15 Little Aura (2)

"KARINAA!"

"BUNDAA!"

Rey segera beranjak dari kasur saat melihat Karina tiba - tiba tergeletak pingsan ke lantai setelah mengangkat panggilan telepon itu.

Pria itu membawa tubuh sang istri ke dalam dekapan dan menepuk pelan pipinya berusaha menyadarkan. "Hey! Sayang, kenapa?!"

'Halo? Non Karin?'

Suara dari telepon itu mengalihkan fokusnya pada Karina. Pria itu menggendong Karina menuju kasur dan membaringkannya perlahan. Aura menangis sejak tadi, saat melihat sang bunda jatuh pingsan.

Gadis kecil itu mengguncangkan tubuh Karina pelan, "Bunda bangun ... Bunda kenapa?" ucapnya serak dengan tangisan yang tak kunjung berhenti.

Sedangkan Rey meraih telepon yang tergeletak di lantai dan mengangkatnya, "Halo? Siapa ini?" Tanyanya langsung.

'Halo, Mas Rey. Ini Bi Asih,' jawabnya parau dari sebrang sana.

"Kenapa, bi? Ada apa?"

Suara di sebrang terdengar berisik membuat Rey mengernyit kebingungan, "Bi? Bi Asih?" Ulangnya.

'Eyang Putri, Mas Rey. Eyang Putri meninggal,' Bi Asih menjawabnya dengan cepat, kemudian suara tangisan yang bersahutan semakin terdengar.

Pandangan Rey menjadi kosong selama beberapa saat. Hingga suara dari telepon itu pun sudah tak terdengar lagi di telinganya.

"Bu ... Ibu ... Ibu jangan pergi," lirihan itu membuat Rey tersadar kembali dari keterkejutannya dan segera menghampiri Karina. Ia langsung menarik Karina kedalam pelukannya dan membiarkan perempuan itu menangis. Aura yang melihat itu pun ikut memeluk bundanya.

Tangisan Karina semakin histeris . "I-Ibu Rey... IBU UDAH GAADA REY!" Jeritnya frustasi.

Rey semakin mengeratkan pelukannya. Ia juga sangat terkejut mendengar berita itu, apalagi Karina. Wanita itu sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun.

Selama beberapa menit, Rey mencoba menenangkan Karina yang menangis di pelukannya.

"Aku udah gak punya siapa - siapa lagi, Rey. Andai aja kemarin aku kesana, dengerin kata Aura. Rey, aku bodoh banget. I-Ibu sendirian Rey, harusnya, harusnya aku disana, nemenin ibu." Wanita itu menangis pilu, dan beberapa kali memukul dadanya yang terasa sesak.

Rey meregangkan pelukannya dan meraih kedua bahu istrinya. "Sini, lihat aku. Kenapa bilang gitu, hm? Kamu gak salah, dan gak ada yang harus disalahin,"

"Kamu-, enggak, kita- kita semua sayang ibu. Tapi Tuhan, lebih sayang sama ibu. Ikhlas ya? Kita ke rumah ibu sekarang, hm?" Pria itu mengusap kedua pipi istrinya, dan berusaha membuat istrinya tegar.

Karina merasa sangat menyesal tidak menuruti Aura kemarin. Kalau saja mereka berangkat hari itu juga, mungkin dia setidaknya dapat menemui sang Ibu, walaupun sebentar.

Penyesalan dan rasa tidak terima. Begitu banyak kata 'andai' dalam hatinya. Namun itu semua tidak berarti. Yang sudah pergi tidak mungkin kembali.

Kini ia hanya tinggal menikmati penyesalan dan kesedihan ini. Entah sampai kapan.

Karina melepaskan pelukannya dan mengusap air mata yang tak kunjung berhenti keluar. Beralih menatap Aura yang sedari tadi hanya melihatnya menangis histeris dan berteriak. Pasti gadis kecil itu ketakutan.

Mendekat kearah putrinya dan merentangkan tangan, mendekap Aura. "Maafin bunda ya, sayang? Bunda bukan marah ke Aura, kok. Sekarang siap - siap, ya? Kita ke rumah Eyang Putri." Ucapnya dengan senyum sendu. Berusaha mati - matian menahan tangisnya lagi.

Aura mengangguk kemudian turun dari kasur dan berjalan kecil meninggalkan kamar.

Setelah Aura pergi, Karina hanya terdiam dengan pandangan yang kosong lalu tersenyum pahit, "aku gak punya siapa - siapa lagi sekarang," ucapnya lirih.

Air matanya luruh kembali tanpa di perintah. Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan terisak kecil.

Rey kembali memeluk istrinya itu dan memberi kecupan kecil di kening. "Kata siapa? Masih ada aku, ada Aura juga. Kamu gak sendiri, sayang."

Memang benar, tapi entahlah.

Karina merasa tidak sanggup untuk melanjutkan hidupnya, jika bukan karena dua orang yang ia cintai. Ya, Aura dan suaminya.

Mereka adalah harapan Karina.

Sejujurnya Karina ingin sekali menyalahkan Aura, tapi kenapa? Aura sama sekali tidak bersalah. Bukan salahnya ia memiliki kemampuan itu. Anak itu hanya mengatakan apa yang ia lihat di mimpinya.

Dan berakhir dengan menyalahkan dirinya sendiri. Yang tidak menemui Ibunya, padahal Aura sudah memberi tahu.

Benar - benar bodoh sekali, batin Karina.

...

Suasana pagi yang begitu sepi dan muram. Tidak ada kicau burung atau ayam yang berkokok. Hanya tangisan duka yang bersahutan, mengisi keheningan di rumah tersebut.

Persis seperti apa yang ada di dalam mimpi Aura. Eyang Putri yang 'tertidur' namun semua orang menangis.

Aura kini berada di sebelah eyangnya yang tertidur, untuk selamanya. Gadis kecil itu menggoyangkan tubuh renta yang sudah kaku tersebut, "eyang bangun ... "

" ... katanya mau main sama Aura,"

Percakapan sepihak antara Aura dengan eyangnya itu membuat suasana semakin mengharukan. Gadis kecil itu terus saja berbicara, berharap lawan bicaranya itu bangun dan membalas.

Para pelayat yang melihat hal tersebut tidak dapat lagi menahan tangisnya.

Rey menghampiri putrinya dan berjongkok, merendahkan tubuh agar sejajar dengan Aura. "Ikut ayah, yuk? Kita beli ice cream, terus tememin bunda. Mau?"

"Tapi ayah, eyang masih bobo." Jawabnya polos, tangan kecilnya masih menggenggam erat jari yang sudah tidak bernyawa didepannya.

Rey mengusap surai hitam Aura dengan lembut, "nanti kita kesini lagi. Kasian bunda sendirian, tuh." Bujuknya lagi. Bukan apa - apa, ini sudah waktunya untuk segera di kebumikan.

Akhirnya setelah Aura terbujuk, mereka meninggalkan ruangan itu. Agar para tetangganya bisa mengurus jenazah Eyang Putri.

Karina sudah bertemu dengan sang ibu tadi, namun wanita itu semakin histeris, tidak dapat mengendalikan dirinya dan berakhir pingsan, terpaksa Rey membawanya pergi.

Pada akhirnya mimpi Aura menjadi kenyataan yang tidak seorang pun dapat mencegahnya.

Semenjak kejadian itu, perlahan semua kembali membaik. Karina pun belajar mencoba menerima semuanya dengan ikhlas walaupun masih tersisa banyak penyesalan di lubuk hatinya.

Setelah banyaknya air mata, apakah itu adalah akhir dari segalanya? Tentu saja tidak. Semua itu bahkan hanyalah prolog dalam kisah yang sangat panjang ini.

Mimpi - mimpi aneh masih terus berdatangan kepada Aura, dan beruntung, masih dalam batas normal. Sampai dimana gadis itu mendapatkan mimpi terakhirnya.

Mimpi yang membuatnya diselimuti ketakutan setiap detik.

Bagian pertama dari kisah itu bermulai di hari ini.

Hari dimana semuanya mulai semakin rumit.

Semuanya bermula dimana Aura memimpikan kematiannya sendiri.

...

Rumah yang sunyi. Embun dan kabut menghiasi sejuknya pagi buta diluar sana. Matahari bahkan belum menampakkan wujudnya. Namun seorang gadis kecil sudah terbangun dengan keringat yang membanjiri wajahnya.

Nafasnya memburu.

"Bundaaaa!"

Jeritan tersebut memecah sunyi dirumah itu, membuat pasangan suami istri itu segera bergegas menghampiri putrinya.

Pintu kamar terbuka, Karina langsung menyalakan lampunya.

"Kenapa sayang? Mimpi buruk lagi, ya?" Rey mendekati kasur Aura dengan perlahan diikuti Karina dibelakangnya.

Aura membuka selimut yang membungkus dirinya lalu berlari ke pelukan sang ayah. Rey menangkap putrinya dan menggendongnya seperti koala.

Tak lama Aura menangis histeris membuat pasangan itu kebingungan. Mimpi apa lagi kali ini?

Karina ikut mendudukkan dirinya di kasur. "Cerita sama bunda, yuk. Aura mimpi apa tadi?" Ujarnya berusaha membujuk Aura.

Aura perlahan melepaskan pelukannya dari Rey dan beralih menatap sang bunda. "Bunda, katanya Aura bakalan pergi ya? Pergi ninggalin ayah sama bunda," tanyanya sembari berkaca - kaca. Berharap kedua orangtuanya membantah itu.

Terkejut, tentu saja.

Mereka diam bak patung tanpa satu patah kata pun keluar dari mulut.

Melihat bundanya yang tidak membalas, gadis kecil itu menangis. "Aura gamau pergi bunda, Aura mau disini aja sama ayah sama bunda," lanjutnya merengek.

Satu air mata lolos dari mata istrinya, Rey melihat itu dengan jelas. Untuk yang satu ini, Rey juga tidak bisa menahannya. Ya Tuhan, jangan.

Kembali pria itu memeluk putrinya erat, "Bohong. Siapapun orang yang bilang itu, semuanya bohong sayang. Aura gak akan pergi kemana - mana, kok," Rey menjeda ucapannya, dadanya sesak sekali.

"Aura bakalan selalu disini, sama ayah bunda. Emang Aura mau ninggalin ayah disini?" Gelengan kecil Rey rasakan sebagai jawaban putrinya.

Ia mengecup kecil puncak kepala putrinya, "Jangan nangis lagi, ya?" Setenang mungkin ia mengatakan itu, walaupun sebenarnya ia sangat takut.

Rey menoleh pada Karina yang sudah menangis tanpa suara. Ia jelas merasakan apa yang dirasakan istrinya itu.

Kepergian ibunya masih membekas di hati, dan kali ini Aura? Tidak. Karina tidak bisa membiarkan itu.

Haha, ia bisa gila jika itu terjadi.

Banyak do'a yang wanita itu panjatkan. Memohon dan meminta kepada Yang Maha Esa. Tolong, kali ini saja, jangan buat itu menjadi nyata, batinnya putus asa.

Rey mengangkat dagu putrinya yang sedari tadi menunduk, "Hey, mau cerita? Bilang sama ayah, mimpinya kaya gimana," tanyanya.

Terdiam cukup lama, Aura akhirnya mau bercerita.

"... Laki - laki itu bilang, kalau Aura jangan pergi."

avataravatar
Next chapter