11 Penasaran

Aura mengulurkan tangannya, "By the way, kita belum sempet kenalan, ya? Kenalin! Aura, murid baru. Ini Kelly." Ia menengok singkat kearah Kelly disampingnya, sahabatnya ikut tersenyum memperkenalkan diri.

Gadis didepan mereka tersenyum manis memperlihatkan lesung pipinya dan menerima uluran tangan Aura, "Salam kenal juga! Aku Anna," jawabnya antusias.

Anna, gadis itu adalah orang yang mereka tolong tempo hari, di hari pertama Aura bersekolah. Saat kejadian itu, Anna terlihat sangat lemah dan wajahnya tersirat banyak ketakutan. Namun sekarang, terlihat berseri-seri. Sangat berbeda dengan Anna tempo hari.

"Kamu baik - baik aja, 'kan?" Tanya Aura dengan hati hati, takutnya menyinggung teman baru didepannya itu.

Anna yang paham dengan pertanyaan itu kemudian mendongak menatap Aura dengan tatapan yang ... Tidak bisa Aura diartikan.

Namun sedetik kemudian kedua ujung bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Gak papa. Aku udah baik - baik aja kok!"

Jika dilihat dari senyum dan raut wajahnya yang cerah itu seperti menandakan bahwa, semuanya sudah membaik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aura hanya mengangguk lega. Melihat kejadian yang dialami Anna kemarin, selalu mengingatkan Aura saat disekolah lamanya.

Kelly yang sedari tadi hanya fokus pada benda pipih persegi panjang di tangannya tiba - tiba penasaran akan satu hal. "Anna, kenapa mereka sampe ngebully lo kaya gitu?" Saat terbesit sebuah pertanyaan di otaknya, Kelly selalu langsung bertanya. Itu hal yang bagus, tapi harus lihat kondisi!

Aura melotot kaget.

Menyenggol lengan Kelly menggunakan sikutnya. Mengapa dia menanyakan hal seperti itu pada Anna? Menanyakan kabar saja Aura sangat berhati - hati dengan lisannya, takut menyinggung lawan bicara didepannya itu.

Aura mati - matian tidak bertanya alasan mereka membully Anna, karena itu mungkin seperti aib baginya. Tetapi Kelly? Wah, manusia satu ini frontal sekali.

"Kok, kamu nanya itu, sih? Kasian Anna, takutnya risih kalo nginget hal kaya gitu," bisiknya kepada Kelly.

Kelly hanya mendengus memutar bola matanya jengah, sahabatnya ini selalu merasa tidak enakkan kepada orang lain.

Sebelumnya tidak pernah ada kejadian bully—membully disekolah elit ini. Oleh karena itu, Kelly sangat penasaran, apa yang dilakukan Anna sampai Vanessa dan antek - anteknya itu merundung Anna.

"Ck, iya - iya. Anna, gak usah dimasukin ke hati ya. Maafin mulut gue yang ceplas-ceplos ini," sesal Kelly.

Anna menoleh dan tersenyum tipis, "Eh, gak papa. Mereka ngelakuin itu karena aku gak sengaja numpahin jus ke roknya Vanessa. Aku yang salah, kok!" jelasnya lalu menunduk.

Aura merasa iba terhadap Anna. Lagi - lagi ia teringat masa lalunya disekolah lama. Bukan menjadi korban, melainkan Aura lah yang menjadi pelaku perundungan.

Kelly yang melihat tatapan kosong Aura kepada Anna pun, ingin segera mengajak sahabatnya itu pergi dari sini.

Dia tahu, sahabatnya itu pasti sedang merasa menyesal dan mungkin kembali menyalahkan dirinya sendiri atas masa lalunya.

Beberapa bulan lalu Aura masih dalam masa pemulihan karena stress beratnya, saat kehilangan Luna. Ya, sahabat Aura di sekolah lamanya.

Aura benar - benar tak bisa berhenti untuk mencoba menyakiti dirinya sendiri.

Menangis dan tidak makan seharian, melukai tangannya sendiri dengan menusuknya menggunakan pulpen tumpul. Hingga overdosis, yang hampir membunuh dirinya sendiri.

Meskipun kini sudah membaik, namun terkadang Aura masih mengalami gangguan kecemasan, saat mengingat peristiwa kelam itu kembali.

Kelly membereskan barangnya lalu berdiri, "Eh, Ra, ke kelas yuk. Gue baru inget belum ngerjain tugas biologi, gue pinjem buku lo, ya."

Berlama - lama disini hanya akan membuat Aura kembali mengingat masa lalunya.

Aura seketika tersadar dari lamunannya saat pundaknya ditepuk pelan. Mendongak menatap Kelly yang berdiri disampingnya dan mengernyit bingung, "Hah? Emang sekarang ada pelajaran biologi? Kalo gitu aku juga belum dong," jawabnya panik.

Oh sial, Kelly lupa jika hari ini memang tidak ada pelajaran biologi, pikirnya. Tapi tak apa, ia harus segera menarik Aura dari sini agar tidak berlarut dalam kesedihannya.

"T—tuh kan lo juga belum. Makanya ayo ke kelas, kita ngerjain bareng aja!" Ajaknya sekali lagi.

Aura berdiam sejenak lalu menatap Anna didepannya, "Anna! Kita ke kelas dulu ya! Lain kali kita ngobrol - ngobrol lagi, see you!"

Ia beranjak dan melambaikan tangan kirinya kepada Anna. Tangan kanannya sudah ditarik - tarik oleh Kelly yang tidak sabaran. Astaga.

Anna ikut melambaikan tangan. Sampai Aura dan temannya itu menglihang dari pandangan, wajahnya kembali datar, tanpa ekspresi. Senyuman manis yang sedari tadi terpampang diwajahnya hilang, berubah menjadi seringai tipis.

...

"Kenapa lo tolongin? Katanya lo gamau ikut campur sama hidupnya si Aura." Aldo bertanya tanpa melihat Edgar. Atensinya hanya fokus pada game di ponsel.

"Firasat gue gak enak aja waktu liat si Aura sendirian disana. Pas gue samperin, eh ternyata bener cewe itu lagi digangguin." Jawab Edgar seadanya.

Brak!

Rio menggebrak meja membuat kedua temannya tersentak kaget. "Gue berubah pikiran. Gar! Lo beneran harus ikut campur sama hidup si Aura."

Edgar menekuk kedua alisnya kesal, "Apa sih lo?!"

"Gue baru mikirin ini, Gar. Tuhan gak mungkin kasih lo kemampuan ini tanpa maksud tertentu. Ini takdir. Cuma Aura, yang manggil nama lo pas sekaratnya. Dan lo tau itu. Mungkin, 'Dia' lagi kasih lo kesempatan."

Edgar terdiam. Apakah mungkin?

"Tapi percuma. Ini kaya dua jalan buntu. Edgar ikut campur atau engga. Dua - duanya bakal berakhir sama," Aldo ikut masuk kedalam pembicaraan mereka.

"Aldo bener. Gue gak punya informasi atau jalan keluar apapun. Itu kayak, apapun yang gue lakuin, semuanya bakal sia - sia."

Rio menggeleng tak setuju, "Jadi lo bakal diem aja gitu? Nunggu kabar meninggal-nya si Aura, lo gak penasaran?"

Skakmat!

Aldo menghembuskan nafas lelah, dirinya juga jadi ikut berfikir. "Gar, lo pernah denger ini? Lebih baik menyesal karena pernah melakukan sesuatu. Daripada menyesal karena tidak melakukan apa - apa."

"Lo tuh sebenernya di pihak siapa sih?!" Kesal Edgar.

Sahabatnya itu hanya mengedikkan bahunya. "Gue cuma inget kata pepatah."

Pepatah sialan.

Edgar jadi semakin bimbang. Ia benar - benar clueless. Seperti menebak sebuah ending dari buku yang tidak pernah Edgar baca.

Rio tersenyum bangga, Aldo sepertinya juga mulai berubah pikiran. Setuju dengan pendapatnya. "Firasat gue yang ini pasti berhasil, Gar. Kalau lo gapunya clue apapun, lo bisa cari tau.

Kejadiannya, Aura masih pake baju seragam, kan? Itu berarti waktu lo gak banyak, Gar. Maksimal, kurang lebih satu tahun lagi. Sebelum kelulusan." Lanjut Rio.

"Dan kemungkinan terburuk, gimana kalau terjadinya lebih cepet? Bukan satu tahun lagi tapi satu bulan? Satu minggu?" Aldo menambahkan. Lelaki itu sepertinya mulai berada di pihak Rio.

Membuat Edgar merasa tersudutkan.

avataravatar
Next chapter