8 Syukurlah, itu kamu.

"Eh, anj*r lo jangan nangis," ucap Rio khawatir namun yang sebenarnya ia sedang menahan tawanya.

Sekuat apapun Edgar, jika sudah menyinggung soal Ibunya ia tidak dapat menahan air mata kerinduan terhadap wanita itu. Kematian ibunya yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana Edgar bisa melupakannya?

"Apa sih lo ganggu aja! Pulang sana gue mau ngerjain tugas!" Sembari mengelap pipinya yang basah oleh air mata.

Ah, kenapa ia harus menangis didepan Rio seperti ini? Bikin malu saja.

"Gak afdol kalau gue pulang sekarang, gue numpang makan dong." Pintanya dengan halus. Memang seperti itu jika sedang ada maunya.

Edgar beranjak dari duduknya dan menuju meja belajar. "Yaudah sana ambil sendiri, punya tangan kaki itu dipake. Abis itu pulang!" Tegasnya sekali lagi.

"Iya sayang. Mau diambilin juga ga? Gue lagi baik nih."

"Gue mau—" Belum sempat Edgar menyelesaikan kalimatnya, Rio sudah memotongnya.

"Tapi boong, hahaha. Ambil sendiri! Punya tangan kaki itu dipake," ledek Rio menirukan gaya bicara Edgar tadi.

"Eits, ga kena ahahaha," ucapnya lalu tertawa setelah menghindari lemparan buku tebal dari Edgar, kemudian berlari kecil menuju keluar kamar.

Wah, memang butuh kesabaran tingkat dewa mempunyai teman seperti Rio.

Edgar hanya menghela nafas panjang dan, "Bangs*t," lirihnya pelan.

...

Suara sendok garpu berdenting beriringan diruangan yang hangat pagi ini. Tiga orang di meja makan, nampaknya sedang berbincang santai satu sama lain seraya mengisi perutnya yang kosong untuk beraktivitas hari ini.

"Bun, Aura hari ini pulang agak sore, ya. Soalnya ada kerja kelompok abis pulang sekolah," ucapnya disela sela pembicaraan mereka.

"Dimana kerja kelompoknya? Jauh?"

"Dirumah Dara. Kalo jauh sih, Aura juga gatau, nanti Aura chat bunda aja kalo udah sampe, ya?"

"Yaudah. Bekel nasi ya? Biar nanti gak lapar. Pulang nanti telepon bunda, biar bunda jemput. Kalo mau kemana mana lagi, harus kabarin dulu. Jangan main hp terus, nanti batrenya habis gak bisa kabarin bunda." Ucap Karina panjang lebar.

"Iyaaaa bunda ku yang cantik, Aura bawa powerbank, kok, tenang aja. Yaudah, Aura berangkat ya bun," lalu berdiri kemudian memeluk dan mencium pipi sang bunda. Rutinitasnya setiap hari.

...

"Aura, lo mau pulang dulu atau langsung kerumah gue? Kalau pulang dulu, lo udah tau alamatnya 'kan? Kemarin gue udah suruh si Edgar kasih alamat gue," tanya Dara.

Benar juga, kemarin Edgar meminta nomor teleponnya. Tapi sampai sekarang belum ada chat apapun dari Edgar. Mungkin dia lupa? Bisa jadi, kan.

"Aku ikut langsung aja deh, kalo pulang dulu males. Rumah aku jauh."

"Okee!" seru Dara lalu kembali ke tempat duduknya.

Dan tak lama, Edgar masuk kelas. Dua pasang mata itu bertatapan sekilas kemudian saling berpaling. Aura merasa risih saat Edgar menatapnya dengan aneh setiap kali mereka tak sengaja bertatapan. Dan Edgar merasa risih setiap melihat kematian Aura, yang selalu menyebutkan namanya.

Kesalahpahaman yang cocok.

...

4 jam berlalu, akhirnya tugas kelompok ini selesai. Sebenarnya hanya dengan 1 jam, tugas ini bisa selesai. Namun 3 jam lainnya dihabiskan oleh ponselnya masing - masing, bercerita, dan kedua cowo itu tentu saja bermain game bersama.

Hari sudah mulai gelap, waktunya Aura dan yang lainnya berpamitan kepada Dara dan mamanya.

"Aura, pulang naik apa? Dijemput? Mau bareng ga sama gue?" tawar Nando yang bersiap melajukan motornya.

"Gak papa, makasih udah nawarin. Aku dijemput, kok!" jawab Aura dengan senyuman.

"Oh, yaudah, kalo gitu gue duluan ya!" Aura hanya membalasnya dengan anggukkan.

Rumah Dara harus melewati beberapa belok gang kecil, sangat kecil bahkan motor tidak bisa melewati gang itu. Jadi Aura harus berjalan menuju halte yang tak terlalu jauh dari rumah Dara, agar Karina tidak terlalu kebingungan saat menjemputnya.

Gang-nya cukup panjang, ditambah hari mulai malam. Aura mempercepat langkahnya agar segera sampai di halte. Dengan harapan, di jalan raya masih banyak kendaraan dan orang yang berlalu lalang.

Aura mendudukkan badannya di kursi halte itu. Hanya ada dirinya sendiri saat ini. Ia kira disini akan ramai karena saat siang tadi melewati halte ini, banyak orang sedang menunggu bus. Suasana jalanan pun tidak terlalu ramai.

Dalam satu menit, hanya 3 - 4 mobil yang melewati jalan ini. Mungkin ini sudah larut? Tetapi ini masih pukul setengah tujuh. Atau mungkin penduduk disini memang berhenti beraktivitas lebih awal?

Apalah itu, Aura tidak perduli. Yang harus ia khawatirkan saat ini adalah dirinya. Sudah 5 menit yang lalu dirinya duduk di halte ini dan menelepon bundanya, namun tak kunjung ada jawaban. Tidak biasanya Karina seperti ini. Baterai ponselnya pun sudah menipis.

Powerbank ia pinjamkan kepada Kelly saat disekolah tadi, karena Kelly bilang ia lupa mencharger ponselnya. Dan Aura hanya menyisakan sedikit baterai nya untuk menelepon. Lalu apa ini? Bundanya tak kunjung mengangkat teleponnya.

"Bun, bunda dimana sih? Aura takut." Sudah yang kesekian kali dirinya mengulang kalimat itu sambil berusaha menelepon kembali kedua orangtuanya.

Dari kejauhan, Edgar melihat gadis yang ia kenal itu sedang duduk sendirian di halte bus. Sepertinya sedang menelepon seseorang untuk meminta jemputan. Tadi Edgar mendengar pembicaraan Aura dengan Nando, dan Aura bilang akan dijemput.

Akhirnya Edgar hanya melewati halte bus itu. Baiklah, awal yang bagus untuk menjalani keputusannya. Yaitu, mengabaikan Aura.

Aura mengenali motor yang melewatinya barusan adalah motor Edgar yang terparkir dirumah Dara tadi. Walaupun benar begitu, lalu apa? Aura tidak mungkin meminta tebengan kepada lelaki dingin itu.

Aura terus mencoba menghubungi Karina. Matanya memanas, sepertinya sebentar lagi akan menangis, "Bunda, kok, gak diangkat sih? Bunda lagi dimana? Apalagi ayah, handphone-nya aja ga aktif."

Aura sudah berkaca - kaca. Apa ia lebih baik kembali lagi saja kerumah Dara? Tapi ini sudah malam, takut mengganggu.

Ya Tuhan, ia menyesali saat menolak ajakan Nando tadi.

Lalu apalagi yang harus dilakukannya? Aura sudah tidak dapat menelepon lagi karena ponselnya sudah low-bat dan mati. Tidak ada pilihan lain, ia harus kembali kerumah Dara dan meminjam telepon, bukan? Daripada terus berada disini.

Aura memasukkan ponselnya kedalam tas dan bergegas untuk kembali kerumah Dara. Namun sayang, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Beberapa orang lelaki mendekatinya. Aura sudah berfikiran yang aneh - aneh. Tidak akan seperti di film - film kan? Tidak apa apa.

Ayo lari!

"Akh," tangannya ditarik paksa oleh salah satu lelaki dengan tampang preman. Banyak tindik yang menempel di wajahnya. Aura takut, sungguh.

"Hey, mau kemana buru - buru banget? Mau dianter?" tanya lelaki itu dengan senyum smirk dan dibalas tawa teman - temannya.

Jantung Aura berdetak kencang. Ia harus melepaskan cengkraman ini kemudian lari sekuat tenaga. Namun cengkraman pria ini terlalu kuat.

"Gak mau, LEPASIN!" Teriaknya seraya berontak sekuat tenaga.

Tak sadar ia sudah menangis dan berusaha melepaskan tangannya dengan tangan yang satunya. Siapa saja, tolong Aura.

"Mau ditolongin loh ini, kok, marah - marah? Ayo, ikut gue ambil motor kesana,"

"Ayok? Kita ga jahat kok, haha," lanjut satu temannya yang lain.

Air matanya sudah mengalir deras. Mengapa jalanan ini semakin sepi. Tidak ada motor atau mobil melewat. Jumlah mereka sekitar 5 orang, walaupun Aura berhasil melepaskan cengkramannya, dan lari, mereka bisa mengejarnya dengan mudah.

Rasanya pergelangan tangannya sudah memerah sekali karena Aura yang masih saja berusaha lepas dari cengkraman pria itu. Orangtuanya pasti datang. Pasti. Atau siapapun, Aura akan mengulur waktu, dengan harap cemas, semoga ada pengendara yang melewati jalan ini dan menolongnya.

"GAMAU!! LEPASINNN!!"

"Jangan teriak - teriak cantik. Sebentar aja kok. Gak akan lam—"

Tiiiiiiiit

Bruk!

Semua lelaki tadi terjatuh dan merintih kesakitan setelah sebuah motor menabraknya keras.

"AURA! CEPET NAIK!!"

Syukurlah, Aura kenal dengan suara ini.

Edgar.

avataravatar
Next chapter