2 Her Belonging Is Her Privacy

"Aku pulang."

Ibuku membukakan pintu rumah dan menyambutku dengan muka yang awalnya tersenyum lalu berubah menjadi masam. Aku hampir bisa melihat ada bentuk urat di kepalanya. Entah apakah itu salah satu bentuk emotikon seperti yang sering kulihat di dalam kartun-kartun.

"Kenapa kau pulang belepotan begitu? Kenapa kakimu bengkak? Kau pulang jalan kaki? Kenapa tidak pulang dengan angkot? Trus, yang kau gendong itu siapa? Kenapa tangannya berdarah begitu?"

Pertanyaan bertubi-tubi menghantamku, belum sempat aku menjawab pertanyaan ibuku, ayahku muncul dibalik pintu.

"Waduh, anak-anak jaman sekarang. Pulang-pulang dari sekolah malah bawa anak orang. Main gendong-gendongan lagi. Sungguh roman anak muda jaman sekarang sudah dimulai saat SD. Good Job anak muda!"

Ayahku mengajukan jempol ibu jarinya padaku dengan senyum lebarnya kemudian disambung dengan sikut ibuku yang "menghantam" dada ayah.

"menghantam" yang kumaksud bukanlah maksud sebenarnya... soalnya menghantam versi ibu sungguh tidak terasa sakitnya. Bukannya ibu menyikut ayah tanpa tenaga, tapi ibu memang tidak pernah bisa kasar dengan ayah, Tapi tidak denganku. Ibu pernah menghukumku dengan memukul pantatku sampai biru selama seminggu. Hasilnya adalah aku susah duduk dan ibu diceramahi oleh ayah dengan "lembut" tentang bagaimana caranya untuk menghukum anak.

"Lembut" yang aku maksud adalah arti sebenarnya. Ayah tidak pernah membentak ibu dengan keras. Ia selalu berlemah lembut, begitu pula dengan ibu, tapi hal itu hanya berlaku diantara mereka. tidak dengan diriku... DIRIKU!

"Um, pa, bu, bisakah kita serius dikit? Orang yang dibelakangku ini butuh pertolongan. Tolong ibu rawat lukanya. Sedangkan ayah... Urut kakiku, sakit nih jalan jauh dari sekolah sampai kesini. Capek banget"

Tanpa ba bi bu, Ayah langsung bersikap hormat kepadaku layaknya prajurit bawahan kepada perwira, sedangkan ibu langsung mengambil kotak P3K kemudian merawat dia.

Ayah memang orangnya cukup kocak. Sedangkan ibu orangnya sangat tegas. Tapi seperti yang sudah aku katakan, kocak dan tegasnya mereka berdua akan melebur menjadi romantisme tiada tara.

***

"UAAAARRRRGGHHH.... PELAN-PELAN! PELAN PELAN!!!! JANGAN

TERLALU DITEKAN! AGGHHHHHHHHHH!"

Sungguh suatu kesalahan, penyesalan luar biasa, penderitaan sepanjang masa. Tanpa menggubris permintaan piluku, ayah mengurut kakiku tanpa mengurangi tenaganya. Rasanya bagaikan Nabi Daud yang sedang melipat besi bagaikan kertas yang hendak dibuat menjadi pesawat terbang kertas, meskipun kakiku tidak patah-patah tapi penderitaan ini bagaikan tiada akhir.

Sepanjang aku diurut terdengar suara piluku karena kesakitan yang tak tertahankan. Setelah 1 menit diurut oleh ayahku rasa nyeri dan bengkak di kakiku hilang. Ajaib, luar biasa. WOW. Dengan senyum lebarnya, ayah mengacungkan jempol kemudian berlalu kembali menonton TV.

Sementara itu aku pergi dengan sedikit tertatih karena sisa efek urutan ayah untuk menengok ibuku yang sedang merawat dia. Tapi belum sempat aku masuk kamar tempat dia berada. Aku menemukan ibu di sudut mataku ternyata sudah ada tidur-tiduran di pangkuan ayah yang sedang asik nonton TV. Aku tidak sempat melihat ibu keluar dari kamar dia.

"Bu, ibu sudah rawat luka temanku?"

"Sudah, liat aja di kamar tamu. Dia sedang tidur. Lukanya sudah ibu tutup dengan perban."

Cepat sekali! Sungguh kecepatan merawat yang sangat cepat.

Akupun beranjak menuju kamar tamu untuk melihat dia.

"Tunggu sebentar."

Kata ibu menghentikan langkahku. Akupun berbalik dan melihat ibuku sudah berdiri di depanku.

"... Ada apa bu?"

"Kau hanya melihat saja selama 30 detik. Jangan menyentuh ataupun ngapa-ngapain!"

"Ba-baik."

Akupun menghela nafas ketika ibu berbalik dan kembali tidur-tiduran di pangkuan ayah dimana aku masih bisa mendengar ayah mulai menggombal ibu.

"Dan jangan menutup pintu dari dalam. Jika tidak ibu akan dobrak."

Buset ini ibu. Emang aku mau ngapain anaknya orang. Meskipun aku memang sempat berniat menyentuh sedikit... di dekat bagian lukanya, hanya untuk memastikan apakah ia baik-baik saja.

"I-iya bu."

Aku menjawab pertanyaan ibu sambil sedikit terbata. Aku kembali beranjak ke kamar tamu yang jaraknya 4 langkah dari TV berada.

Rumahku sungguh sempit. Adapun lantai 2 rumahku yang hanya memiliki 5 tangga dimana tingginya hanya setinggi kulkasku.

Di kamar itu kulihat dia terbaring dengan nafas yang teratur. Di tangannya yang luka terdapat perban yang melilit dan cairan merah yang merembes yang kuduga itu adalah betadine yang telah ibu teteskan ke lukanya.

"Maaf kalau kamarnya sempit."

Kataku padanya meskipun aku tak yakin kalau dia bisa mendengarkan apa yang aku katakan dengan kondisinya yang sedang tertidur.

Keluargaku begitu sederhana. Bagian depan rumahku hanya ditumbuhi rerumputan dan sebuah pohon mangga yang tidak pernah berbuah lagi. Kenapa bisa? Benang sari dan Putik pohon mangga itu tidak pernah tumbuh lagi. Padahal 2 tahun lalu pohon itu masih sehat dan menghasilkan banyak buah mangga. Dan kurasa sekarang sudah waktunya mangga itu kusebut "Pohon Mangga Menopause".

Ruang tamuku yang cukup luas namun sempit, maksudku, lebih banyak faktor sempitnya dari pada luasnya tapi orang tuaku ngotot kalau ruang tamuku disebut luas ...tapi sempit.

Maksudnya? Aku sendiri tidak tahu.

Selanjutnya ada 1 kamar khusus untuk orang tuaku dimana lantainya dilapisi sebuah karpet merah yang usang namun merupakan pemberian orang terkenal... katanya, tapi ketika aku tanya dari siapa mereka dengan kompak berkata "Tauk, lupa." Dan kemudian 1 kamar terakhir adalah kamarku yang sangat normal. Tidak ada hiasan dan selain sebuah ranjang kapuk yang langsung menyentuh lantai, sebuah lemari pakaian dan kursi dan meja serbaguna. Kubilang kursi dan meja serbaguna karena meja itu kugunakan untuk sembarang hal. Mulai dari belajar, kerja PR, makan cemilan, dan lain sebagainya.

Hanya kamar tamu yang sedikit mewah meskipun tetap saja sempit. Yap... tepatnya adalah ruangan tempat dia sedang dirawat ini. mewahnya seperti bagaimana? Soalnya ada televisi bekas di kamar ini.

Lupakan tentang televisi bekas itu. sebaiknya aku fokus kepada orang yang hendak aku tengok. Kulihat wajahnya yang tertidur tenang dan akupun diam di tempat selama 5 detik hanya untuk menatap wajahnya. Kulayangkan pandangan kearah tasnya sekolahnya. Tas sekolahnya bagaikan tas jinjing warna abu-abu. Cukup usang dan di dekat resleting tasnya terdapat warna merah pekat dan mulai mengering.

"Merah pekat?"

Gumamku ketika melihat tasnya. Terdapat warna merah, cair dan sedikit mengalir dari resleting tasnya. Melihat dirinya yang tertidur cukup lelap, aku yang penasaran mulai mendekati tas itu dan mulai membuka tasnya. Dengan perlahan kuintip isi tasnya. Cairan merah, yang mengalir, cukup kental menodai buku tulis dan buku cetaknya serta berbagai alat tulis lainnya,

"Ini kan...darah!"

Ya, ini adalah darah. Aku tidak tahu darah siapa ini tapi melihat darah yang berceran di tas dia membuatku terdiam memikirkan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Apakah dia sempat terluka karena digigit oleh anjing liar tersebut? Di sisi lain tasnya aku melihat ada sesuatu yang tajam dan mengkilat, sedikit warna merah yang terlihat tertetes-tetes.

Step.... Step... Step...

Di belakangku terdengar suara langkah kaki, Aku terdiam dan menelan ludah. Entah kenapa rasanya tiba-tiba senyap dan bagaikan ada mata yang menatap dengan sangat lekat di belakangku. Tak ada angin dari jendela kamar yang terbuka. Semua senyap kecuali suara itu langkah itu.

Step... Step... Step...

Langkah itu semakin dekat. aku terpaku dan terdiam, tidak berani bergerak sedikitpun.

Sebuah tangan di pundakku, jemari yang seukuran dengan jari-jemari ibu.... Ibu?

Aku berbalik dan melihat sesosok figur yang yang tak lain adalah ibu, di bibirnya tersungging senyum yang sedikit... aneh dan dipaksakan. Tangannya langsung menjewer teligaku sambil melihat jam dinding .

"Kau telah menghabiskan 2 menit di dalam kamar, sini kamu"

Sial, aku lupa dengan peraturan yang tidak masuk akal yang dibuat ibuku. Tapi tunggu dulu, bukankah peraturannya 30 detik? Kenapa ibu membiarkanku lebih dari 120 detik?

"Sisanya adalah waktu toleransi. Ngaret sedikit tidak apa-apa, kan?"

Ibuku langsung menjawab pertanyaanku yang tadinya ingin aku tanyakan. Dengan telinga masih di jewer oleh ibu, aku diseret keluar dari kamar dan dipaksa nonton TV bersama ayah yang sibuk tertawa menonton acara reality show yang menampilkan acara ngerjain orang, sedangkan Ibu langsung beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam karena hari mulai gelap.

Selama 30 menit menonton TV dengan ayah sungguh membosankan dan menegangkan, Acara di TV begitu biasa dan tidak ada yang menarik dan selama menonton TV aku di interogasi akan kronologis kenapa dia bisa berakhir dalam gendonganku. Diakhir cerita, ayah tertawa dan ibu marah-marah. Makan malam di buka dengan penyerahan pistol mainanku yanga akan disita oleh Ibuku yang ia dapat ketika menggeledah tasku. Rugilah uang yang kutabung selama beberapa hari ini.

"Setidaknya puji kek sedikit karena aku telah menolong anaknya orang."

Gerutuku ketika diceramahi oleh ibu.

avataravatar
Next chapter