22 Liam

Seorang lelaki dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya itu terlihat menggeret kopernya keluar menuju bandara.

Ia dihampiri oleh beberapa orang bertubuh besar berpakaian hitam, yang langsung membawakan koper dan mengantarnya menuju mobil.

Lelaki itu menghela nafas, menatap jalanan asing yang menjadi pemandangannya saat ini. Sebelum deringan ponsel menyita perhatiannya.

'Lo udah dimana?' Tanyanya tanpa basa - basi.

Memutar kedua bola matanya malas, ia menjawab. "Dijalan, baru keluar bandara."

Terdengar decakan sebal dari sebrangnya, 'lelet banget, harusnya lo udah disini dari kemaren!'

"Masih untung gue mau kesini."

Gerutuan tak jelas masih terdengar membuat lelaki itu mendengus, "Gue ketemu Agatha dulu."

'Ngapain?! Orang gila itu gak ada hubungannya lagi sama kita!'

"Sebelum lo bilang orang itu gila, lo udah duluan gila."

'Liam! Jangan kesana!'

'Orang itu gak becus. Lo gak perlu hormatin dia!' Jeritnya tidak terima.

Lelaki bernama Liam itu mengusap wajahnya kasar, "ck, emang bener, yang gila disini itu lo," jawabnya sarkas.

"Nanti malem gue kesana. Kontrol emosi murahan lo itu," lanjutnya lalu memutus sambungan telepon tanpa mendengarkan protes yang masih dilontarkan orang gila itu.

Layar ponsel tersebut kembali menampilkan halaman utama, dimana foto seorang gadis menjadi wallpapernya.

Liam mengusap layar itu pelan, "Gue kangen sama lo, Luna."

...

Hari berganti tanpa permisi. Sang surya mulai memancarkan kehangatannya, perlahan mengusir dingin yang tersisa.

Pagi itu, Edgar sudah siap dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. Masih berada di dalam walk in closet, ia berdiri di salah satu lemari yang hanya berisikan koleksi jaket miliknya.

Bingung memilih jaket mana yang akan ia pakai.

Sebetulnya Edgar bisa memakai apa saja sesuka hati, namun karena hari ini dirinya akan bertemu orang yang cukup penting, ia harus terlihat sopan.

Kegiatannya teralihkan saat ujung matanya tidak sengaja melirik sebuah jaket di atas meja. Senyumnya terulas. Lantas meraih jaket itu dan menghirup dalam - dalam wanginya.

"Strawberry, ya?" gumamnya pelan.

Edgar membawa jaket itu dan memberinya gantungan baju untuk disimpan ke dalam lemari jaketnya.

"Lo disini aja. Kalo gue pake nanti wanginya ilang." Ujarnya seperti tidak waras saja berbicara dengan pakaian.

Finalnya, Edgar memilih jaket kulit hitam dan memakainya. Berkaca sejenak lalu menyampirkan tas di bahu.

Perfect!

"Selamat pagi, Bi Ayu yang cantik," Edgar dengan antusias menyapa kehadiran seorang wanita berumur yang tengah berkutik di dapur.

Wanita itu menoleh, pura - pura terkejut. "Wah, den Edgar tumben sudah siap? Biasanya jam segini itu bibi masih harus tarik - tarik selimut loh biar aden bangun," ucapnya disertai sedikit kekehan.

Edgar hanya mendengus sebal. Namun tak lama, ia mengulum senyum. Dengan segera, Edgar meminum susunya untuk menyembunyikan senyuman itu.

Tapi bukan Bi Ayu namanya kalau tidak peka. Ia menyadari ada yang aneh pun ikut tersenyum curiga kepada anak majikannya itu.

"Ada apa nih? Kok senyum - senyum, hm?"

Lelaki itu tidak menjawab, hanya terkekeh pelan lalu mengisyaratkan agar Bi Ayu mendekat padanya.

Wanita tua itu pun menurut, mendekatkan telinganya kepada Edgar untuk menerima sebuah bisikan.

"Edgar bangun pagi karena mau jemput pacar," bisiknya malu.

Setelahnya ia langsung menyambar satu sandwich dan berlari keluar dari ruang makan itu. "EDGAR BERANGKAT YA!" Teriaknya lantang.

Bi Ayu yang mendengar itu cukup terkejut, namun tak urung kini segaris senyuman terukir di wajahnya. Memang, sedari dulu dirinya sering menyuruh Edgar untuk memiliki seorang pacar. Melihat kesehariannya yang hanya pergi sekolah, bermain game, makan dan tidur membuatnya merasa jika hidup Edgar itu cukup membosankan.

Ia yang sudah mengurus Edgar sejak kecil, bahkan sebelum kematian ibunya itu, membuatnya tahu betul bagaimana kehidupan Edgar selama ini.

Ingin sekali dirinya melihat Edgar menggandeng seorang gadis dan di perkenalkan kepadanya.

Layaknya seorang anak yang memperkenalkan pacar kepada ibunya. Karena ia sangat menyayangi Edgar seperti anak kandungnya sendiri.

Dan baru saja anak itu memberi tahu bahwa dirinya memiliki seorang pacar? Sungguh mengapa rasanya se-bahagia ini? Ia ingin tahu, gadis itu seperti apa?

Gadis yang hebat karena berhasil meluluhkan sebongkah es di hati Edgar. Dan ia sangat tidak sabar menunggu Edgar untuk memperkenalkan gadis itu.

...

Aura menuruni tangga menuju ruang makan. Seorang pria yang sudah berumur namun masih terlihat awet muda itu duduk di kursi sembari membaca koran dengan ditemani secangkir kopi.

"Pagi ayah!" Gadis cantik itu menghampiri dan mengecup pipinya singkat.

Rey tersenyum, "hey, pagi sayang." Balasnya ramah lalu kembali menyeruput kopi nya.

Aura menarik kursi di samping ayahnya dan mendudukkan dirinya disana. Karina ikut bergabung sembari membawa mangkok besar nasi goreng, meletakkannya di tengah meja makan.

"Satu bulan ini katanya bakal ada kelas tambahan ya?" Karina mengambil piring, mengisinya dengan nasi goreng.

Aura mengangguk, "Iya bunda, pulangnya jadi telat satu jam lebih sore."

"Mau bawa bekal makan?"

Gadis itu mendongak, "Boleh! Soalnya kantin dari kemarin penuh terus, Aura sama Kelly sampe gak kebagian makanan," adunya pada sang Bunda.

Pasalnya beberapa hari terakhir ini, kantin disekolahnya itu tidak pernah sepi. Kemarin saja ia dan sahabatnya itu hampir kelaparan.

"Oh gitu, kirain bunda kamu diet, soalnya kamu makin kurus." Balasnya menggoda.

"Ih bunda, Aura gak pernah diet ya!"

"Masa sih, terus kenapa kamu masih mungil kaya gini, hm?" Karina menyubit hidung Aura gemas.

Aura mengerucutkan bibirnya, "Ini itu langsing, bunda. Bukan mungil atau kurus." Ia tidak terima disebut mungil.

"Tapi di mata bunda, kamu itu mungil kaya anak kecil. Gimana dong?" Karina kembali menggoda putri semata wayangnya itu.

Aura hanya meresponnya dengan cemberut kemudian menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

Karina dan Rey yang melihat itu hanya menahan tawanya. Se-dewasa apapun Aura nantinya, di mata mereka Aura tetaplah Aura kecil yang menggemaskan.

Aura teringat sesuatu, "Bunda, mulai besok aja deh bawa bekel makannya. Kelly belajar bikin katsu gitu dan ternyata enak. Aura bakal dibawain juga, katanya harus cobain masakan dia." Terkekeh pelan, teringat Kelly yang kemarin sangat antusias menjelaskan di telepon bahwa masakannya lumayan enak.

Lumayan, tolong di garis bawahi.

"Kelly belajar masak?" Aura mengangguk membenarkan.

"Bunda masih inget waktu bikin brownies dulu, dia malah masukin tujuh sendok garem, padahal harusnya gula," ungkapnya lalu tertawa.

Rey pun ikut tertawa, karena ia yang menjadi korban dari brownies gagal itu. Aura ikut meringis mendengar kembali cerita bundanya.

Sejak kecil, sahabatnya itu memang sangat tidak tertarik dengan hal berbau dapur. Oleh karena itu, perihal gula dan garam saja Kelly tidak bisa membedakan.

Ketiga orang di meja makan itu jadi berlanjut menceritakan kejadian lucu saat memasak bersama Kelly. Sejenak menciptakan ruang makan yang hangat dan penuh tawa, sebelum ketukan di pintu utama terdengar.

Mereka berhenti untuk mendengar ketukan itu lebih jelas.

Karina berdiri, berjalan menuju pintu, sedangkan ayah dan anak itu kembali melanjutkan diskusi kecilnya.

Tidak sampai lima menit, Karina kembali ke ruang makan membuat Rey dan Aura menoleh.

"Ada siapa sayang?" tanya Rey.

"Pacar Aura katanya," jawabnya santai. Melirik Aura, kemudian tersenyum sembari menaik turunkan alisnya.

"?!"

avataravatar