18 Be My Girlfriend

Pagi berganti siang.

Pelajaran berakhir ditandai dengan bel istirahat yang berdering nyaring melalui pengeras suara. Semua siswa bersorak antusias mengakhiri penderitaan selama beberapa jam terakhir. Menutup buku dengan semangat dan pergi mengisi perut yang lapar.

Edgar berjalan menyusuri lorong dengan loker yang berjejer rapi di kedua sisinya. Ia perlu mengambil beberapa buku pelajaran dan baju basket.

Jujur saja, tas sekolahnya hanya berisi bola basket dan satu pulpen. Karena semua bukunya ia simpan di loker atau laci bawah meja. Untuk apa membawa - bawa buku tebal itu? Menyusahkan saja.

Ia membuka lokernya dengan tak santai dan lihat akibatnya. Buku - buku tebal itu berjatuhan di lantai.

Ah, ia juga jarang membereskan lokernya.

Menghembuskan nafas kasar, ia berjongkok untuk mengambil semua barangnya yang jatuh. Mau bagaimana lagi, lokernya terlalu sempit untuk menyimpan banyaknya buku milik lelaki itu.

"Euh ...,"

Edgar mengangkat buku - buku yang berserakan tadi dengan malas. Berat sekali, pikirnya, padahal hanya tujuh buku. Harus diacungkan jempol untuk siswa yang membawa buku - buku ini di tas nya.

Ia kembali membuka lokernya perlahan, mencegah buku lainnya berjatuhan seperti tadi. Dan netranya langsung terfokus pada paperbag berwarna ungu pastel yang tergantung di dalam lokernya.

Menyimpan buku - buku itu dan meraih paperbag tersebut. Terdapat note kecil yang menempel di luarnya, 'makasi ya. maaf kelamaan.'

Kedua sudut bibirnya tak kuasa menahan senyum. Membuka paperbag itu dan benar saja, jaket miliknya.

Siapa lagi jika bukan gadis itu, Aura.

Sudah biasa jika Edgar menemukan coklat atau hadiah, walaupun semuanya akan berakhir di tempat sampah. Terkadang jika sedang akur, ia selalu memberikannya kepada Rio, yang selalu antusias dengan coklat.

Tapi yang ini berbeda.

Edgar tidak dapat berhenti tersenyum sembari menatap note kecil berisi 4 kata itu. Entahlah, padahal tadi ia sedang kesal dan sekarang sudah membaik lagi. Apa ia bipolar?

Kembali memasukkan paperbag-nya dan mengambil beberapa buku yang dibutuhkan. Menutup loker kemudian berbalik berjalan menuju kantin, dengan lengkungan senyum yang masih terpatri di wajah tampannya.

Setelah kemarin kepalanya di penuhi oleh Aura, sepertinya hari ini juga akan begitu.

Benar, lagi - lagi ia memikirkan gadis itu. Gadis yang baru satu minggu ia kenal.

Dan tebak apa yang mengejutkan, Edgar sudah mengganti keputusannya. Semalaman ia memikirkan cara yang tepat agar Aura mau menjadi kekasihnya.

Jelas sekali ini sangat mendadak.

Gadis malang itu pasti akan kebingungan. Tapi ingat perkataan Rio, tidak ada yang tahu kapan hari itu akan terjadi. Edgar harus bertindak secepat mungkin.

Apapun hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha. Daripada harus menyesal karena tidak melakukan apa - apa.

Dan soal perasaan, Edgar mungkin masih berada di tahap mengenal dan menyukai? Tentu saja, siapa yang tidak menyukai paras Aura, menurutnya cantik dan anggun. Dan lucu. Dan ia menyukai wajahnya saat memerah seperti tomat.

Ah, sudahlah. Intinya seperti itu.

Seiring waktu berjalan nanti, mungkin akan timbul perasaan lainnya. Rasa nyaman dan cinta akan hadir dengan sendirinya bukan? Edgar tidak akan terlalu mempermasalahkan itu. Yang terpenting saat ini adalah Aura.

Gadis itu harus segera menjadi kekasihnya agar memudahkan Edgar untuk mengulik kehidupan Aura, mencari petunjuk, mengawasi dan melindunginya, itu yang utama.

Kematian Aura tidak bisa diprediksi kapan, dimana, penyebab dan pelakunya. Oleh karena itu, semua pertanyaan tersebut akan menjadi 'pr' untuk Edgar.

Dengan menjadi kekasihnya, secara tidak langsung, perlahan ia akan mendapatkan informasi ataupun sesuatu yang menyangkut tentang gadis itu.

Andai saja Edgar dapat melihat tiga orang di dalam kematian Aura dengan jelas, mungkin sekarang ia hanya perlu mencari siapa pelakunya dan menyusun rencana untuk menjauhkan orang - orang itu dari hidup Aura.

Itu jauh lebih mudah dan tidak perlu menjadikan gadis itu kekasihnya.

Tapi apa boleh buat, Edgar hanya bisa melihat tubuh Aura yang dipenuhi luka, tertunduk menghadap tiga orang itu.

Semoga saja kali ini Tuhan memberinya kesempatan untuk menolong Aura dari takdirnya yang tragis, setidaknya satu orang. Walaupun orang itu bukan ibunya.

Agar ia tidak merasa sia - sia memiliki kemampuan mengerikan itu.

...

Di lain tempat, Aura dan sahabatnya, Kelly, sedang berbincang ria menceritakan hal lucu ditemani roti sandwich. Mereka tidak makan di kantin, karena disana luar biasa penuh. Tidak ada kursi kosong yang tersisa, membuat mereka berdua kembali ke kelas setelah membeli makan siang.

Lagi pula disana sangat ricuh dan berisik. Antrian dimana - mana. Beruntung mereka berhasil membeli dua buah sandwich dan keluar dari kantin yang penuh sesak itu.

Sebenarnya setelah jam istirahat kedua ini hanya satu pelajaran lagi yang tersisa, lalu pulang.

Tapi apa daya, ia harus terjebak satu jam lebih lama di sini.

Karena selama satu bulan kedepan akan diadakan kelas tambahan untuk mata pelajaran wajib, dan mungkin semua siswa khawatir jika perut mereka akan kelaparan saat kelas itu berlangsung. Itulah sebabnya mereka berbondong - bondong ke kantin, menyerbu makanan.

Padahal, hanya pulang 1 jam lebih sore dari biasanya. Bertahan selama itu tidak akan langsung membuat mereka mati kelaparan 'kan?

Duh, menjengkelkan, karena biasanya kantin tidak seramai itu. Mulai besok ia harus membawa bekal!

"Lo udah balikin jaketnya ke Edgar? Gue denger kemaren dia minta jaketnya dibalikin ya?" Tanya Kelly memulai topik baru.

Benar juga, ia sudah menyimpannya di loker Edgar, apa lelaki itu sudah melihatnya?

Tapi sepertinya belum, sebab Edgar tidak mengatakan apa - apa tentang jaketnya.

Aura takut sekali jika lelaki itu protes karena jaket miliknya jadi beraroma strawberry. Auh, hanya membayangkan saja membuatnya bergidik. Semoga saja tidak.

Aura mengangguk kecil, "udah, kok! udah aku taro di lokernya," kemudian melahap gigitan terakhir dari sandwich miliknya.

Kelly menyipitkan matanya, "emang abis ngapain sama Edgar, sampe jaketnya bisa dibawa sama lo?" tanyanya penuh selidik dengan senyum ambigu.

"Ih, Kelly! Gak ada apa - apa, aku cuma gak sengaja numpahin minuman di jaketnya," ucapnya bohong dengan bersungguh - sungguh. Tidak mungkin ia menceritakan kejadian malam itu pada sahabatnya.

Kelly pasti akan mengolok - olok dirinya karena menangis dipelukan Edgar.

Diingat berapa kali pun itu adalah hal yang sangat memalukan. Bagaimana wajahnya saat itu, pasti matanya bengkak dan dipenuhi air mata. Dan ingus?! Apakah ingus-nya juga keluar?! Sepertinya memang iya, karena itu adalah kebiasaannya saat menangis.

Ah, Aura baru ingat dan merasa malu untuk yang kedua kali. Ia tidak mau lagi bertemu dengan Edgar. Semoga lelaki itu sudah melupakannya.

"Beneran gak ada apa - apa, nih? Hm? Hm?" Godanya dengan alis yang di naik turunkan.

Aura memutar bola matanya jengah.

"Yaudah kalo gak percaya!" Jawabnya ketus dan membuka mulut untuk melahap sandwich, tapi sedetik kemudian menutupnya lagi. Bodoh sekali, ia lupa jika makanannya sudah habis.

Kelly yang melihat itu tertawa puas. Karena berhasil menggoda Aura dan menertawakan ekspresi sahabatnya. Sedangkan Aura menatapnya sinis, namun tak lama ikut tertawa bersama.

Percayalah, tawa Kelly itu menular. Seperti sedang terkena asma.

...

Sejarah, menjadi mata pelajaran terakhir untuk hari ini.

Pria tua dengan rambutnya yang sedikit botak seperti seorang profesor dan kacamata bulat bertengger di hidungnya, sedang asik bercerita di depan kelas, tanpa memedulikan sebagian muridnya yang sudah memasuki alam mimpi.

Termasuk Aura.

Gadis itu menatap guru sejarah didepannya dengan sayu. Satu tangannya menopang kepala yang sudah tidak tahan ingin berbaring.

Hanya beberapa murid saja yang mendengarkan dengan serius dan mencatat. Sisanya tidak jauh berbeda dari Aura saat ini.

Yang lebih aneh, ada bermain masak - masakkan dan bereksperimen. Penghapus yang dicincang menjadi potongan kecil, dimasukkan ke dalam wadah plastik bekas, kemudian menambahkan sedikit air. Meneteskan tinta spidol, sedikit soda dan liptint merah. Lalu mengaduknya hingga cairan itu berwarna hitam pekat. Mungkin jika ada yang meminum itu akan membuatnya keracunan.

Aura yang melihatnya hanya menggeleng, bisa ia tebak kalau orang itu sudah sangat bosan.

Tidak bisa ditahan lagi, ia merebahkan kepalanya diatas meja berbantalkan kedua tangan.

Namun belum sampai satu menit ia memejamkan mata, bel berbunyi dengan kerasnya membuat ekspresi lesu para siswa berubah menjadi pancaran kebahagiaan.

Akhirnya jam membosankan ini berakhir.

"Baik, semuanya! Kalian pelajari lebih lanjut bab ini karena dua minggu lagi saya akan mengadakan ujian lisan. Sampai bertemu di minggu depan. Selamat siang," perintahnya tegas kemudian berlalu meninggalkan kelas itu.

"Lah, si bapak diem - diem bisa dendam juga, masa dibalesnya pake ujian lisan!"

"Hah? Ujian lisan?!"

"Parah, sih, parah!"

"Duh, mana tadi gue tidur. Tadi bahas tentang apa aja woy!"

Kelas itu seketika dipenuhi dengan keluh kesah setiap murid yang menyesal karena tertidur. Tak sedikit juga yang protes tidak terima. Rusuh sekali.

"Minta perhatian!" Sang ketua kelas, Raffi, berdiri didepan. Mengetukkan penggaris kayu di papan tulis, untuk menyita atensi.

"Pak Wahyu yang ngisi kelas tambahan matematika hari ini. Dan katanya bakalan sedikit terlambat lima belas menit. Jadi yang mau ke toilet atau beli minuman, manfaatkan waktu ini," ujarnya lantang.

Semua siswa sontak saja berlarian keluar kelas dan tujuan utama mereka adalah kantin.

Waktu berharga ini harus dimanfaatkan untuk membeli cemilan. Agar bisa dimakan diam - diam saat kelas berlangsung. Sudah diprediksi, itu pasti akan sama membosankannya dengan pelajaran sejarah.

Benar - benar hari yang sial.

"Ra, anter ke toilet! Udah diujung ini," Kelly menghampiri meja Aura, sembari meremat rok-nya, menahan sesuatu yang akan ia keluarkan di toilet.

Aura mengangkat pandangannya, "aku ngantuk banget Kelly, kamu sendiri aja," tolaknya lalu menyamankan posisi.

Lalu gadis itu berjengit kaget saat dengan tiba - tiba Kelly menempelkan telapak tangannya di pipi.

"Liat, tangan gue udah dingin banget gara - gara nahan ini daritadi. Ayo, lo juga harus cuci muka!"

Dengan lesu Aura bangkit untuk mengantar sahabatnya. Karena jika tidak, manusia itu pasti akan terus memaksa. Dan memang ia juga harus mencuci muka, agar sedikit lebih fresh.

Mungkin dengan itu bisa membuatnya lebih siap untuk menghadapi segudang rumus yang akan di bawa Pak Wahyu.

...

Sedangkan di dalam kelas hanya tersisa beberapa siswa yang masih tertidur. Sepertinya mereka belum menyadari bahwa pelajaran sejarah sudah berakhir.

Edgar menyipitkan matanya menyesuaikan cahaya. Ia menguap sembari meregangkan otot - ototnya yang pegal. Tidur dengan posisi duduk itu sangat tidak nyaman.

Ia mengerjapkan matanya berulang kali dan melihat sekitar. Kemana orang - orang ini? Sepi sekali, batinnya.

"Ini pada kemana?" Tanya Edgar kepada Raffi yang baru saja masuk dengan membawa tas guru dan beberapa buku tebal.

Yang dipanggil menoleh, "sekarang kelas tambahan sama Pak Wahyu. Dikasih waktu lima belas menit buat ke toilet sama beli minum," jawab ketua kelas itu seadanya.

Edgar hanya ber-oh ria. Ia menoleh ke belakang, namun orang yang di carinya tidak ada. Meja ketiga dibelakang Edgar adalah mejanya Aura.

Ia mendengus, apa Aura pergi ke kantin juga?

Ponselnya bergetar, panggilan masuk. Nama Rio tertera disana dan Edgar segera mengangkatnya.

"Apaan?!" Tanpa basa - basi.

"Buset, galak amat bro! Basket gak? Kelas tambahan gue bahasa inggris, males gue, kagak paham," jawabnya jujur.

"Aldo gimana?"

"Si Aldo mah hayu - hayu aja. Buruan, gue tunggu di parkiran. Bye!" Sambungan itu terputus secara sepihak.

Dengan cepat Edgar membereskan meja dan membuka tasnya mengeluarkan jaket dari sebuah paperbag.

Memakai jaket itu dengan cepat, kemudian menoleh lagi ke belakang. Niatnya ingin mengobrol berdua dengan Aura sepulang sekolah nanti, namun harus ia urungkan.

"Ck, padahal tadinya gue mau nembak dia sekarang," monolognya kesal.

Tapi ia juga sangat ingin melarikan diri dari kelas tambahan sialan ini. Di pelajaran sejarah tadi saja otaknya sudah menyerah, apalagi matematika. Itu mimpi buruk!

Edgar meninggalkan kelas dengan sedikit berlari agar tidak tertangkap guru. Karena 15 menit itu sebentar lagi akan berakhir.

Aura kembali ke kelasnya.

Kelas yang masih akan di tempatinya selama satu jam kedepan. Kelly mengelus perutnya yang sudah lega. Tapi Aura masih saja mengantuk. Mencuci muka ternyata tidak berpengaruh.

Sampai di mejanya, gadis itu tidak langsung mendudukkan diri. Ia menatap aneh paperbag yang berada diatas kursinya.

Bukankah itu adalah paperbag yang Aura simpan didalam loker milik Edgar?

Mengapa ada disini?

Batinnya bertanya - tanya. Saat diambil, dahinya berkerut bingung. Ringan, isinya sudah tidak ada.

Langsung saja Aura membukanya. Hanya berisi secarik kertas yang tadi pagi ia tempel di depan paperbag-nya.

Dan, oh! Ada satu kertas lagi. Sepertinya hasil menyobek lembar buku karena sobekannya yang asal dan tidak rapi.

Matanya membulat sempurna dan satu tangannya refleks menutup mulut yang menganga tidak percaya saat membuka lipatan kertas itu.

Mata mengantuk itu menjadi sadar sepenuhnya. Ia hanya mematung untuk beberapa saat.

Aura menatap ke depan, mencari sang pelaku. Nihil. Tas dan pemiliknya sudah menghilang.

Sungguh, ini sangat tiba - tiba. Apa lelaki itu tersambar petir? Tapi tidak ada angin ataupun hujan.

Atau lelucon? Entahlah.

Benar - benar penuh kejutan.

Isi suratnya :

_________________________________________

iya, sama - sama.

iya, gapapa.

gue tau ini emang mendadak,

tapi lo gaboleh protes.

mulai hari ini lo pacar gue, aura calista.

yang bertanda tangan,

edgar elios.

_________________________________________

avataravatar
Next chapter