3 TBA

Di anugerahi sebuah kelebihan, menjadi seorang berkemampuan psikis yang mampu melihat detik - detik kematian seseorang lewat matanya, tidak pernah membuatnya sekalipun bersyukur atau mengindahkan kelebihan yang Tuhan berikan padanya.

Baginya, itu hanya semacam kutukan dan siksaan. Siapa yang senang? Melihat kematian pada setiap orang yang dijumpainya? Itu mengerikan!

"Ck, anugerah apanya." —Edgar Elios

...

"Nama gue ... Edgar. Edgar Elios."

Akhirnya uluran tangan gadis yang sedari tadi terabaikan, terbalas dengan jabat tangan kekar lelaki dihadapannya. Namun, tatapan lelaki itu tak pernah luput dari matanya. Lagi lagi, apa yang dilihat lelaki itu? Batin Aura kembali bertanya tanya.

"E-eum yaudah kalo gitu, salam kenal! Aku duluan."

Aura melesat pergi setelah melepaskan tangannya dari tangan lelaki dihadapannya itu. Jantungnya masih terasa berdebar kencang. Ralat, sangat kencang.

Berlama lama disana sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Mengapa pesona nya sangat kharismatik seperti itu? Membuat siapapun betah memandangi wajahnya.

Ugh, stop! Berhenti memikirkannya. Ya, lebih baik cepat pergi untuk menemui Kelly.

"Lama banget sih lo. Perasaan dari kelas kesini lima menit juga engga!" Kesal Kelly pada Aura yang baru saja datang ke tempat yang mereka bicarakan di obrolan chat tadi.

"Ih, tadi ada problem sedikit. Padahal aku juga udah lari. Nunggu segitu aja udah bete, gimana mau nungguin Bara? Hm?" Ujar Aura menggoda sahabat karibnya itu sembari menaik-turunkan kedua alis miliknya.

Kelly mendengus, "Ih lo mah, yaudah gue ke kelas aja." Sembari jalan melewati Aura dan sedikit menghentakkan kakinya kesal. Namun tak lama kemudian, ia berhenti dan berbalik. "Kok ga nahan gue sih!?"

Aura tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. "Ahaha, yaudah. Kelly jangan pergi dong. Anter aku ke ruang guru yaa? Plis," pinta Aura dengan wajah memelas.

Aura tahu, meski ia tidak memohon pun Kelly pasti akan mengantarnya. But, it's okay for you, bff.

Kelly tersenyum kemudian menggandeng lengan Aura, "Yuk!" ajaknya.

...

Tidak ada yang istimewa di hari pertama Aura berada disini. Saat bel masuk, wali kelas datang kemudian menyuruhnya untuk memperkenalkan diri didepan kelas. Walaupun sebelumnya ia sudah berkenalan dengan setiap orang disini, namun ya ... Apa salahnya? Agar terbilang 'sah' juga sudah menjadi murid di sekolah ini.

Ditengah pelajaran yang sedang berlangsung, Aura meminta izin untuk pergi ke kamar mandi. Ditemani Kelly tentunya. Setelah diberi izin, mereka pun berjalan keluar meninggalkan kelas.

Dua orang bersahabat itu menelusuri koridor menuju kamar mandi dengan diiringi canda tawa yang tak pernah habis mereka lontarkan setiap saat. Namun sebuah suara tiba-tiba membuat langkah mereka berhenti.

"Eh Ly, kamu denger gak?" Aura menghentikan langkahnya dan menatap Kelly yang juga sedang menatapnya bingung.

Kelly melihat sekitar, "Denger apaan?"

Lalu tak lama Kelly membulatkan matanya saat mendengar suara yang dimaksud Aura. "Ih mending kita pergi aja, jangan ganggu mereka."

"Kamu pasti mikir kotor kan? Bukan suara yang kaya pikirin, itu kaya suara orang kesakitan." Aura mengikuti asal suara itu dan sampailah dia di ujung koridor buntu yang gelap tanpa pencahayaan dari sinar matahari.

"Eh, Ra, tungguin gue! Pelan - pelan dong jalannya!" Tutur Kelly yang sedari tadi mengekori sahabatnya untuk mencari asal suara yang mereka dengar tadi.

"Kelly, liat deh disana." Aura menunjuk koridor gelap itu, yang menampakkan beberapa orang siswa sedang menyudutkan seorang gadis. Beberapa kali gadis malang itu mendapat jambakan pada rambutnya dan bahunya yang terus di dorong hingga menabrak dinding dibelakangnya.

Suara yang dicari Aura ternyata berasal dari gadis itu. Bukan desahan, lebih tepatnya suara merintih kesakitan.

Baru selangkah Aura menuju kedalam koridor tersebut, tangannya di tahan oleh Kelly sembari menggelengkan kepalanya mengisyaratkan tidak setuju jika Aura mau menolong gadis malang didalam sana.

"Jangan Ra, lo sehari disini juga belum. Nanti dikira ikut campur, udah kita ke kamar mandi aja yuk," bujuk Kelly dengan penuh kekhawatiran tersirat di wajahnya.

Aura juga tidak bermaksud ikut campur. Hanya saja, hati kecilnya tak tega jika melihat seseorang di rundung seperti itu. Ia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Kesalahan yang Aura buat disekolah lamanya.

"Ly, kamu gak kasian apa liat dia?"

Aura menghela nafasnya panjang, "Kamu juga 'kan tau aku disekolah yang dulu kaya gimana. Aku gamau ada korban lagi, Ly." Ucapnya meyakinkan Kelly, sahabatnya.

"Tapi, Ra—"

"WOY! GUE LAPORIN LO SEMUA KE BK BARU TAU RASA! MAU!?" Teriak seorang cowo yang tiba - tiba berada didepan mereka berdua.

Aura terlonjak kaget, Kelly hampir pingsan. Sejak kapan dia berada disitu?

Dan, OMG. Dia Edgar. Lelaki yang tadi berkenalan dengannya didepan kelas. Manusia es itu.

Merasa kegiatannya terciduk, mereka segera berlari terbirit-birit meninggalkan gadis malang itu sendiri. Tanpa berifikir lagi Aura dan Kelly segera menghampiri siswa korban perundungan itu.

Mata sembab, rambut kusut, dan seragamnya yang kini sudah tak rapi membuat Aura dan Kelly saling bertatapan. Keduanya yang merasa iba juga kasihan segera menolong dan membawanya ke UKS.

Mereka menuntun gadis itu berjalan keluar koridor gelap tempat kejadian berlangsung. Namun Edgar si pelaku yang berteriak tadi sudah pergi. Aura mengedikkan bahu nya tidak peduli.

Sesampainya di Ruang Kesehatan, mereka membaringkan tubuhnya di salah satu kasur yang berjejer rapi di ruangan itu.

Aura merapihkan penampilan gadis itu dan Kelly sedang membuat teh manis hangat.

Aura diam, tidak menanyakan apa yang terjadi sampai gadis itu di rundung seperti tadi. Karena ya, Aura cukup mengerti dengan masalah seperti ini.

"Kamu istirahat disini aja ya? Btw kamu kelas apa? Biar nanti aku sama Kelly minta izin ke wali kelas kamu. Ini nomor aku jaga - jaga kalau kamu butuh sesuatu. Panggil aja jangan sungkan," ucap Aura yang disertai senyuman tulus dan memberikan secarik kertas bertuliskan nomor telepon miliknya.

"Kita balik ke kelas dulu ya. Soalnya kita izinnya cuma mau ke toilet." Tutur Kelly lembut. Tumben.

Aura dan Kelly beranjak dari duduknya, namun gadis yang sedang terbaring itu tiba-tiba menarik tangan Aura. Aura dapat merasakan bahwa tangan yang sedang menyentuhnya itu sangat dingin dan lemah, sedikit bergetar.

"Ma—kasih." Lirihnya hampir tidak terdengar.

Aura dan Kelly tersenyum, "Sama - sama!" ucap keduanya.

...

"ANJ*R LO SERIUS?!"

Edgar sedikit geram dengan lelaki didepannya, ia lalu menyumpal mulut lelaki yang menganga itu dengan sebuah roti bulat utuh.

"Gausah teriak bisa gak? Gue gak tuli!" sarkas Edgar.

Rio. Temannya yang selalu membuat Edgar geleng - geleng kepala karena kelakuannya. Contohnya tadi, berteriak ditengah kantin yang sedang ramai nya siswa beristirahat, membuat semua orang menatapnya risih.

Rio hanya cengengesan dan mengunyah roti yang ada didalam mulutnya itu. "Ya maawp. Eh, Gwar inwi rotwinya enwak belwi dimwanwa?"

"Abisin dulu baru ngomong!" tukas Edgar kembali.

"Kebetulan doang kali, Gar. Nama lo yang punya bukan lo doang kali." ucap seorang teman satunya lagi tanpa menatap lawan bicaranya. Orang itu sedang fokus bermain game di ponselnya.

"Iya, kebetulan mungkin. Mungkin pacarnya atau mantanya atau temennya atau saudaranya mungkin atau kakaknya saudaranya mungkin atau bisa jadi kakaknya kakak saudaranya mungkin, atau adik saudaranya bisa aja, atau adik dari kakak kakaknya sauda-- hmp," cerocos Rio yang kembali mendapat sebuah roti ke dalam mulutnya.

"Jadi rapper aja sana! Pusing gue pusing punya temen kaya lo," ketus Aldo yang baru selesai memainkan game online di ponselnya itu. Dan mulai menyantap mie ayam yang mereka pesan bersama tadi.

Huwek.

"Sh*t, selai stroberi. Aldo! Lo kalo mau nyumpel gue pake roti yang enak dong. Gue kan gasuka stroberi."

Aldo mendelik, "Gak peduli."

"Makannya kalo mau ngomong tuh do'a dulu. Itu yang ngomong setan apa elo?!" Edgar tak kalah kesal pada sahabatnya itu.

Lagi - lagi Rio hanya mendelik tanpa dosa. Dan ikut menyantap mie ayam didepannya. "Sewot mulu lo berdua. PMS lo?!" ucap Rio sinis pada kedua temannya itu.

Edgar dan Aldo hanya menggelengkan kepalanya, harus bersabar menghadapi makhluk seperti Rio.

"Lo juga pede banget, ngapain cewe cantik kek dia bilang sayang sama lo," ucap Rio lagi, dengan mulutnya yang masih penuh dengan mie ayam.

"BANGS*T JIJIK!" teriak kedua temannya pada Rio.

"Telen dulu gak!?" perintah Aldo sembari menodongkan garpu ke depan mukanya Rio. Namun yang ditodongkan garpu terlihat hanya menyengir dan segera mengunyah makanannya.

"Jangan pernah lo nginjekkin kaki burik lo dirumah gue lagi," ucap Edgar dengan mantap.

Rio cengengesan, "Bercanda sayang," jawab Rio dengan memelas kepada Edgar.

Mana bisa dia tidak menginjakkan kakinya lagi di rumah Edgar? Rumah Edgar adalah tempat menghabiskan separuh hidupnya untuk menumpang tidur, makan, mandi, main game bahkan menjadi tempat pelarian untuk kabur jika sang mama sedang marah besar.

"Duh, gue kok punya temen kaya kalian sih," keluh Aldo yang kembali memakan mie ayamnya sembari memainkan handphone-nya.

Edgar sedikit menyeruput lemon tea miliknya dan berfikir kembali. Mungkin saja apa yang dikatakan kedua sahabatnya memang benar. Nama sepertinya 'kan bukan hanya ia seorang? Jadi Edgar tidak perlu khawatir. It's will be fine, right?

Teman-teman konyolnya terkadang juga membantu, walaupun harus sedikit bersabar untuk mengahadapinya. Rio dan Aldo adalah teman sedari ia masih berada di sekolah menengah pertama. Dan juga hanya mereka berdua disekolah ini yang mengetahui kemampuan aneh yang dimiliki Edgar.

Fyi, Edgar dan dua temannya sering dijuluki TBA atau 'threeboyfriend-able' karena semua wajah mereka yang terbilang tampan, kalem, dan tinggi. Namun ya, mereka tidak tau saja sifat asli mereka yang di idam - idamkan itu.

Edgar menghela nafasnya, "Jadi gak perlu gue pikirin lagi, kan?"

Kedua temannya mengangguk, "Ya, ga perlu. Lagian kalau seandainya bener, emang apa yang bakal lo lakuin? Gak ada. Lo gak akan bisa cegah apa - apa." Balas Aldo. Sedikit sarkas tapi memang benar adanya, Edgar tidak akan pernah bisa merubah apapun pada masalah hidup dan mati seseorang. Itu takdir.

Edgar hanya bisa menonton, tanpa bisa menolong mereka. Itu yang membuat Edgar kesal. Mengapa dia harus mempunyai kemampuan ini? Memangnya apa dosa yang Edgar lakukan di hidupnya dahulu hingga diberikan kemampuan yang lebih mirip seperti siksaan ini? Benar - benar menyebalkan.

Ditengah kesibukkannya masing masing, Rio dan Aldo tiba - tiba melotot kearah belakang Edgar yang duduk didepannya. Mata mereka mengisyaratkan agar lelaki itu melihat ke belakang. Namun, belum sampai ia menoleh ke belakang—

"Edgar,"

Gadis itu memanggilnya. Panjang umur ya orang itu. Iya, Aura.

avataravatar
Next chapter