bersamaan dengan kesunyian yang akan membuat siapa pun merasa tenang. Susah payah aku memaksakan diriku untuk masuk ke dalam ruang bawah sadarku. Berkali-kali aku usahakan mataku agar terpejam hingga menjelang pagi. Namun, semua usaha itu gagal. Kepalaku terus berlayar bak mengarungi ombak besar. Ia tak ingin tenang sejenak. Pontang-panting terlempar ke sana ke sini hingga kehilangan arah.

Posisi baringku terus ubah. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Bantal bersarungkan motif garis-garis, aku tendang hingga keluar ranjang. Pun dengan guling yang terbaring sendiri di bibir ranjang.

"Mey, udah tidur?" Aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepada sahabat karibku yang sudah aku kenal sejak SMP.

"Belum. Ada apa, Lin?"

"Mey, tadi siang aku lihat cowok."

"Terus?"

"kenapa ya sekarang aku jadi kepikiran cowok itu terus?"

"Mungkin kamu suka sama dia, Lin."

"Suka? Secepat itu? Nggak mungkin, Mey."

Perkataan Mey lantas tak membuatku percaya begitu saja. Bagaimana bisa seseorang menyukai seseorang lain yang baru ia temui sekali bahkan ia tidak mengenalnya sama sekali? Ini sangat bodoh. Sangat mustahil untukku. Terlebih hal ini terjadi pada diriku yang sangat menutup diri kepada anak laki-laki di luar sana.

avataravatar