12 Rumor dan Keraguan

Melihat Edgar yang terdiam, Rio terkekeh. Semoga Edgar ingin mencobanya. Rio benar - benar memiliki firasat yang kuat tentang ini. "Gimana, Gar? Lo mau tetep diem aja walaupun tau apa yang bakalan terjadi?" Rio terdiam sejenak, "Udah cukup lo cuma pasrah waktu liat mata orang lain. Lo gak pernah ngelakuin apa - apa selama ini, karena mereka gak ada hubungannya sama lo. Kali ini ada, dan lo harus lakuin sesuatu."

Sahabatnya itu tampak semakin bingung saja. Sangat terlihat dari raut wajahnya. Jujur saja, jika Rio berada di posisi Edgar, mungkin ia sudah gila. Setiap bertatapan dengan orang lain, hanya akan melihat kematian orang itu. Dan parahnya, tidak bisa melakukan apa - apa. Tidak bisa menolong, hanya berdiam diri. Pasrah.

Dan kali ini, saat tahu seseorang akan membunuh orang lain, Edgar hanya akan diam saja? Bukankah itu kejam?

Mereka bertiga larut dalam pikirannya masing - masing. Sebagai sahabatnya, Aldo juga ingin yang terbaik untuk Edgar. Jika mendukung Edgar untuk berbuat sesuatu dan ternyata gagal, Edgar pasti akan merasa bersalah untuk yang kedua kali, setelah mendiang ibunya.

Dan jika Edgar hanya berdiam dalam zona nyaman pun, Aldo juga risih, risih karena Edgar tidak pernah mencoba berbuat sesuatu.

Aldo saja benar - benar bingung, apalagi Edgar.

Rio pura - pura terbatuk, mencairkan suasana. "Mending mulai sekarang, lo coba deketin si Aura deh, kali aja dia bisa selamat." Huh, Rio sangat gregetan pada Edgar. Apa salahnya jika mencoba?

Ingat pepatah yang tadi Aldo bilang!

"Kan gue—"

"COBA DULU! Lo tuh jadi orang pesimis banget. Ada gue sama Aldo yang siap bantu lo, kalau lo gak bisa lakuin ini sendirian. Ya 'kan, Do?" Ucapnya sedikit menggebu.

Aldo mengangkat satu alisnya, "Kata siapa?"

Rio sontak melotot, mulutnya menganga. "Lo tuh bener - bener ye?!" Ia kira Aldo seratus persen berada di pihaknya dan mendukungnya. Rio sakit hati.

"Ck! Gar, dengerin gue, jangan dengerin Aldo! Gini, lo pacarin, jagain dari orang jahat, penculik atau apapun itu yang bikin Aura dalam bahaya, seenggaknya sampe kita lulus. Udah, kelar."

Edgar mengusak surainya kasar. Menatap Rio sinis, "Lo bacot doang, makanya gampang." Ketusnya yang hanya dibalas delikan oleh Rio.

"Gue ngasih saran ya, bukan ngebacot wahai bapak Edgar Elios. Kalo gamau, ya gausah, asal jangan nyesel aja nanti di akhir." Ledek Rio pada Edgar, sahabatnya yang sangat batu.

"Gar, pepatah." Aldo mengingatkan.

Kini giliran Edgar yang mendelik.

Edgar jadi menimang - nimang kembali keputusannya, karena usulan yang diberikan Rio dan Aldo. Dengan berbicara, tentu saja semua akan terasa mudah. Namun jika sudah di lapangan, ia takut kenyataannya tidak sesuai dengan ekspetasi.

Edgar takut kecewa lagi.

Ah, kepalanya pusing.

"Ck! Yaudah kalian aja sana yang deketin! Kali aja jadi manggil nama lo pada pas dia sekaratnya," kesalnya. Namun Edgar tak bisa menampik, jika perkataan Rio bisa jadi, ada benarnya.

Rio menolak cepat, "Eits, gak bisa dong. Ayang gue mau dikemanain?"

"Yang keberapa? Perasaan tiap minggu pacar lo ganti mulu," Edgar benar - benar heran pada sahabatnya satu ini. Tidak pernah setia pada satu perempuan.

"Iri? Bilang bos," Rio mengangkat kedua alisnya sombong.

Edgar balas menatapnya jijik, "Dih, najis!"

Entah yang keberapa kali Aldo menghela nafas jengah, melihat kedua sahabatnya saling mengejek. Persahabatan mereka memang seperti ini. Saling mengejek, bertengkar, bahkan sampai adu jotos.

Namun mereka selalu mengandalkan dan bisa saling diandalkan saat salah satunya mengalami kesulitan. Itu salah satunya yang Aldo syukuri dari kedua sahabat absurd-nya tersebut.

"Tuh, si Aldo aja. Dia nganggur," tiba - tiba namanya disebut dalam pertengkaran mereka berdua, padahal daritadi dia hanya diam.

Ia menoleh. Mengangkat alisnya, "Apaan?" Aldo bertanya, tak paham.

"Yang deketin si Aura, lo aja." Suruh Rio enteng.

Edgar meremehkan, "Lo kaya yang gatau dia aja."

"Kenapa emang?" Sahutnya.

Keduanya langsung bertatapan, lalu tersenyum culas.

"Kan, belum move on!"

"Kan, belum move on!"

Seru Edgar dan Rio berbarengan, lalu tertawa bersama.

Aldo menggeleng heran. Ini yang ia maksud. Kelakuan dua sahabatnya memang sangatlah ajaib. Baru tadi mereka saling sarkas dan mengejek, lalu sekarang tertawa lagi.

Haruskah ia membeberkan sifat mereka?

Mereka saling mengenal saat berada di tingkat menengah pertama. E. Xeimoraga Middle School. Masih di lingkungan yang sama, hanya gedung saja yang berbeda.

Hingga untuk naik ke tingkat senior, dan memutuskan untuk berada di sekolah yang sama lagi, E. Xeimoraga High School.

Karena itu, persahabatan mereka masih terjalin sampai detik ini, dan mungkin seterusnya. Dan dengan waktu yang cukup lama itu, Aldo mulai memahami watak dan sifat mereka.

Rio, sangat menyebalkan, tapi perhatian. Ceroboh, dan begitu penasaran akan banyak hal. Memancing emosi Edgar adalah hobinya.

Sedangkan Edgar, gengsi-nya setinggi langit, kepedean-nya juga setinggi langit. Berkepala batu dan mudah terpancing emosi, apalagi karena Rio.

Sedangkan Aldo sendiri? Sepertinya hanya ia yang paling normal di antara kedua sahabatnya itu. Cinta damai, pintar dan suka menabung. Minusnya hanya satu. Ya, belum move on.

Masih banyak sifat mereka yang tidak siswa lain ketahui. Salah satunya Edgar. Banyak rumor mengatakan bahwa Edgar adalah seorang gay. Hanya karena tidak pernah terlihat menggandeng, bahkan berdekatan dengan seorang perempuan. Sejak dulu.

Karena banyak siswa berasal dari sekolah menengah yang sama dengan mereka, orang - orang mulai memperhatikan persahabatan mereka dan beberapa oknum mulai mengulik kisah percintaannya untuk dijadikan rumor. Entah untuk memulai topik pembicaraan atau untuk menjelekkan.

Penggemar mereka banyak, yang membenci mereka juga banyak.

Namun yang sebenarnya, kisah percintaan mereka cukup variatif. Mulai dari Rio adalah yang paling sering berganti pacar. Dari dalam maupun luar sekolah. Karena oknum - oknum tersebut, satu sekolah jadi mengetahui sifatnya itu. Tapi Rio tidak terlalu mempermasalahkan, memang itu kenyataannya.

Dan Aldo, dia pernah memiliki seorang kekasih yang sangat dicintainya, namun harus kandas di tengah jalan karena satu hal. Yang masih misteri sampai saat ini. Karena bahkan stalker pun tidak tahu, alasan mereka putus.

Sehingga menimbulkan banyak spekulasi seperti Aldo yang sering melakukan kekerasan kepada kekasihnya, perempuan itu hamil dan menghilang, hingga rumor yang diluar nalar. Padahal itu semua tentu saja tidak benar.

Sedangkan Edgar. Malas berinteraksi dengan perempuan, jika bukan karena sesuatu yang penting. Entahlah, orang itu memang sangat kaku dan kolot.

Bahkan rumor yang tersebar pun, Edgar tidak peduli. Karena penggemarnya pasti akan melenyapkan rumor simpang siur yang tidak jelas itu.

Aldo dan Rio juga bosan mendengarnya. Mereka pasti mendengar rumor tersebut, setidaknya setahun sekali.

Biarlah, orang - orang itu sepertinya butuh asupan gosip.

Aldo melirik kedua sahabatnya. Diluar berita tidak jelas yang beredar, mereka juga memiliki masalah yang berusaha mereka tutupi.

Seperti masalah Edgar saat ini, lelaki itu kembali melamun.

Edgar sendiri diam - diam membatin. Apa yang harus ia pilih? Apa ia akan tetap pada pendiriannya dengan mengabaikan Aura dan tidak akan ikut campur dengan hidup gadis itu?

Atau mendengarkan saran Rio dan Aldo?

Tapi jika Edgar memilih saran dari kedua sahabatnya pun, belum tentu menjamin bahwa Aura akan baik - baik saja bersamanya, bukan?

Bagaimana jika nyatanya Edgar lah yang membuat Aura berada di posisi berbahaya itu? Seperti ibunya dulu.

Edgar merebahkan kepalanya di meja dengan kedua tangannya sebagai bantal. Ia juga manusia yang mempunyai perasaan. Rasa ingin menyelamatkan mereka semua yang akan meninggal dengan cara tragis, selalu muncul di benaknya. Namun masalahnya takdir. Takdir yang tak mengizinkan Edgar untuk menyelamatkan mereka.

Edgar hanya bisa diam, menatap setiap kematian saat bertemu orang lain. Tetapi kematian gadis ini berbeda. Ia merasa harus menyelamatkannya. Namun lagi - lagi, apakah takdir sialan itu mengizinkannya?

Setelah merenung memikirkan keputusan apa yang sebaiknya Edgar ambil, lelaki itu terfikirkan satu hal.

Kemarin ia bertindak lebih cepat untuk menyelamatkan Aura di halte, dan Aura bisa selamat dari para preman itu.

Jika kali ini ia kembali bertindak cepat untuk menyelamatkan Aura dari kematian tragisnya, seharusnya Aura ... Bisa selamat, 'kan?

avataravatar
Next chapter