16 Hanya Sebuah Prolog

Sejak hari dimana Aura memimpikan kematiannya, gadis itu tidak pernah memimpikan hal lain lagi.

Setiap hari. Malam yang berbeda, mimpi yang sama.

Hanya mimpi buruk itu yang datang. Tidakk ada satu hari pun Aura tidak menangis. Bayang - bayang jika ia akan meninggalkan kedua orang tuanya terus menghantui Aura, setiap detiknya.

Bahkan Karina dan Rey sudah tidak dapat menghentikan Aura. Lelaki yang disebutkan Aura kala itu, terlalu random untuk mereka ketahui. Sebab Aura tidak menceritakan detailnya.

Gadis itu hanya meracau bahwa dirinya akan pergi.

Berapa kali pun Karina bertanya bagaimana mimpi itu, Aura tidak pernah menjawabnya lagi melainkan hanya menangis.

Seperti saat ini.

Kondisinya sangat memprihatinkan. Mata gadis itu merah sembab, dan rambutnya yang berantakan. Aura hanya duduk didepan jendela dengan tatapan yang kosong sembari memeluk bonekanya.

Sepuluh menit, Karina hanya berdiri di pintu kamar putri kecilnya. Ia meneteskan air matanya lagi kala melihat Aura yang terus berada dalam posisi itu.

Putrinya jelas tidak baik - baik saja saat ini.

Bagaimana seorang anak berusia 6 tahun merasakan hal seperti ini? Itu terlalu berat untuk anak seusianya.

Karina hanya ingin putrinya hidup normal. Pergi sekolah, dan bermain dengan anak seumurannya. Tapi mengapa Tuhan sangat tidak adil?

Apalagi jika sampai harus kehilangan Aura, ia tidak akan sanggup.

Ratusan bahkan jutaan do'a ia panjatkan kepada Yang Maha Esa, agar Aura berhenti memiliki mimpi mimpi buruk dalam tidurnya dan bisa bermain dengan teman - teman seusianya tanpa harus memikirkan sesuatu yang akan terjadi.

Dan, kembalikanlah Aura yang dulu. Yang selalu tertawa saat menonton kartun kesukaannya dan menangis saat tidak dituruti permintaannya. Apa itu terlalu serakah?

...

Dengan nampan berisi makanan, Karina masuk ke dalam kamar Aura dan menghampiri putrinya yang sedang termenung di kasur.

"Sayang, makan dulu ya? Bunda bikin sup jamur kesukaan Aura, loh. Bunda suapin mau ya?"

Aura sedikit menoleh, dan kembali menunduk lesu.

"Aura harus makan berapa kali lagi biar gak pergi ninggalin ayah bunda?" lirihnya yang masih bisa didengar Karina.

Wanita itu menyimpan nampan diatas nakas. Lalu beralih naik keatas kasur dan memeluk putrinya.

"Aura gak akan pergi, apalagi sendiri. Bunda sama ayah bakal selalu disini, disamping Aura. Kemanapun Aura pergi, bunda pasti ikut." Ucapan Karina sedikit bergetar menahan dirinya agar tidak menangis.

Ia mengusap rambut Aura yang tidak tertata dan merapikannya, "Jadi lupain mimpi itu, ya?" lanjut Karina.

Tidak ada sahutan apapun dari putrinya membuat wanita itu panik.

Melepaskan pelukannya dan Aura sudah tidak sadarkan diri. Ia menepuk pelan pipi Aura dan beberapa kali mencoba memanggil putrinya, tetap tidak ada pergerakan.

Karina menangis. Memeluk Aura dengan eratnya. Jangan bilang jika hari itu adalah hari ini.

Ya Tuhan, tolong.

"REYYYY!"

...

Disinilah Aura sekarang. Ruangan serba putih dan dingin dengan bau obat yang khas. Beberapa selang menempel di tubuh seorang gadis kecil yang tengah asik tertidur diatas kasur.

Tempat yang paling Aura takuti, dan terhitung sudah tiga hari gadis itu berbaring disana.

Wajahnya pucat pasi seperti tidak ada tanda - tanda kehidupan didalamnya.

" ... menunjukkan gejala stres pada anak,... sudah berapa lama? ... kejang kemungkinan disebabkan karena demam tingginya yang juga membuat Aura mengalami dehidrasi dan disorientasi ...

... untuk mengembalikan asupan cairan dan mempertahankan hidrasi, tetapi melihat kondisi Aura yang seharusnya mengalami peningkatan, ini malah terjadi sebaliknya,...

... oleh karena itu, kami akan terus memantau dan melakukan semua yang terbaik untuk putri ibu ... kami juga akan sangat membutuhkan banyak informasi yang nantinya menjadi bahan diagnosa untuk Aura,...

... saat ini Aura sangat membutuhkan dukungan dan do'a agar bisa mempercepat proses penyembuhannya,... kami sebagai dokter dan tenaga medis lainnya hanya membantu, segala kesembuhan penyakit hanya Tuhan yang memberi,..."

Karina menutup pintu ruangan dokter di belakangnya. Sudah tidak bisa dihitung, berapa kali ia menangis selama satu minggu ini.

Kondisi Aura seharusnya meningkat, tetapi malah terang - terangan menurun.

Tepat saat Aura baru saja sampai di rumah sakit, tubuhnya bergetar hebat hingga kejang yang membuatnya langsung berada dalam kondisi kritis saat itu juga.

Tak sampai disitu, tiga hari kemudian Aura dinyatakan koma karena kondisinya yang semakin drop. Tidak menunjukkan pergerakkan dan respon sama sekali terhadap situasi disekitarnya.

Dan sampai hari ini, Karina masih setia menemani putri kecilnya di ruangan yang sama.

Setiap hari menguras air matanya tidak peduli matanya akan buta sekali pun. Yang ia inginkan hanya putrinya, Aura.

Jika boleh memilih, lebih baik Karina yang berada di posisi Aura saat ini. Siapapun tolonglah, gadis itu terlalu kecil untuk menerima cobaan yang terlalu besar.

Ia hanya ingin putrinya bangun dari koma, kembali menjalani hidupnya dengan bahagia dan ...

Berhenti memimpikan hal aneh.

Sesulit itukah Tuhan mengabulkan permintaannya?

"Sayang, kamu makan dulu ya? Biar aku yang gantian jaga Aura nya," Rey meraih kedua bahu Karina agar berdiri dari duduknya yang berjam - jam hanya menatap lesu kearah Aura.

Wanita muda itu mengangguk kecil dan berjalan gontai meninggalkan ruangan itu.

Pria itu duduk di kursi yang tadi ditempati istrinya, meraih tangan mungil milik Aura. Rey tersenyum kecil lalu mengusap lembut tangan dingin nan pucat itu.

"Hey, bangun dong. Aura gak kasian sama bunda? Aura gak mau main lagi sama ayah?" Monolognya, tanpa ada jawaban.

Ia bangkit dari duduknya lalu mengecup kening Aura dengan sangat hati - hati, seolah itu adalah berlian yang mudah rapuh.

"Cepet sembuh ya, cantiknya ayah."

...

Ruangan yang telah ditempati selama tiga bulan oleh seorang gadis kecil itu dikelilingi orang dengan berpakaian putih.

Pasalnya tadi, saat seorang perawat sedang melakukan jadwal pengecekkan rutin, jari - jari mungil gadis itu bergerak, walaupun sedikit kaku. Seketika perawat itu memanggil beberapa dokter yang menangani Aura.

Tentu saja dengan Karina yang selalu setia di samping Aura, melafalkan puluhan doa untuk putrinya.

Salah seorang dokter membuka sedikit mata gadis itu dan mengarahkan penlight-nya untuk mengecek apakah pupil mata tersebut merespons cahayanya atau tidak.

Matanya perlahan terbuka, sedikit mengerjap menyesuaikan cahaya di ruangan itu.

"Aura? Bisa lihat dokter disini?" Tanya dokter itu sembari melambai - lambaikan tangannya di depan Aura.

Gadis berusia 6 tahun itu belum menjawab apapun. Ia masih memandang satu per satu orang di dalam ruangan.

"Aura bisa dengar suara dokter?" tanyanya lagi.

Semua orang di ruangan itu tersenyum haru saat Aura mengangguk kecil. Setelah waktu yang cukup lama, akhirnya gadis kecil itu tersadar dari koma.

Pasien lain yang mengintip dari luar pun ikut menghela nafas lega dan bersyukur karena Aura kecil yang malang itu berhasil melewati kondisi antara hidup dan mati, dalam keadaan hidup.

Karina perlahan mendekati Aura. Air mata itu terus mengalir, namun dengan alasan berbeda. Kali ini ia menangis karena bahagia.

Wanita dengan senyum yang terpatri di wajahnya itu menggenggam tangan putrinya, "Aura sayang, bunda kangen. Makasih, ya. Makasih karena gak ninggalin bunda sendirian," terkekeh kecil dan sedikit terisak.

Para dokter pun ikut tersenyum melihat peristiwa mengharukan di depan mereka, sebelum akhirnya yang dilakukan Aura mengagetkan semua orang di ruangan itu.

Aura melepaskan genggaman tangannya dengan pelan, "siapa?" ujarnya serak, tatapannya menyiratkan kebingungan.

Karina amat terkejut, refleks memundurkan langkahnya dan hampir terjatuh jika bukan karena Rey yang menahan punggungnya.

Dokter itu mengusap kepala Aura dan sedikit berjongkok.

"Itu bunda, loh. Bundanya Aura. Aura inget?" tanyanya lembut dan dibalas gelengan kepala oleh gadis itu.

"Hm, coba sekarang Aura inget apa aja, dokter mau tau boleh?"

Aura menggeleng, lagi.

"Hm? Aura ga inget apa apa?"

Aura mengangguk.

Dokter tersebut menunjuk Rey dan Aura mengikuti arah pandangnya, "Kalo ayah?" dan jawaban gadis itu masih sama.

Menegakkan tubuhnya lalu menatap Karina dan Rey, menggeleng pelan. "Pak, Bu, bisa kita berbicara sebentar?"

...

Sudah 2 minggu sejak Aura terbangun dari koma, namun Aura masih tetap di rumah sakit untuk mendapatkan beberapa perawatan sebelum pulang ke rumahnya.

Berbagai terapi di jalani, seperti fisioterapi untuk kakinya karena sudah terlalu lama tidak berjalan, psikoterapi dan semacamnya.

Dan yang terpenting, mengenal kembali kedua orang tuanya.

Ya, Aura dinyatakan amnesia total.

Tidak ada satupun yang tersisa di memori Aura, bahkan tentang kedua orangtuanya. Oleh karena itu, Karina dan Rey mulai mengajarkan kembali segala hal yang Aura tidak tahu. Tentu saja dengan perlahan dan sabar.

Seperti bayi, yang tidak tahu apapun.

Meskipun awalnya Aura ragu, namun dengan keberadaan Karina dan Rey yang terus memberikannya perhatian juga kenyamanan membuat Aura tidak memberikan penolakan terhadap keduanya.

Dan,

Seiring berjalannya waktu, Karina menyadari satu hal. Permintaannya pada Yang Maha Esa terkabul.

Aura tidak lagi mengalami mimpi - mimpi aneh seperti sebelumnya. Bahkan, Aura tidak pernah bermimpi di dalam tidurnya. Tapi lebih baik seperti itu, 'kan?

Mereka berdua juga sepakat untuk tidak menceritakan hal itu pada Aura, dengan alasan takut. Bagaimana jika mereka menceritakan itu, lalu Aura kembali mengalami mimpi buruk?

Tentu saja mereka memilih yang terbaik untuk putri semata wayangnya.

Lalu bagaimana dengan mimpi yang diceritakan Aura waktu lalu? Bukankah semua mimpi Aura seharusnya menjadi nyata?

Ya, tapi mungkin ini adalah mukjizat Yang Maha Esa, telah mengabulkan do'a - do'anya dan masih mempercayainya untuk menitipkan Aura.

Karina berharap, semoga kejadian yang kemarin hanyalah mimpi buruk dan tidak akan terjadi lagi. Semoga itu hanya cara Tuhan agar ia dan suaminya lebih menyayangi dan mencintai putrinya. Aura yang kembali ke pelukannya, itu sudah merupakan anugerah.

Ia tidak akan meminta apapun lagi, selama putrinya selalu bahagia bersama mereka berdua.

Apakah ini adalah akhir dari keluarga kecil itu?

Bukan.

Semua ini bahkan hanya sebuah prolog dari seluruh panjangnya takdir yang sudah Tuhan susun, hingga epilog nanti.

Karena bagian awal dari buku takdir seorang Aura adalah saat dirinya bertemu dengan lelaki itu, Edgar Elios.

avataravatar
Next chapter