6 Penyesalan

"Aura, bangun sayang."

Suara itu, bunda. Wanita itu tak berhenti mengelus pipi putrinya yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Karina sangat khawatir.

Aura perlahan membuka matanya, "Bunda? Ngapain disini?" tanyanya bingung.

"Kamu pingsan di depan pintu. Kecapean ya? Jaga kesehatan sayang, bunda khawatir. Di sekolah tadi gak makan, ya?" Raut wajah Karina terlihat sangat khawatir, padahal Aura sendiri merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aura sedikit bingung. Ia merasa bangun dari tidur, bukan pingsan. "Tadi Aura beli makan, kok, di sekolah. Iya mungkin, Aura kecapean. Bunda gausah khawatir, Aura gak papa." Jawabnya meyakinkan seraya tersenyum.

Aura tidak mau membuat Karina khawatir lagi. Tetapi memang sejujurnya Aura sendiri juga tidak tahu apa yang tadi terjadi.

"Yaudah, sekarang lanjut istirahat dulu. Bunda bawain makan kesini, tunggu ya." Seraya menaikkan selimut Aura sampai batas leher.

"Nanti Aura ambil sendiri aja, Bun. Mau mandi dulu."

Karina menahan pundak Aura yang hendak terbangun dari posisi tidurnya. "Gak boleh, nanti kamu pingsan lagi di kamar mandi gimana? Istirahat sebentar lagi aja, oke?" Larangnya sekali lagi.

Aura yang tidak bisa membantah lagi hanya mengangguk kecil, meng-iyakan perintah bundanya. Wanita paruh baya itu tersenyum kemudian mencium kening putrinya dan berjalan keluar kamar untuk mengambilkan makanan.

Karina itu memang sangat over-protective apalagi jika menyangkut putri semata wayangnya. Hingga Aura sudah terbiasa dengan sikapnya yang sangat berlebihan. Pernah suatu hari Aura mengalami diare, hanya tiga hari, tapi Karina tidak mengizinkannya bersekolah selama satu minggu?

Apakah diare se-mengkhawatirkan itu?

Aura tahu itu merupakan kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Bundanya hanya takut terjadi apa - apa, tapi bukannya terlalu berlebihan?

Apakah dulu pernah terjadi sesuatu padanya sehingga kedua orang tuanya menjadi sangat overprotective kepada Aura?

Huh, Aura sedang malas berfikir saat ini.

...

Langit malam telah mendominasi sebagian dunia, dihiasi sinar rembulan dan bintang disekitarnya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun Aura masih sibuk berkutik dengan buku bukunya.

Juga,

Mencoba mengingat apa saja yang dapat Aura ingat. Dimulai saat datang ke sekolah, bertemu Kelly, berkenalan dengan teman - teman barunya, kemudian menolong seorang siswa, jam istirahat, taman dan ... Edgar.

Aura mengingat semuanya sampai ia duduk di sofa rumahnya sepulang sekolah tadi.

Dan seterusnya, Aura tidak mengingat apapun. Apa memang dirinya langsung pingsan begitu saja? Mungkinkah?

Baiklah, lupakan saja. Toh, bukan sesuatu yang penting?

Gadis itu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan beberapa buku di meja. Tidak senjaga menyenggol sebuah pulpen di sikutnya, Aura lalu menggeser kursi kebelakang dan menunduk untuk mengambil pulpen tersebut.

Namun betapa terkejutnya Aura dengan sosok yang tiba - tiba muncul didepannya. Ya Tuhan!

"KYAAAAA!!"

Aura berteriak lalu menutup mulutnya rapat - rapat. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tidak mungkin!

Seorang gadis berlumuran darah, seseorang yang ia kenal. Ya, seseorang yang membuatnya harus pindah sekolah. Aura kembali menunduk dan sosok itu sudah menghilang.

Apa ini hanya halusinasinya karena ia terlalu kelelahan?

Gadis itu menangis.

Ingatan saat disekolah lamanya kembali. Sesuatu yang menyeramkan tadi ... adalah teman lamanya. Aura memegang dadanya yang terasa nyeri. Rasa bersalah kini menyelimuti Aura saat mengingatnya.

Aura menutup wajahnya yang basah oleh air mata dengan kedua tangan. Tangisannya semakin kencang. Aura sangat merindukannya.

Jika waktu dapat diputar kembali, Aura ingin kembali ke masa itu dan memeluknya erat - erat, lalu mengatakan bahwa ia tidak akan lagi meninggalkannya, bahwa Aura akan selalu disisinya.

Namun penyesalan selalu datang di akhir. Kini hanya kenangan singkat bersamanya yang dimiliki Aura. Juga penyesalan yang tidak akan pernah hilang dalam dirinya.

Aura terisak, "Lu—Luna ... Aku gak pantes dapet maaf dari kamu tapi, maafin aku. Aku udah jadi orang terjahat di hidup kamu. Kamu pantas dapat lebih kebahagiaan disana."

...

Matahari mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Jam weker itu berdering dengan nyaringnya, namun sang pemilik masih saja tertidur lelap dibawah selimut.

Lelaki itu pun akhirnya terusik dengan suara nyaring di atas nakasnya. Dengan mata yang masih terpejam, tubuhnya bergerak ke tepian ranjang dengan tangannya meraba mencari benda yang sedari tadi berusaha membangunkannya.

"5 menit lagi," gumamnya pelan.

Kemudian jam weker yang sudah berhasil dipegangnya, ia lempar jauh begitu saja sehingga suara menyebalkan itu lenyap dan dirinya kembali memejamkan mata.

Edgar masih sangat mengantuk pagi ini.

Mungkin terdengar aneh, namun semalaman ia memikirkan Aura. Memikirkan kematian gadis itu lebih tepatnya. Edgar terus berfikir, apakah ia harus mengabaikannya dan berpura pura tidak tahu saja atau ia harus mencari tahu karena mungkin ia berhubungan dengan kematian Aura?

Auh, memikirkannya sampai semalaman namun tidak membuahkan hasil apapun. Jadi jalan apa yang sebaiknya Edgar pilih?

Suara ketukan terdengar disusul dengan suara pintu terbuka. Tak lama Edgar merasakan tubuhnya di guncang oleh seorang wanita paruh baya yang sudah sangat ia kenali.

"Aduh den Edgar, kok, belum bangun? Bibi sudah siapkan sarapan daritadi," wanita itu mulai mengomel dan menarik selimut tebal yang menyelimuti Edgar.

"Ini sudah mau jam tujuh, loh. Nanti aden telat," lanjutnya.

Edgar menggeliat kedinginan, "5 menit lagi aja deh, bi. Edgar baru tidur sebentar," jawabnya lalu menyelimuti tubuhnya lagi. Matanya terasa lengket sekali untuk bangun.

"Ini aja udah terlambat, masa mau tidur lagi? Ayo bangun. Mau, bibi laporin ke tuan Abra kalau aden main game lagi sampai malem?"

Edgar masih tidak bergeming. Bi Ayu langsung saja berjalan menuju pintu dengan suara langkah kaki yang sengaja dikeraskan, terkesan bersungguh - sungguh ingin pergi melapor.

Seketika Edgar mengubah posisinya menjadi duduk, namun dengan mata yang masih terpejam rapat. "Ih, bibi main laporin aja. Iya ini Edgar bangun, nih!" ucapnya kesal sembari mengucek matanya yang lengket.

Wanita yang dipanggil bibi itu hanya tertawa kecil. Ancamannya ternyata mempan untuk membangunkan Edgar. "Iya ... Yaudah sekarang bangun, terus sarapan dulu, jangan langsung berangkat."

"Bibi mau ke dapur. Awas kalo Aden tidur lagi," lanjutnya setelah membuka semua gorden jendela di kamar Edgar.

"Padahal Edgar ga bergadang main game tau. Bibi so tau ih," rengeknya kepada wanita berumur itu.

"Iya, gimana aden aja, yaudah cepet bangun."

Mengelus singkat rambut Edgar lalu pergi meninggalkan kamar anak majikannya itu. Bi Ayu adalah asisten rumah tangga dirumah Edgar, namun Edgar sudah menganggapnya seperti seorang ibu.

Lelaki itu menggeliat meregangkan otot ototnya, "Gue males mandi," gumamnya.

...

Sepertinya bel sudah berbunyi karena melihat suasana sekolah yang hampir sepi, untung saja Edgar masih dapat melewati gerbang sekolah.

Berteman dengan satpam itu sangat berguna.

Edgar berjalan santai di koridor menuju kelas. Setiap langkahnya selalu ada sorot mata yang melihat kagum akan dirinya. Saat ini sepertinya tidak hanya satu orang yang sedang melihatnya, melainkan seluruh penghuni koridor itu sedang menatapnya tanpa berkedip.

Padahal dirinya tidak sempat mandi, tetapi aura ketampanan masih memancar di wajahnya. Tentu saja.

Namun Edgar hanya mengabaikan tatapan - tatapan itu, sangat malas jika harus melihat sesuatu yang tidak ingin ia lihat.

Sampai di depan kelas, ternyata hari ini pelajaran fisika. Guru yang selalu datang bersamaan dengan bunyi bel. Argh, Edgar memang berteman dengan satpam sekolah tetapi tidak dengan guru fisika satu ini.

Lelaki itu mengetuk pintu lanjut membukanya dengan pelan dan hati - hati.

Semua pandangan pun tertuju ke arah pintu, menampakkan Edgar yang sedang berdiri disana. Lelaki itu kini bertatapan dengan Aura yang juga sedang menatapnya.

Sepertinya sedang mengerjakan soal di papan tulis, batin Edgar.

Ah, kematian itu lagi. Edgar cepat - cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain, menghindari tatapan gadis itu. Dan pandangannya kini berhenti di guru fisika yang juga sedang menatapnya garang.

Oh, tatapan guru ini lebih menyeramkan dari kematian Aura ternyata. Edgar bergidik ngeri membayangkan omelan yang sebentar lagi akan didapatnya dari guru itu. Pak Hendry, guru fisika itu berjalan pelan namun penuh intimidasi menghampiri Erick.

Oke, gue siap, batinnya. Edgar mengangguk meyakinkan dirinya.

Tapi sepertinya ada yang aneh. Pak Hendry tersenyum? Oh, TIDAK! Jangan tersenyum, itu menyeramkan.

"Mana tugas kamu?" tanya Pak Hendry.

Edgar memejamkan matanya. Ya Tuhan, pertanyaan ini lebih menyeramkan.

avataravatar
Next chapter