webnovel

Sadisme

Terkadang manusia itu bisa lebih kejam dari hewan. Melenyapkan nyawa musuh dengan tiada ampun. Tak peduli itu target langsung atau yang hanya berhubungan dengan target. Terpenting, dendam terbalaskan.

***

Gadis itu hanya mampu menangis tanpa suara, meringis menahan sakit. Ingin berteriak tidak bisa, bibir seksi yang melengkapi kecantikannya, masih meneteskan darah dari celah-celah bekas jahitan. Daun telinganya terkulai, dipotong tapi tak sampai putus.

"Kim-tan ... Kim-tan. Kekuasaanmu tak akan bisa menyelamatkan putrimu! Gate of darkness." Pria itu terbahak, sorot matanya penuh dengan kebencian. Benar dugaan Jacob, kalau hilangnya Kirana, berhubungan dengan hal mistis. Akan tetapi, calon mertuanya tidak percaya dan tidak mau membahas hal yang tak mungkin menurutnya.

"Kamu tahu, kenapa kamu berada di sini?" tanya pria itu pada Kirana. "Karena bajingan itu telah menghancurkan perusahaanku!" sambungnya dengan nada suara yang ditekan.

"Mmmh ...." Kirana meringis, ketika orang itu menarik rambutnya.

"Ops, sorry," ucap pria itu yang ternyata adalah Erlangga. Tak terlihat rasa iba dari wajah pria itu, yang dia tahu hanyalah 'dendam'.

Erlangga mengibas-ngibaskan telapak tangannya. Beberapa helai rambut Kirana terbawa. Mungkin sepuluh helai, dua puluh? Ah, tidak. Di tangannya terdapat segumpal rambut. Sehingga kulit kepala sang gadis tampak mengeluarkan darah. Kejam! Pria itu layak menyandang gelar sebagai psikopat. Dia kembali menyeringai, tatapan mata sinis mengarah pada sang gadis.

Napas Kirana mulai tersengal-sengal, semakin sesak. Perlahan pandangannya mulai gelap. Mungkin sudah waktunya malaikat maut menjemput.

"Heh! Kamu jangan mati dulu. Turunkan dia!" perintah Erlangga. "Oke, silakan kalian keluar dulu. Kita gantian," ucapnya sambil tertawa melihat para ajudan mulai mengacungkan jari telunjuk, tanda meminta jatah. Bergilir ingin menikmati tubuh sang gadis yang tampak menjijikan karena darah mengalir dari kulit kepala dan dari daun telinganya.

Kirana kembali tersentak saat sesuatu yang aneh terjadi padanya. Dia meronta, walau dengan keadaan tak bertenaga. Akhirnya dia tidak kuat lagi, di saat orang yang ketujuh ingin melepaskan napsu bejat mereka, napas Kirana pun akhirnya berhenti. Bibir mulai membiru, dan tubuhnya berubah kaku.

Kirana Tan, satu-satunya pewaris Corner Corp. Mati dengan cara mengenaskan. Dia tidak salah, yang salah kenapa dilahirkan dari keluarga kaya raya, dari bibit seorang pria angkuh. Dari pria yang juga tak mengenal rasa empati pada orang-orang yang dia anggap mengganggu dan tak berguna lagi.

Taaak!

Kampak pun beradu dengan tulang leher gadis itu. Kemudian bagian kaki, tangan, dan yang terakhir bagian dada. Kejam!

"Kalian kumpulkan potong-potongan ini, lalu beri makan buaya ternakku." Erlangga menyeringai sembari membersihkan bekas percikan darah dari tubuh Kirana.

"Berikan jantungnya padaku!" seru pria tua yang sedari tadi diam mematung.

"Oh, saya hampir lupa dengan persyaratannya, Mbah," ucap Erlangga hormat pada Mbah Karmo.

Pria tua itu mengangguk-angguk. Tangannya masih sibuk menggerakkan jari, kedua bibirnya yang berwarna gelap, terus bergerak membaca mantra.

"Ini, Mbah." Pria berambut cepak menyerahkan bongkahan tersebut.

Mbah Karmo tersenyum, kemudian dia menjilat sudut bibirnya. Dan ....

Krauk!

Mbah Karmo menggigit sedikit demi sedikit jantung milik Kirana. Orang-orang yang berada di ruangan tersebut, langsung berlari keluar karena menahan muntah yang siap muncrat seketika. Mbah Karmo terbahak, lalu berkata, "Kamu mau? Enak, lho."

"Ti-tidak, Mbah," jawab Erlangga, kemudian menyusul anak buahnya keluar.

***

Jacob duduk bersandar di kursi kantor. Matanya tertuju pada sebuah laptop, tetapi pikirannya menerawang entah kemana. Lingkar hitam di bawah mata tampak jelas, menandakan dia tak pernah tidur nyenyak. Sementara, Kim-tan dirawat oleh dokter pribadi. Karena kondisi kesehatannya mulai memburuk. Dua pria malang.

"Sayang ...." Suara mendayu lembut, terdengar oleh Jacob.

Jacob terkesiap, dia mengedarkan pandangan, tetapi hanya para karyawan yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Ya Tuhan," ucapnya lirih.

Wangi bunga menguar di sekitarnya, Jacob mencoba mengendus-endus. Berjalan mengikuti bau tersebut seperti kucing mencium makanan.

"Lagi ngapain, Pak?" tanya Elena, teman sekantornya.

"Hmmm ... kamu mencium sesuatu nggak? Maksud saya bukan parfum yang kamu pakai," ujar Jacob ketika Elena sibuk membaui ketiak dan bagian bajunya yang lain.

"Oh, enggak, Pak. Mungkin pewangi ruangan kali," jawab Elena sembari menggeleng-geleng. Perihatin, semenjak Kirana menghilang, Jacob sering bertingkah aneh. Karyawan di dalam ruangan itu pada paham dengan situasi ini.

"Jika Nona Kirana tak ditemukan, bagaimana jadinya Pak Jacob, ya?" Susi berbisik pada Angga, lalu mereka menoleh ke arah Jacob yang sudah kembali ke mejanya.

***

Notaris dan pengacara sudah berada di ruangan Kim-tan, hanya menunggu Jacob yang sedari tadi belum datang-datang. Sementara beberapa wartawan sedang menunggu di ruang tamu, serta kru TV milik pribadi.

Singa Asia itu sudah sakit parah, anak yang dicari tak kunjung ada kabar.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi, Tuan. Tuan Jacob sudah tiba," ucap Bi Arsih. Kim-tan mengangguk lemah.

"Maaf, saya telat." Jacob membungkuk.

"Langsung saja. Aku mau berobat ke Singapura, jadi aku minta tolong kau bisa mengurus perusahaan. 86% saham akan aku tulis nama kau. Dengan syarat, jika Kirana ditemukan, kau harus mengembalikan saham-saham itu." Kim-tan menghela napas, matanya mulai berkaca-kaca.

"Saya akan mengurus perusahaan walau tidak memegang saham 1% pun," ucap Jacob dengan posisi masih menunduk.

"Kau calon suami Kirana. Kau tahu, kan, kalau keluargaku sudah mati. Istriku, adikku, ibu-ayah, dan keponakanku. Terkadang Tuhan tidak adil terhadapku," ucap Kim-tan sambil menyeka air mata.

Notaris dan pengecara ikut terharu melihat Kim-tan. Dulu pria tua ini sangat angkuh dan bengis. Di saat sekarang, dia tak lebih dari anak yatim yang terbuang. Menyedihkan! Harta berlimpah tak bisa membeli kebahagiaan. Dia benar-benar sendiri.

Setelah selesai tanda tangan, Kim-tan menyerahkan sebuah map berwarna hitam pada notaris. Di sana juga tertera cap jempol milik Jacob. Kim-tan mengumumkan pengangkatan Jacob, menjadi pemilik sah Corner Crop, melalui siaran langsung di TV swasta.

Di sudut ruangan ada makhluk tak kasat mata berdiri. Sesekali ia memperbaiki posisi kepalanya yang sebentar-sebentar merosot.

"Jangan menangis, Papi," bisik makhluk itu.

Tiba-tiba angin berembus, semilirnya melewati kulit Kim-tan dan Jacob. Sontak kedua orang beda generasi itu menoleh.

"Kau merasakan sesuatu?" tanya Kim-tan pada Jacob.

"Iya," jawab Jacob. Matanya liar melihat ke segala arah. Jelas, karena ruangan ini tertutup rapat. Siapapun pasti bingung kalau tiba-tiba ada angin.

"Ya sudah, mari kita berangkat." Kim-tan bangkit dari tempat tidur, dibantu oleh beberapa pengawal.

Sesampainya di bandar, sebelum pesawat berangkat, Kim-tan sempat memeluk Jacob. Lelaki tampan itu pun tersenyum, dia mengusap-usap punggung calon mertuanya.

"Jacob, kau harus tetap mencari Kirana. Bagaimanapun, cari sampai ketemu. Habisi orang-orang yang telah membuat onar itu!" bisik Kim-tan menegaskan.

"Iya, Tuan ...."

"Kau boleh memanggilku 'papi'. Jangan sungkan lagi," ujar pria tua itu mengakhiri percakapan.

Bersambung ....

Next chapter