10 Terimakasih dan, Maaf?

Pagi datang seperti biasanya. Matahari masih terlalu awal untuk memancarkan panasnya, membuat dinginnya udara mengambil alih cuaca pagi ini.

Satu persatu siswa mulai berdatangan melewati gerbang sekolah. Salah satunya Edgar. Pertama kalinya lelaki itu datang sepagi ini. Jika bukan karena Bi Ayu yang menyetel alarmnya lebih pagi, Edgar pasti masih terlelap di bawah selimut tebalnya.

Kini Edgar sedang berjalan santai dibelakang seorang gadis yang ia tolong kemarin. Ia hanya menatap punggung Aura tanpa menyapa ataupun menanyakan kabarnya, mengingat kejadian yang kemarin malam menimpanya.

Sedangkan gadis yang dimaksud ternyata memikirkan hal lain. Tentu saja bayangan tragedi tadi malam masih menyelimuti pikirannya.

Setelah Aura bercerita pada Karina apa yang terjadi kemarin, Karina sempat melarang Aura untuk masuk sekolah hari ini, karena khawatir terjadi sesuatu lagi kepada putrinya itu. Tapi tentu saja Aura menolak keras. Ia tidak terluka, ataupun sakit.

Hanya sedikit trauma. Masih bisa ia atasi.

Tetapi ada yang lebih penting dari itu. Bagaimana caranya untuk berterimakasih pada lelaki yang telah menolongnya. Ya, Edgar.

Berterimakasih bukanlah hal yang sulit tentunya.

Namun, kemarin Edgar memeluknya! Bahkan, Aura baru ingat saat sudah berada di kamar. Wajahnya memerah saat kembali teringat lelaki itu memeluknya sembari mengelus rambutnya.

Ah, Aura terlalu malu, bahkan untuk sekedar bertemu Edgar.

Mungkin itu wajar saja bagi orang lain. Tapi untuk Aura yang tidak pernah dipeluk siapapun, kecuali orangtuanya, itu benar - benar ... mendebarkan?

Sepertinya itu bukan kata yang tepat.

Tetap saja, Aura tahu Edgar melakukan itu untuk membungkam tangisannya. Edgar pasti malu karena menjadi pusat perhatian.

Tidak bisa dibayangkan, bagaimana canggungnya saat bertemu Edgar nanti.

Berbeda dengan Edgar, ia bangga dengan feeling-nya yang selalu tepat. Ia sangat sangat beruntung bisa menyelamatkan Aura kemarin.

Bagaimana jadinya jika kemarin ia tidak peduli pada Aura? Jika tidak ada dorongan dari hatinya untuk menemui Aura di halte, mungkin saja Aura tidak akan berada didepannya saat ini.

"Aura!" Panggil Edgar tiba - tiba, membuat langkah gadis didepannya seketika terhenti.

Kaget? Tentu saja. Sedari tadi ia memikirkan cara berterimakasih jika bertemu Edgar, tetapi suara bariton itu lebih dulu menyapanya.

Oh, ayolah, Aura belum siap bertemu Edgar saat ini. Apa yang harus dikatakannya sekarang?

Mau tak mau Aura menoleh ke belakang, sedikit mendongak karena Edgar yang lebih tinggi darinya. Mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat biasa saja.

"Lo sakit? Muka lo merah," tanyanya lagi.

Aura terdiam sejenak, yang benar saja!

Aura menyentuh pipinya, "Gak papa, kok! I-ni emang cuacanya aja yang panas," jawab Aura terbata, sedikit tersenyum kaku.

Edgar mengernyit heran, jelas - jelas pagi ini udaranya dingin? Semua orang saja memakai jaket? Entahlah.

"Oh, yaudah deh syukur kalo gitu," ucap Edgar lalu berjalan melewati Aura yang masih berdiri ditempatnya.

"Edgar," pangilan itu membuat Edgar menahan langkahnya dan kembali berbalik ke sumber suara.

"Kenapa?"

"Maaf ya, yang kemarin."

Edgar berfikir sejenak, "Buat?"

"Ma-maaf ngerepotin, makasih juga udah nolongin aku." Aura menundukkan kepalanya enggan menatap Edgar.

"Hm, maaf juga kemarin gue lancang meluk lo,"

"Karena kemarin lo nangisnya kenceng banget, ntar gue disangka yang bikin lo nangis, jadi gue peluk aja," lanjutnya dengan jujur.

Aura tak bergeming. Hanya menunduk, seolah sepatu itu lebih menarik daripada Edgar.

"Hey, jangan bengong,"

Aura mengangkat wajahnya. Edgar menahan tawanya saat melihat wajah Aura yang semakin merah padam. "Ah iya, pasti kemarin kamu malu banget. Sekali lagi aku minta maaf," gadis itu sedikit membungkukkan badannya saat meminta maaf dan pergi mendahului Edgar.

Aura benar - benar mudah meminta maaf saat melakukan kesalahan sekecil apapun, sangat melankolis. Padahal Edgar hanya berkata jujur sebagai pembelaan, karena tidak mau jika Aura menganggapnya tidak sopan. Bukan untuk menyalahkan gadis itu, agar meminta maaf.

Edgar mengedikkan bahunya. Terserah, lah.

Ia melanjutkan langkahnya menuju kelas. Namun tiba - tiba teringat wajah semerah tomat milik Aura tadi.

Bibirnya tak kuasa membentuk sebuah senyuman. Kemudian terkekeh pelan. Para siswa di koridor menatap Edgar aneh, lelaki dingin itu jarang tersenyum pada siapapun. Tapi, kali ini ia tersenyum di sepanjang koridor.

Harus diabadikan.

Juga, para siswa perempuan disana semakin tergila - gila saja pada Edgar. Wajahnya tanpa ekspresi saja tampan, apalagi saat tersenyum.

...

Di sisi lain, Aura baru saja keluar dari ruang guru, mengurus berkas yang belum rampung karena kepindahannya. Mendapat pesan, ternyata Kelly juga belum sampai, memintanya untuk menunggu di dekat gerbang.

Langsung saja Aura melangkahkan kakinya kembali menuju gerbang. Sembari memainkan ponselnya, Aura duduk di salah satu kursi untuk menunggu Kelly.

"Aura!" Panggil Kelly, terlihat berlari kecil menuju tempat dimana Aura menunggunya.

Aura berdiri dan berbalik, menoleh kepada Kelly yang menghampirinya. Namun seketika matanya membulat kaget. Tak percaya apa yang dilihatnya.

Seseorang yang tidak mungkin berada disini, sedang berdiri menatapnya dari luar gerbang sekolah yang terbuka. Apa ia hanya salah lihat?

"Hey! Gue disini kali. Pura - pura galiat gue lo, basi! Ayo masuk!" Kelly menepuk pundak Aura yang sedang melihat keluar gerbang, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Aura menoleh pada Kelly lalu tersenyum.

"Yuk!" Ajak Aura seraya merangkul lengan sahabatnya itu.

Menoleh singkat ke belakang, namun seseorang yang dilihatnya tadi sudah tidak ada. Benar juga, mana mungkin Luna berada disini, gumamnya tak bersuara.

'Akhir - akhir ini aku jadi sering banget halusinasi, sampai sering liat Luna,

Luna, kamu baik - baik aja 'kan diatas sana?' ujarnya sendu dalam hati.

...

"Haus banget, Ly. Beli minum dong, jus jeruk!"

Kelly menggeleng, "Gak, beli aja sendiri." Ucapnya yang masih menikmati makanan.

"Ah, Kelly. Beliin dong, banyak cowo malu," Aura merengek.

Tepat di samping penjual jus jeruk, banyak sekali siswa laki - laki sedang berkumpul. Kurang lebih 20 orang. Aura masih trauma melihat gerombolan laki - laki. Dan juga, Aura sangat benci cat-calling.

"Aura Calista, gue gak bisa ya. Tunggu gue habisin makanannya, kalau gak mau, beli sendiri." Tuturnya Kelly tak kalah sebal. Makanannya masih banyak. Jika makanan belum habis, lalu ditinggal sebentar saja, saat kembali lagi rasanya menjadi tidak enak.

Tak!

Dua gelas jus jeruk diletakkan didepan Aura dan juga Kelly. Aura menengadah melihat siapa orang baik hati yang memberikan jus jeruk ini kepada mereka.

Oh?

"Hai, diminum ya jus jeruknya. Aku boleh 'kan gabung disini?" Tanyanya lalu duduk di kursi yang tersisa pada meja tersebut.

Aura dan Kelly saling bertatapan. Lalu memandang seorang yang duduk dihadapan mereka. Aura tersenyum manis lalu dengan senang hati meminum jus itu.

"Iya, boleh, kok. Makasih ya!"

avataravatar
Next chapter