19 Senjata dan Nyawa

Rio mengendus - endus jaket yang dipakai Edgar, "kok, wangi parfum cewe?" tanyanya curiga.

"Ck, lo ngapain sih anj*r," balas Edgar merasa risih.

Menjauhkan hidungnya dari ketiak Edgar kemudian menyipitkan mata, menatap penuh selidik sahabatnya.

Edgar yang melihat itu hanya menggeleng berusaha tidak peduli.

Manusia aneh itu tersenyum ambigu, membuatnya jengah. "Apa lagi sih, yo?" Ia bertanya.

Rio merangkul bahu Aldo, kemudian membisikkan sesuatu tanpa mengajak Edgar, sesekali meliriknya.

Aldo yang tiba - tiba dirangkul, menghela nafasnya. Rio berbisik tapi tidak mengatakan apa - apa, hanya, "asdfghjkl asdfghjkl," seolah sedang membicarakan Edgar.

Sangat bisa ditebak, Rio sedang berusaha membuat Edgar kesal.

Bisa ia lihat, sahabatnya yang tidak diajak itu sebentar lagi akan murka, meledak mengeluarkan api dari kepala dan kedua telinganya.

Rio terkekeh, "yaudah, jadi itu parfum siapa?" tembaknya santai.

"Aura, kenapa emang?!" Jawab Edgar emosi. Lebih tepatnya keceplosan.

Rio menutup mulutnya dramatis sedangkan Aldo menatap Edgar penuh pertanyaan. Bagi mereka, membuat Edgar berkata jujur itu mudah. Buat saja lelaki itu emosi, maka ia akan membeberkan segalanya.

Dengan muka yang masih memerah karena malu, Edgar menyambar helm yang tergantung di spion kemudian memakainya. Menghindari sejuta pertanyaan yang ada di otak kedua sahabatnya, terutama Rio.

"Eh, eh! Kenapa tuh muka lo jadi merah?"

"Diem lo!"

Rio mengabaikan itu, "kayanya ada yang udah pdkt nih! Sama siapa ya, do? Lo tau gak?"

"?!"

"Padahal kemaren bilangnya gamau ikut campur, kok, sekarang malah di deketin sih?"

"Gue bilang diem!"

"Do, siapa sih nama cewenya, gue lupa"

Tak disangka, Aldo meladeni omongan Rio. "Aura, kenapa emang?!" Jawabnya menirukan Edgar tadi.

Edgar tertohok. Ia benar - benar merasa disudutkan. Rio sialan!

Rio yang melihat Edgar kembali membuka helmnya sontak berlari, dan macan yang sedang berapi - api itu langsung mengejarnya.

Memasuki lagi lapangan basket menghindari tangkapan maut Edgar. Terus berlari, mengelilingi pohon, melewati pagar dan terakhir bersembunyi dibelakang Aldo.

Tidak ada jalan lagi, "lo bantuin gue, kek! Jangan diem aja!" suruhnya panik saat melihat Edgar yang berjalan pelan menghampirinya.

Entah yang keberapa kali Aldo menghela nafas. Dua manusia itu jarang sekali akur. "Lo yang duluan cari gara - gara, tanggung sendiri akibatnya."

"Lah, tadi lo juga ikutan?!"

Edgar sudah berada dihadapan Aldo, Rio semakin menyembunyikan tubuhnya di belakang punggung lebar itu.

"Keluar lo!"

Mengintip sedikit, kedua mata itu menatapnya dengan nyalang. Ia tersenyum pasrah, lalu keluar dari persembunyiannya.

"Damai aja, Gar. Kata bunda gue bertengkar itu gak baik," bujuknya mengulurkan tangan, meminta jabat perdamaian.

Lelaki itu membalas jabatannya, membuat Rio lega.

Sedetik kemudian, Edgar memelintir tangannya ke belakang, membuatnya mengerang kesakitan.

"Anj*ng, Gar! Iya, iya! Gue minta maaf," serunya cepat.

Edgar tak langsung mengabulkan, tapi memelintirnya sedikit lagi. Setelah itu ia lepas.

Kalau bukan laki - laki, mungkin Rio sudah menangis bombay. Ia meringis, setelah dilepas, seketika tangannya lemas. Memang benar, jangan membangunkan macan yang sedang tertidur.

Edgar berbalik, berjalan menuju lapangan.

"Gak ada kapok - kapoknya ya lo," ejek Aldo kepada Rio yang masih sibuk dengan gerutuannya.

Lelaki itu hanya mendelik, "diem lo!" sekarang malah ia yang emosi.

Aldo mengedikkan bahunya lalu berjalan mengikuti Edgar.

Setelah kompak melarikan diri untuk kabur dari kelas tambahan, mereka langsung menuju lapangan basket, tempat yang sering mereka datangi sejak dulu.

Tempatnya sedikit terbengkalai, dan berada di samping danau. Jauh dari keramaian, mungkin hanya mereka saja yang masih datang ke tempat ini.

Namun itu menjadi tempat favorit mereka.

Ia duduk disebelah Edgar, di sebuah sofa yang sudah cukup usang. Mereka jadi tidak bisa langsung pulang. Tidak setelah Edgar memelintir tangan Rio.

"Jadi gimana? Lo udah buat keputusannya?"

Edgar menyandarkan punggungnya dan menghembuskan nafas lelah, "udah," jawabnya singkat.

Rio ikut bergabung, sembari masih mengusap sebelah tangannya yang sakit. Menatap sinis kearah sang pelaku yang hanya mengabaikannya.

"Lo udah yakin sama keputusan lo kali ini?"

"Seratus persen."

"Karena nanti lo bakal masuk dan ikut campur di kehidupan Aura, lo gak boleh berhenti di tengah jalan. Lo harus tanggung jawab sampai akhir, seenggaknya tanggung jawab sama keputusan lo," tuturnya mewanti - wanti. Membuat Edgar sedikit goyah akan pendiriannya.

Mengapa seakan - akan ia sudah menikahi Aura?

Aldo memperhatikan ekspresi sahabatnya itu, "Edgar," panggilnya menuntut jawaban.

"Iya, gue tau. Kali ini gue yakin," jawabnya cepat.

Padahal jelas sekali Aldo melihat sedikit keraguan disana. Tapi sudahlah, asalkan Edgar sudah berkata yakin. Ia kembali bersuara, "jadi apa rencana lo?"

"Aura harus jadi pacar gue dulu."

"Emangnya dia bakal mau jadi pacar lo," remehnya kepada Edgar, seperti belum kapok saja. Padahal dirinya juga yang pernah menyarankan hal tersebut.

Melihat Edgar yang sudah melotot kesal, Aldo segera waspada. "Mending lo diem deh, yo. Belum kapok juga lo?"

Rio hanya memonyongkan bibirnya mengejek Aldo.

"Kayanya kita harus belajar lagi bela diri," ujar Edgar tiba - tiba.

Aldo mengangguk mengerti. Ia juga merasa demikian. "Karate?"

Orang - orang yang Edgar lihat dalam kematian Aura, mereka berbadan besar dan bersenjata. Hanya sebatas itu, ia tidak memiliki informasi apapun lagi.

Yang pasti, orang - orang itu bukan tandingan yang sepadan untuk Edgar dan teman - temannya. Karena bagaimana pun, mereka hanyalah murid sekolah menengah. Dan musuh mereka nanti mungkin adalah orang dewasa yang mahir bela diri.

Pikirkan saja semua kemungkinan terburuknya.

Mau tidak mau, jika Edgar berhasil menyelamatkan gadis itu, pasti akan ada pihak yang murka, tidak terima. Mereka pasti tidak akan diam saja melihat Aura selamat. Dan mungkin Edgar juga akan menjadi incaran mereka karena menjadi hambatan untuk membunuh gadis itu.

Ya, bela diri. Ia harus segera mempelajarinya lagi.

Dan ... latihan menembak? Ia mungkin akan membutuhkannya juga.

"Karate? Maksud lo kita harus ikutan lagi ekskul di sekolah gitu?" Protes Rio langsung.

"Males ah, gue gak mau!" Lanjutnya lagi.

Aldo memutar bola matanya, "yaudah, paling nanti lo yang bakal duluan mati kalo diincar."

"Gak perlu, gue punya kenalan," Edgar menyela, "dan karate doang kayanya gak akan cukup, kita harus latihan nembak juga."

Rio melotot horor, "NEMBAK?!"

"Gar, jangan gegabah. Andaikan kita bisa pun, kita gak akan punya izin buat punya senjata. Itu ilegal," ujar Aldo memperingati.

Edgar menegakkan tubuhnya, "Do, bagi kita mungkin itu ilegal. Tapi bagi mereka engga. Gue jelas - jelas liat mereka bawa senjata!" jelasnya menggebu.

"Dan walaupun kita gak bawa senjata, seenggaknya biar kita bisa, kalau suatu saat kita berada di situasi berbahaya yang mengharuskan kita buat ngelakuin itu."

"Ngelakuin apa?" tanya Aldo menuntut penjelasan.

Edgar meremas rambutnya. "Ck! Do, dengerin gue! Bayangin kalo misalkan nanti senjata mereka ada ditangan kita, terus kita dikepung, kita dalam bahaya? Senjata itu bakal jadi satu - satunya penyelamat. Kalau kita gak bisa pake senjata itu? Kita mati, Do!"

Aldo menggeleng tidak percaya, "lo kebanyakan nonton film, Gar."

Rio bertepuk tangan untuk mengalihkan suasana menegangkan tersebut. "Hei, bro! Mari berfikir jernih, nyatanya hidup tidak seindah drama korea-,"

"Lo, diem." Edgar menatap Rio, dengan tatapan membunuh. Seketika Rio merapatkan mulut, ia sudah terlalu banyak membuat sahabatnya itu kesal sepertinya.

Keheningan menyelimuti mereka bertiga selama beberapa saat. Edgar sedang berfikir, Aldo pun sama. Rio? Entahlah.

Edgar beranjak dari duduknya, "Gue duluan. Kita bahas ini lain kali," ucapnya dingin lalu berjalan menuju motornya terparkir.

Selepas Edgar pergi, Rio baru berani membuka suaranya. "Padahal lo tinggal iya-iya aja, biasanya juga gitu," cibirnya melirik Aldo, "lo kan tau Edgar gimana."

"Dia udah mulai obsesi soal kematian Aura. Kali ini dia udah dewasa, dia bisa lebih nekat buat ngelakuin apapun,

Edgar udah pernah gagal, waktu nyelamatin ibunya. Itu karena dia masih kecil, lemah, gak punya keberanian. Tapi sekarang? Lo liat dia dengan gampangnya bahas tentang senjata dan seolah nyawa bukan hal penting,

Misalnya mereka pengen bunuh kita, apa kita juga harus bunuh mereka? Kalau gue langsung setuju, secara gak langsung gue juga setuju Edgar jadi pembunuh. Kita bukan pembunuh kaya mereka, yo.

Tujuan awal kita bukan ini," tutur Aldo menjelaskan.

Rio mengangguk setuju, namun tidak juga menyalahkan Edgar sepenuhnya.

Mungkin maksud Edgar, itu hanya sebagai antisipasi saja jika di kemungkinan terburuknya, mereka harus menggunakan senjata tersebut untuk membunuh, secara lawan mereka nanti bukanlah yang orang mudah di lumpuhkan.

Sedangkan bagi Aldo, walaupun orang jahat sekalipun, mereka tidak bisa seenaknya mengambil nyawa seseorang. Mereka bukan Tuhan. Mereka bukan pembunuh.

Aldo sebenarnya setuju saja jika mereka harus latihan menembak, namun ia tidak menyukai bagian dimana Edgar seperti meremehkan sebuah nyawa.

Maksudnya, mereka bisa saja mengatur strategi untuk meminimalisir hal itu terjadi.

Tapi Edgar seolah hanya menunggu hari itu datang kemudian menggagalkan rencana mereka yang ingin membunuh Aura. Tentu saja jika seperti itu, mereka pasti akan dihadapkan dengan pertarungan dan bahkan adegan bunuh membunuh.

Itulah mengapa mereka butuh rencana, rencana yang matang.

Rio juga dapat melihat ambisi yang besar dalam tatapan Edgar tadi. Sahabatnya itu seakan tidak ingin kalah lagi dengan takdir. Tidak untuk kali keduanya.

Sepertinya mereka akan sedikit berselisih mengenai masalah ini.

avataravatar
Next chapter