9 Tepat Waktu

— 10 menit sebelumnya —

Motor hitam milik Edgar baru saja terparkir di garasi rumahnya. Pemilik motor itu kemudian melepas helmnya dan berjalan memasuki rumah.

Langkah Edgar terhenti didepan pintu rumah mewah didepannya dan berfikir sejenak. Jujur saja, rasa khawatir menyelimuti pikirannya. Entah karena apa.

Tidak akan terjadi apa apa 'kan? Lirihnya dalam hati.

"Edgar pulaang," ucapnya sedikit berteriak.

Bi Ayu dengan cepat menghampiri Edgar, "Edgar udah pulang. Mau makan sekarang?" Tawarnya, tak lupa senyumnya yang selalu terpatri diwajah yang sudah cukup tua itu.

"Nanti aja deh, Bi. Edgar belum laper. Mau mandi dulu."

"Yaudah, sana mandi. Nanti biar bibi siapin makanannya," suruhnya kemudian kembali ke dapur.

...

"Hah—"

Edgar merebahkan badannya di kasur. Matanya melirik jam diatas nakas yang menunjukkan pukul tujuh malam.

Aura. Ah, gadis itu membuat Edgar tidak bisa berhenti memikirkannya. Hari sudah gelap seperti ini, Aura pasti sudah pulang? Tidak, bagaimana jika gadis itu masih berada di halte tadi? Tapi dia bilang akan dijemput, kan? Ya, pasti sudah pulang.

Pikirannya berkecamuk. Hatinya tidak tenang.

Saat melewati Aura di halte tadi, gadis itu terlihat kebingungan? Apa ada masalah? Padahal hari sudah hampir malam, jalanan juga sepi, tapi Aura masih terduduk di halte itu?

"EDGAR! Aura pasti udah pulang! Gak perlu dipikirin!" Kesalnya pada dirinya sendiri.

"Iya, pasti udah dijemput," yakinnya kembali.

Edgar tiba - tiba terpikirkan sesuatu. Ia merogoh ponselnya dan mengetikkan sesuatu. Tapi ternyata itu malah membuatnya semakin tak tenang.

Ia mengirim pesan singkat pada Aura, berbasa - basi. Namun pesan yang dikirimnya hanya mendapat centang satu, menandakan si pemilik nomor tersebut sedang tidak aktif.

Edgar kini mencoba meneleponnya, hasilnya tetap. Tidak aktif.

"Bukannya tadi gue liat dia lagi main handphone, ya?"

"Lagi di jalan kali? Atau batrenya habis?" Edgar berusaha menenangkan dirinya. Gadis yang baru ditemuinya dua hari lalu mengapa bisa membuatnya se-gelisah ini?

Lelaki itu menghela nafas panjang, lalu berusaha memejamkan matanya. Tapi tetap tidak bisa, ia terlalu gelisah.

"ARGH! Edgar lo kenapa, sih?!" Edgar mengacak rambutnya frustasi, lalu berdiri dan mengambil jaket. Tidak bisa seperti ini, ia harus membuktikan sendiri rasa penasarannya.

Lelaki itu bergegas menuju keluar rumah, lalu menghidupkan kembali motornya.

"Eh! Aden mau kemana lagi?!" teriak wanita mengikuti Edgar keluar rumah.

"Sebentar bi, ada yang ketinggalan!" Jawabnya dan segera menjalankan motor.

Ini hanya sekedar untuk memastikan saja. Agar ia tidak perlu khawatir lagi. Jika Aura sudah tidak ada di halte itu, berarti bisa dipastikan dia sudah pulang.

Dengan begitu Edgar bisa tenang.

Sebenarnya Edgar tidak tega membiarkan perempuan itu terduduk di halte sendirian, apalagi ditambah hari yang sudah gelap dan sepi.

Tapi lelaki itu terlalu gengsi untuk sekedar bertanya.

Edgar menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi. Halte itu sudah terlihat. Jalan disini benar - benar sepi. Dari kejauhan, terlihat beberapa lelaki sedang tertawa dan menarik paksa tangan seorang—

AURA?!!

Kekhawatirannya ternyata benar! Pantas saja ia terus gelisah seperti ini. Tanpa berfikir panjang lagi, Edgar semakin menambah kecepatan motornya dan menabrak sekumpulan lelaki itu.

Tiiiiiiiit

Bruk!

Semua lelaki tadi terjatuh dan merintih kesakitan setelah motor besarnya menabrak dengan keras.

"AURA! CEPET NAIK!!" Perintah Edgar saat sudah berada tepat didepan Aura.

Aura menengadahkan kepalanya yang sedari tadi menunduk. Air mata membasahi wajahnya. Tersirat rasa bersyukur diwajahnya kala melihat Edgar. Dengan cepat Aura menaiki motornya dan lelaki itu kembali menancapkan gasnya.

Sepanjang jalan masih terdengar tangisan Aura yang tak kunjung berhenti. Tangannya yang berpegangan kuat pada ujung jaket Edgar, terus bergetar seiring dengan tangisnya.

Edgar dapat merasakan betapa takutnya Aura saat ini.

Edgar menghentikan motornya didepan supermarket, kemudian turun dan berdiri berhadapan dengan gadis itu.

"Lo gapapa, kan? Gak ada yang luka?"

Aura hanya menggelengkan kepalanya dan kembali terisak menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan. Hingga orang - orang lewat disekitar menatap mereka dengan tatapan aneh.

Edgar menyentuh kedua bahu gadis itu, "Berhenti nangis. Gue pasti anterin lo pulang. Tunggu disini, gue beliin lo minum dulu." Ucap Edgar.

Namun belum sempat Edgar berbalik, Aura menarik ujung bajunya, "Kenapa?" tanyanya bingung.

"Ja—jangan kemana mana!" Pintanya lalu kembali menangis kencang.

Edgar bingung harus melakukan apa. Orang - orang sekitar pasti menganggap dirinya penyebab gadis itu menangis. Padahal bukan.

Ck, lelaki itu langsung memeluk Aura untuk meredam tangisannya. Mereka sudah menjadi pusat perhatian, jangan sampai tangisan Aura semakin menggelegar.

"Udah, dong. Jangan nangis. Lo mau ikut masuk ke supermarketnya, ayo."

Aura kemudian meremas sisi jaket Edgar dan menggelengkan kepalanya. "Ma-mau pulang a-aja. Pulang."

Edgar bisa merasakan jika bajunya basah oleh air mata. Tubuh Aura juga masih gemetar ketakutan. Edgar tidak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya telat sedikit saja.

Tangan lelaki itu tergerak mengusap pelan surai hitam Aura. Walaupun ragu - ragu, tapi setidaknya itu dapat sedikit menenangkannya.

"Yaudah. Pulang aja?" Dengan cepat Aura mengangguk.

Edgar melepas jaketnya dan memakaikannya kepada gadis tersebut. Bukan apa, hari ini udara malamnya cukup dingin sedangkan Aura hanya memakai seragam pendek.

Sepanjang perjalanan, tangisannya masih tidak kunjung berhenti. Namun untungnya tidak sekencang saat di supermarket tadi, kini hanya isakan kecil yang terdengar. Mungkin Aura masih trauma.

Sesampainya dirumah Aura, terlihat seorang wanita dan pria paruh baya sedang terburu buru memasuki sebuah mobil.

"Bunda!" Teriak Aura lalu segera turun dari motor. Wanita tadi menoleh dan keluar dari mobil lalu memeluk Aura. Tentu saja Aura kembali menangis.

Karina semakin mengeratkan pelukannya pada Aura. "Bunda kemana aja sih! Telepon Aura, kok, ga diangkat? Aura takut." Marahnya pada Karina.

"Maaf, sayang. Tadi handphone bunda ketinggalan di kantor. Waktu bunda telepon kamu lagi, kamu ga aktif. Maafin ya sayang, maaf." Wanita itu jelas khawatir. Tak berhenti tangan Karina yang terus mengelus rambut Aura dan mencium keningnya.

"Aura gak papa? Bunda nangis daritadi takut kamu kenapa napa." Sambung Rey, ayahnya.

Gadis itu hanya menggeleng pelan, masih memeluk bundanya.

Karina melepaskan pelukannya, kemudian mengusap pipinya yang basah. "Aura masuk, gih. Ganti baju, mandi langsung makan ya?" Perintah wanita itu dan dibalas anggukan oleh Aura.

Keberadaan Edgar yang sejak tadi terhiraukan kini disadari oleh wanita itu.

Karina tersenyum lalu menghampiri Edgar, "Temen Aura, ya? Makasih banget udah anterin Aura, mau mampir dulu?" tawar wanita itu.

Edgar spontan membalas senyuman itu, "Gak papa, tante. Saya langsung pulang aja, udah malem juga."

"Yaudah, lain kali main kesini ya?" seraya memegang kedua tangan Edgar dengan lembut.

Lelaki itu hanya tersenyum, "Saya pamit pulang dulu."

Edgar sedikit membungkukkan badannya dan pamit kepada wanita paruh baya itu. Walaupun sudah terlihat kerutan tipis di wajahnya, tapi terlihat masih cantik berseri.

Apalagi saat masih muda dulu? Batin Edgar dalam hati.

"Iya, hati - hati ya!"

Edgar mengangguk, kemudian melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Aura. Jujur, hari ini benar - benar melelahkan.

avataravatar
Next chapter