5 Bimbang

"Ngomong apa aja tadi si Aura?" tanya Rio yang baru saja merebahkan badannya diatas kasur.

"Cuma mau bilang makasih. Gak jelas banget, sih."

"Terus gimana, si Aura beneran punya kenalan yg namanya sama kaya lo?"

Edgar menghela nafas, "lupa gue, gak sempet nanya," jawabnya malas.

Pikirannya masih berputar di jam istirahat tadi. Familiar? Apakah dirinya memang pernah bertemu dengan Aura sebelumnya? Kapan?

Apa ini ada hubungannya dengan kematian Aura? Edgar Elios. Nama yang disebut Aura, apakah memang dirinya? Atau orang lain? Bagaimana jika memang benar kalimat itu adalah untuknya? Tapi apa alasannya?

Apakah Aura sangat menyukai Edgar, namun tak mampu menyatakan perasaan kepadanya sehingga memanggil namanya di akhir hayatnya. Ah, sungguh miris sekali.

Atau, mungkin saja Aura mengenal dirinya di masa lalu dan mengetahui kemampuannya. Oleh karena itu, Aura menyebut namanya untuk meminta tolong? Itu sangat tidak masuk akal. Memangnya ini time-travel? Lagipula, tidak ada orang meminta tolong, dengan kata 'sayang'.

Hah, sepertinya Edgar harus mencari tahu lebih detailnya. Namun, setelah Edgar tahu kebenarannya, apapun itu, memang apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Ia benar - benar tidak bisa melakukan apapun untuk gadis itu.

Benar - benar membuat bingung.

"Heh, jangan bengong. Kalo lo kerasukan gue gak bisa bantu."

Lemparan bantal itu tepat mengenai wajah Edgar, membuat Edgar seketika sadar dari lamunanya.

"Sh*t! Lo pulang aja sana. Betah banget dirumah gue. Ganggu privasi orang tau gak lo!" Sarkas Edgar dengan melempar balik bantal itu pada Rio.

"Bosen gue kalo dirumah. Kalo disini kan ada lo, hehe." Balas Rio santai.

"Ck! Eh, Yo gue mau nanya."

Rio menoleh singkat kepada Edgar, lalu kembali memainkan ponselnya, "Apaan?"

"Misalnya kalau lo tau kapan lo mati, lo bakal ngapain?" tanya Edgar yang seketika membuat suasana menjadi serius.

Rio menghentikan kegiatannya saat pertanyaan itu terlontarkan, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Edgar. "Kenapa lo tiba tiba nanya itu? Lo tau kapan gue mati? Bukannya lo cuma tau—"

"Misalnya. Kalau gue tau, emang lo juga mau tau?"

Walaupun kedua sahabatnya mengetahui kemampuan yang dimiliki Edgar, namun mereka tidak pernah sekalipun menanyakan bagaimana mereka akan mati. Alasannya, hanya mereka yang tahu.

"Engga, gue tetep gamau tau. Walaupun besok gue mati, gue gamau tau." Jawabnya santai dan kembali mengambil ponselnya, menyibukkan diri dari pembicaraan serius ini.

Rio bergumam singkat, "Karena kalau gue tau gimana dan kapan gue mati, gue bakalan hidup dalam ketakutan. Dan gue gak mau hidup kaya gitu. Simple, gue pengen hidup bahagia aja sampe ajal jemput gue, tanpa bayang bayang gue mau mati." Jelas Rio menjawab rasa penasaran Edgar.

"Lo tau, gue pernah denger ini, 'Hiduplah seperti kamu akan mati besok, dan berbahagialah seperti kamu akan hidup selamanya?'," Rio terkekeh sejenak, "Makanya gue selalu ngelakuin apapun yang gue mau, seakan - akan gue bakal mati besok. Karena itu, kalau gue penasaran, gue harus langsung cari jawabannya," lanjutnya.

Dari sekian banyaknya kata kata Rio yang tidak berbobot, sepertinya yang satu ini tidak terlalu buruk. Apa yang dikatakan Rio benar, daripada hidup dalam ketakutan, lebih baik memanfaatkan waktu yang tersisa, bukan?

"Gimana mau nikmatin hidup, kalo lo terus ngekorin gue kemana mana?" Balas Edgar memecah suasana tidak mengenakkan ini.

"Hidup hidup gue, ya gimana gue lah!" ucapnya.

Tapi untungnya, kedua sahabat Edgar itu tidak ada yang memiliki kematian tragis. Itu sebabnya Edgar nyaman saat berteman dan mengobrol dengan mereka.

Setiap melihat kematian tragis di mata seseorang yang ditemuinya, selalu mengingatkan Edgar pada kematian Ibunya yang mengenaskan. Membuatnya muak dan enggan berbicara lama dengan orang yang mempunyai kematian seperti itu.

Tapi Aura, membuatnya penasaran.

'Aku sayang sama kamu, Edgar. Edgar Elios.'

'Aku familiar aja waktu liat kamu.'

Dua kalimat itu, seperti berhubungan.

Kemungkinan terburuk yang dipikirkan lelaki itu saat ini adalah bagaimana jika Edgar merupakan penyebab kematian Aura?

Terjadi perang batin di dalam diri Edgar. Seperti, jika itu terjadi karena Edgar tidak peduli, maka ia akan merasa bersalah pada gadis itu. Dan jika Edgar peduli? Bagaimana kalau itu akan memperparah keadaan?

Bimbang.

Entah apa yang harus dilakukannya. Semua kemungkinan yang mungkin terjadi sudah ia pikirkan.

Namun hanya satu yang masuk akal dan logis. Aura menyukai dirinya namun tidak sempat mengungkapkannya? Simple but, so sad.

Jika benar, apakah ini artinya Edgar harus menerima Aura?

...

"Bun, Aura pulang!"

Tak lama wanita paruh baya datang menghampiri anak semata wayangnya yang baru saja tiba dari sekolah itu. Senyuman hangat menghiasi wajahnya saat menyambut Aura. "Hai sayang, how's your day? Gimana hari pertama sekolahnya? Suka?"

Aura membalas senyumannya dengan hangat, walaupun tersirat rasa lelah di wajahnya. "Biasa aja bun, temen - temennya juga semuanya baik kok. Ada Kelly juga, jadi Aura ga terlalu kebingungan." Jawabnya antusias sembari mendudukkan diri di sofa. Dirinya menghela nafas panjang dan memejamkan matanya yang lelah. Tapi tak lama kemudian Aura penasaran akan sesuatu.

Karina ikut mendudukkan diri di samping putrinya. "Wah, kapan - kapan ajak Kelly kesini. Kayaknya udah lama banget Kelly gak main kesini ya?"

"Dan... Kalau ada masalah disekolah, apapun itu, jangan dipendem sendirian lagi ya sayang. Kamu janji 'kan buat selalu terbuka sama bunda. Misal Aura punya masalah, langsung cerita ke bunda, oke?" Aura hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi ucapannya.

"Bun,"

"Hm? Apa sayang?" Wanita itu menoleh, lalu mengelus rambut putri tercintanya itu.

Aura membenarkan posisi duduknya lalu berhadapan dengan Karina. "Aura mau nanya dong bun, dulu Aura koma karena apa? Sampai sekarang Aura belum pernah nanyain itu deh kayaknya. Emang parah banget ya sakitnya sampe koma terus hilang ingatan?"

Elusan dirambutnya itu berhenti, senyuman di wajahnya seketika luntur. Banyak tersirat kekhawatiran di wajahnya saat Aura memberinya pertanyaan, yang sangat tidak mau lagi Karina dengar, apalagi dari anaknya sendiri. "K—kok tiba tiba nanya itu? Ada apa?"

"Aura penasaran aja, tadi kaya ada sesuatu yang tiba - tiba Aura inget. Samar, sih. Mungkin itu ingatan Aura yang ilang ya, Bun?"

Karina bergumam cemas, "Coba ceritain, Aura inget apa aja?" Rasa khawatirnya ia tutupi oleh senyum paksa yang dibuatnya. Wanita itu seperti menyembunyikan sesuatu dari Aura.

"Kaya ada cowok gitu tapi mukanya gak terlalu jelas. Terus dia bilang hal aneh. Tapi 'kan Aura gak punya temen atau saudara cowok, Bun."

Pertanyaan bertubi tubi itu sukses membuat wanita dihadapannya kembali memasang wajah takut. Aura semakin penasaran saat Karina menampilkan ekspresi cemas seperti saat ini. Memangnya apa yang sangat di cemaskan oleh bundanya?

Karina mencoba menetralkan nafasnya yang seperti menggebu. Kemudian sedikit terkekeh, "Itu mimpi kali, 'kan Aura suka tidur di kelas." Jawab Karina sedikit menggoda dan mencolek bahu anaknya itu. Mereka tertawa.

Dalam hati, Karina benar - benar cemas jika Aura akan bertanya lebih banyak tentang hal itu. Bagaimana jika hal itu terulang? Tidak, itu adalah mimpi buruk Karina selama hidupnya.

"Ih, bunda. Bunda kan tau, aku gak pernah mimpi lagi. Lagian aku tuh udah jarang tidur di kelas tau. Itu tuh, bener - bener datang ke kepala pas aku lagi seratus persen bangun, gak tidur sama sekali."

Ah, Karina melupakan itu, "Maaf, bunda lupa."

"Kamu itu, sewaktu kecil homeschooling, karena belum bisa jauh dari bunda, makannya kamu hampir gak punya temen, apalagi cowok," Karina berhenti sejenak.

"Itu halusinasi kamu aja kali. Udah, cepetan naik keatas, mandi terus makan. Bunda udah masakin kesukaan kamu." Lanjutnya dengan senyuman seraya mengecup kening Aura. Lalu pergi ke dapur, meninggalkan Aura dengan pertanyaannya yang masih mengganjal di hati.

Rasa penasarannya belum terpuaskan, itu seperti bukan jawaban yang Aura butuhkan.

Aura yakin itu bukan halusinasinya, ataukah itu mimpi? Tidak mungkin. Aura tidak pernah mengalami mimpi saat tidur semenjak bangun dari komanya.

Tapi ...

"A—ra! Hey, gu-e dis...—ni. Jangan tingg...-lin gue. AURA! B...-ka ma—ta lo, gu-... sayang,"

Auh, suara itu lagi. Seperti kaset rusak.

Mengapa sangat familiar? Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Aura kemudian beranjak dari duduknya lalu bergegas menuju kamarnya. Suara itu terus terngiang di telinganya, entah darimana asalnya.

Aura menutup telinganya rapat - rapat pun suara itu tetap terdengar. Jelas. Sangat jelas. Semakin suara itu terngiang di telinganya, semakin keras dirinya berfikir siapa orang yang paling tepat memiliki suara ini.

Hingga Aura tiba didepan pintu kamar dan hendak meraih gagang pintu itu, satu nama tiba-tiba muncul di benaknya. Mungkin terdengar aneh, tapi memang nama itu yang kini masuk akal dengan suara misterius tersebut. Dan nama itu ... Edgar?

Ceklek. Pintu kamar miliknya terbuka namun belum sempat Aura melangkah kedalamnya, suara lengkingan kembali terdengar. Lebih besar dari yang ia dengar di sekolah tadi.

"Ahk," Aura semakin menutup kedua telinganya.

Dan, bruk.

Seketika semuanya gelap.

avataravatar
Next chapter