7 Kali Kedua?

Pelajaran fisika hari ini berjalan dengan baik. Namun tidak bagi Edgar.

Tugas fisika kemarin, ia belum mengerjakannya. Semuanya akan mudah dan tidak akan jadi masalah jika ia tidak terlambat pagi ini, karena tinggal menyalin hasil temannya.

Namun karena keberuntungan tidak berpihak pada Edgar, sialnya, dia harus berlari mengelilingi lapangan sebanyak 10 kali dan mengumpulkan tugas yang tidak ia kerjakan sebanyak 5 kali lipat.

Jika semalaman tadi dirinya tidak memikirkan perempuan itu, mungkin ia tidak akan terlambat dan menerima semua hukuman ini, bukan? Apakah Aura bersalah dalam hal ini dan pantas disalahkan?

Bel pergantian pelajaran sudah berbunyi yang artinya Edgar sudah dapat masuk lagi ke kelasnya. Hukuman lari pun sudah ia lakukan. Bajunya basah kuyup oleh keringat yang terus bercucuran. Namun itu malah hanya menambah ketampanannya dan menjadi pusat perhatian orang dikelas.

"Edgar, fisika lo sekelompok sama gue, Nando, Aura. Besok kerja kelompok di rumah gue aja," ucap Dara yang hanya dibalas anggukan oleh Edgar. Lelaki itu masih terlalu lelah untuk berbicara dengan orang lain saat ini.

Eh? AURA?!

Seketika Edgar terbangun dari aktivitas rebahannya. "Dara bentar! Sekelompok sama siapa aja tadi?" Tanyanya terburu buru.

"Gue, Nando, sama Aura. Nanti sekalian ajak mereka ya, takutnya pada gatau rumah gue."

"Kan bisa lo shareloc aja kali, kenapa nyuruh - nyuruh gue, sih!?" Jawabnya kesal. Entahlah, selepas menjalani hukuman tadi, emosinya jadi menggebu - gebu.

"Oh iya, soalnya gue gapunya nomor mereka berdua. Lo yang mintain, deh. Tolong ya! Bye." Balasnya lalu pergi meninggalkan Edgar.

Hah, masalah ini terlalu banyak untuk satu hari.

Tidak membiarkan Edgar beristirahat sebentar saja. Walaupun ia sama sekali tidak menyalahkan Aura, namun kini mendengar namanya saja membuatnya bergidik. Dan apa ini? Mereka satu kelompok?

Edgar sudah memutuskan, untuk tidak mempunyai hubungan apapun dengan gadis itu. Jadi, ia hanya tinggal berjaga jarak dengannya 'kan? Untuk mencegah segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

...

Bel istirahat berbunyi, tapi Edgar malas sekali untuk pergi ke kantin. Jadi ia hanya duduk di kursi dengan kaki panjangnya yang ia naikkan keatas meja dan memainkan game di ponselnya.

Ditengah kesibukkannya bermain game, Edgar mengalihkan pandangannya kepada seseorang yang baru saja memasuki kelas. Mereka bertatapan singkat dan kematian gadis itu lagi - lagi dilihatnya seperti memanggil Edgar.

Ya, orang yang baru memasuki kelas itu adalah Aura.

Aura sendiri merasa, lelaki ini aneh. Karena selalu melihatnya dengan intens.

Saat bertatapan dengan Edgar, dalam tatapannya seperti tersirat rasa ... kasihan? Atau itu memang caranya memandang orang lain?

Aura duduk di bangkunya, membuka sekotak susu dan roti yang dibelinya di kantin. Kelly sedang ada urusan dengan ekskulnya, jadi Aura memutuskan kembali ke kelas setelah membeli makanan.

"Gue minta nomor hp atau id lo buat shareloc rumah Dara. Besok kerjain fisika disana katanya." Pinta Edgar tanpa melihat lawan bicaranya. Matanya hanya fokus tertuju pada game. Sebenarnya itu memang disengaja.

Bukan sifat Edgar jika saat berbicara dengan orang lain, ia tidak menatap orang itu.

Semengerikan apapun kematian orang itu, Edgar pasti tetap menatapnya jika mereka sedang berbicara. Namun hal ini tidak berlaku untuk Aura. Kematian gadis satu ini berbeda.

Baru 24 jam yang lalu ia bertemu dengan Aura, namun sudah mampu membuatnya berfikir seharian. Yang dikhawatirkan Edgar bukanlah kematian tragisnya, tapi nama terakhir yang disebutkan Aura menjelang kematiannya. Itu membuatnya penasaran.

"Oh, iya sebentar," jawabnya. Lalu Aura mengambil secarik note kecil dan mulai menuliskan nomornya.

...

"Hah, cape banget gila. Tugas numpuk banget udah kaya tumpukan mantan gue."

Ya, siapa lagi jika bukan Rio.

Seperti biasa Rio merebahkan dirinya di kasur milik Edgar. Seperti sudah menjadi sebuah kewajiban, setiap pulang sekolah dirinya harus selalu mampir ke rumah satu ini. Entah itu hanya untuk menumpang makan atau tidur. Rumah keduanya.

"Punya tugas ya kerjain lah, bego. Ditumpuk doang gaakan jadi duit," sahut Edgar yang sedang mencari baju ganti di lemarinya.

"Kasian, lah. Tugas gue gak ada salah, masa gue kerjain."

"Pantes bego, pantes!" Sarkas Edgar.

Memang Rio adalah seorang yang dapat membuat orang lain geleng kepala saat berbicara dengannya. Hanya Edgar dan Aldo yang sudah kebal meladeni setiap perkataan yang keluar dari mulut Rio.

Berhasil membuat Edgar kesal, Rio hanya tertawa bangga. Setelahnya ia mencari posisi terenak, memeluk guling dan mulai memejamkan matanya menuju alam mimpi.

"Balik ke rumah lo sana! Lama - lama kamar gue, gue jadiin kosan." Tak ada jawaban lagi dari Rio yang artinya ia sudah menjelajahi alam mimpi. Secepat itu? Tidak usah ditanyakan lagi.

Selesai berganti pakaian formal menjadi santai, Edgar langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Ia memainkan ponsel-nya hanya untuk sekedar membuka sosial media. Dan tak lama ia teringat nomor telepon yang Aura berikan tadi.

Segera saja ia merogoh sakunya dan mengetikkan sebaris angka yang tertulis di note kecil itu. "Chat, jangan? Chat, jangan ya?" Bisik Edgar sembari memandangi kertas.

"CHAT AJA UDAH! KELAMAAN LO KALAU BANYAK MIKIR!" Teriak makhluk tak asing dari tempat tidur yang matanya masih terpejam dan tak lupa dengan guling yang dipeluknya.

"Heh, balik lo! Jangan pernah kerumah gue lagi!" Timpal Edgar langsung melemparkan bantal di sofa ke arah temannya itu.

"Gue ngekos ajalah disini. Berapa? Sejuta? Dua juta? Ambil ni semua," seraya melemparkan dompet miliknya kepada Edgar.

"Sejuta apanya! 10 ribu juga gaada anj*r," dilemparkannya kembali dompet itu pada Rio. "Eh lo mah, ini tuh dompet jimat tau gak. Kalo dijual bisa lebih dari 1 juta, jadi gue kasih lo aja gak papa."

"Gue kaya orang bodo kalau nanggepin lo ngomong."

Rio mengubah posisinya menjadi duduk. "By the way, si Aura gimana? Udah coba lo tanyain?"

Mendengar nama 'Aura' membuatnya menoleh sejenak pada Rio. Lalu kembali pada aktivitasnya bermain ponsel.

"Gatau, kayaknya gue udah bikin keputusan. Gak akan terlibat sama hidupnya si Aura."

"Terus percuma juga kalau gue tau, gue gak akan bisa ubah apa-apa," lanjutnya.

Memang benar, itu takdir. Edgar tidak akan pernah bisa mencegah kematian seseorang walaupun ia mengetahuinya. Bahkan jika Edgar benar - benar ingin menolong orang itupun, Edgar tidak bisa.

Tidak ada siapapun yang dapat menolak takdir. Rio setuju dengan Edgar, tapi tetap saja Rio juga penasaran apa yang akan terjadi. Ini seperti menebak alur kehidupan.

"Kenapa lo ga coba sekali lagi aja, siapa tau kematian Aura bisa berubah, 'kan?" bujuk Rio.

Rio ingin sekali membuat Edgar tergerak lagi untuk menolong seseorang, siapapun itu. Walaupun beberapa kali tidak pernah berhasil.

"Lo kan tau, gue aja gak bisa cegah nyokap gue buat pergi. Apalagi orang lain. Apalagi Aura yang bukan siapa - siapa gue."

Edgar pernah satu kali melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan, dengan bersungguh - sungguh. Mencegah kematian orang yang sangat ia sayangi.

Ibunya.

Kematian ibunya yang selalu terputar jelas saat menatap matanya dan selalu ia lihat setiap hari, membuatnya berusaha menghentikan itu. Namun apa daya, jika takdir sudah berkata 'ya' maka sudah seharusnya 'ya', bukan?

Apakah ini saatnya untuk mencoba lagi? Yang kedua kalinya.

avataravatar
Next chapter