20 Déjà Vu

Edgar pergi dengan perasaan yang jengkel.

Sepertinya ia benar - benar mengidap bipolar. Tadi pagi ia kesal, lalu tersenyum lagi, kesal, kemudian membaik lagi.

Jujur saja, Edgar terkadang akan marah saat ada yang tidak satu suara dengannya. Dan perkataan Aldo tadi, berhasil membuatnya demikian.

Dan kecewa.

Terlalu banyak menonton film, katanya? Cih!

Kedengarannya memang begitu, tapi tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya nanti. Terpakai ataupun tidak kemampuan menembak tersebut, setidaknya mereka sudah mempelajari itu.

Edgar tidak ingin senjata api menjadi hal tabu untuk mereka. Ia hanya berusaha menyetarakan dirinya dengan lawan.

Semuanya harus dipersiapkan matang - matang.

Jangan sampai rencana sudah disusun sedemikian rupa, harus gagal karena satu kesalahan.

Huh, sudahlah.

Ia harus membicarakan ini lagi dengan kedua sahabatnya, dengan kepala yang dingin.

Semuanya demi gadis bernama Aura itu. Gadis yang selalu memenuhi kepalanya selama satu minggu belakangan ini.

Sebenarnya Edgar belum terlalu yakin dengan keputusannya. Di satu sisi ia sangat yakin, tapi di sisi lainnya ia ragu, terlalu banyak yang harus ia cari tahu dan tidak mungkin juga Edgar hanya fokus mencari tahu. Ia harus mulai mempelajari lagi bela diri dan ia juga harus mulai menjaga Aura. Belum lagi menyusun strategi.

Bagaimana caranya membagi waktu sebanyak itu?

Apakah waktunya cukup sampai hari itu tiba?

Dan, apakah Edgar mampu?

Itu yang membuatnya tidak yakin.

Namun jika memilih diam pun, ia hanya akan menyesal. Dan lebih menyesal karena tidak berusaha melakukan apa - apa.

Fyuh!

Sudahlah, lagipula Edgar sudah berkata yakin seratus persen kepada Aldo. Bahkan Aldo sudah menyuruhnya bertanggung jawab sampai akhir kepada Aura. Lucu sekali.

Berbicara tentang Aura, apakah gadis itu sudah membaca surat didalam paperbag-nya? Bagaimana reaksinya, Edgar sangat penasaran.

Surat itu berisi sebuah pernyataan. Aura tidak bisa menolaknya, dan Edgar tidak menerima penolakan.

Egois?

Tentu saja tidak. Ini merupakan langkah awal untuk melindungi Aura. Untuk kebaikan gadis itu sendiri. Ya, walaupun Edgar tidak dapat memberitahukan alasannya langsung kepada Aura.

Oh God! Semoga gadis itu menerimanya saja tanpa protes.

...

Tempat perhentian bus itu hanya tersisa beberapa calon penumpang lagi yang belum mendapatkan bus mereka. Termasuk seorang perempuan yang sudah berada disana selama satu jam yang lalu.

Sebenarnya sudah dua kali bus tujuannya berhenti di halte itu, namun karena terlalu asik melamun, ia jadi melewatkannya.

Menatap kosong jalanan tanpa memedulikan orang - orang yang berlalu lalang melewatinya.

Gadis itu sibuk.

Sibuk memikirkan secarik kertas tak rapi yang ia temukan didalam paperbag tadi. Apa itu hanya orang yang jahil? Atau sebenarnya ditujukan untuk orang lain?

Tapi jelas - jelas namanya tertera disana.

Saat kelas matematika tadi berlangsung pun, Aura tidak memberikan sedikit saja fokus untuk memperhatikan. Karena seluruh fokusnya hanya memikirkan secarik kertas itu!

Ia pernah beberapa kali mendapat pernyataan cinta dari seorang lelaki yang mengagumi ataupun menyukainya. Bahkan sebagian dari mereka melakukannya dengan terang - terangan. Tapi Aura bisa dengan mudah menolak secara halus, tanpa menyakiti perasaan karena mereka juga mengungkapkan itu dengan cara yang baik.

Tapi yang satu ini, Aura sendiri pun bingung bagaimana menghadapinya. Tidak ada kata - kata romantis. Tidak terlihat seperti pernyataan cinta yang sering ia dengar.

Itu hanya sederet kalimat yang tidak membutuhkan jawaban, terlihat sangat memaksa.

TIN!

Gadis itu terlonjak mendengar suara klakson yang begitu dekat. Dengan raut kesal, ia mendongak untuk melihat suara keributan tersebut. Berani sekali mengganggu acara melamunnya.

Aura langsung tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Melotot kaget, layaknya sedang melihat seekor semut yang menggendong gajah dipunggungnya.

Itu Edgar!

Lelaki yang baru saja ia gosipkan bersama otak, hati, dan jantungnya.

Apa lelaki itu cenayang? Atau makhluk ghaib?

Mengapa saat ia sedang memikirkan Edgar, lelaki itu selalu langsung berada dihadapannya?

Melihat Aura yang hanya ternganga dengan mata membulat, membuat Edgar kembali menekan klakson motornya dengan keras. Menjadikannya pusat perhatian di halte itu.

"Ngapain masih disitu?" Tanyanya dengan sedikit berteriak, karena jarak mereka yang terpaut dua meter.

Aura mengerjapkan matanya berulang kali. Melihat kanan kiri, lalu menunjuk dirinya. Lelaki itu mengangguk.

Ia menetralkan nafasnya. "A, Aku lagi nunggu bus," jawab seadanya.

"Gue tau."

Sontak kedua alisnya menyatu, terheran. Jika sudah tahu, mengapa bertanya?

"Naik!"

"Hah? Busnya kan belum datang!" Aura sedikit berteriak membuat Edgar mendecak.

Wah, mengapa gadis itu tidak menghampiri dan berbicara di depannya saja? Bukan malah berteriak dan menjadi tontonan semua orang.

Astaga. "Naik ke motor gue!" Final Edgar.

Sepertinya Aura benar - benar menerapkan pelajaran bahasa indonesia di kehidupannya. Lihat, dia harus diberi keterangan yang jelas terlebih dahulu baru mengerti.

Demi Tuhan, gadis itu merutuki dirinya sendiri yang tidak naik bus sejak tadi. Dan sekarang malah harus dihadapkan dengan lelaki ini. Naik ke motor itu lalu apa?

Sudah Aura bilang, ia tidak mau bertemu lagi laki - laki itu!

Aura menelan ludahnya gugup, "Se, Sebentar lagi busnya datang kok! Aku bisa pulang sendiri," ucapnya terbata.

Edgar menghela nafas panjang lalu menghembuskannya. Ia jadi kesal lagi. Tinggal naik saja, apa susahnya?

Jika ia menawari gadis lain untuk menaiki motornya, gadis - gadis itu pasti akan langsung menerima dengan senang hati tanpa bertanya akan dibawa kemana.

Edgar men-standarkan motornya lalu berjalan kearah deretan kursi halte tempat gadis itu duduk.

Aura yang dihampiri oleh Edgar hanya bisa meremat pegangan tasnya dengan erat. Mengapa tiba - tiba ia takut dengan lelaki itu?

Tolong!

Edgar meraih satu tangan Aura, membuat si empunya melakukan penolakan dengan sedikit menarik tangannya. Namun lelaki itu enggan melepaskan.

"Gue anterin lo pulang," ujarnya tanpa basa - basi.

"Tapi aku bisa sendiri."

Edgar menoleh hingga netranya bertubrukan dengan mata coklat itu. Tatapannya menyiratkan rasa takut, terkejut, juga bingung.

Tak hanya Aura, Edgar saja bingung dengan perilakunya saat ini. Apa yang sedang ia lakukan?

Niatnya pulang ke rumah, namun saat melewati sekolah ia melihat gadis itu sedang melamun duduk di halte. Merasa dejávu.

Edgar merasa harus menghampiri dan mengantarnya pulang dengan aman. Lagipula mereka sudah resmi berpacaran. Mulai hari ini, itu akan menjadi salah satu tugasnya.

"Udah gelap, lo juga gak liat ini udah mau hujan?"

Gadis itu tetap bergeming, "emang mau kelamaan nunggu disini, terus didatengin orang - orang jahat kaya kemaren?" lanjutnya sedikit menakut - nakuti. Seperti sedang membujuk anak kecil saja.

Tangan yang berada dalam genggamannya itu terasa sedikit bergetar saat ia mengatakan kalimat tersebut. Mungkin masih trauma?

"Tapi—,"

"Kali ini kalau ada apa - apa, gue gak akan bantuin lo." Ucapnya memotong Aura yang akan menjawab lagi, dengan sedikit ancaman.

Detik itu juga Aura mengangguk, membuat segaris senyum tipis tercipta di wajah lelaki itu tanpa Aura sadari.

Tempat ini masih sedikit ramai, walaupun tidak seramai saat pertama kali ia datangi. Awan hitam jelas sudah menyelimuti langit. Jika orang - orang disekitar mulai berpergian, tempat ini akan sama menyerankannya seperti halte malam itu.

Dan Aura tidak mau hal tersebut terulang lagi.

Edgar membawa gadis itu menuju motornya dengan tangan yang masih digenggam. Sampai di didepan motornya, barulah ia melepaskan.

"Gue gak bawa helm dua. Jadi pegangan! Kalo jatuh gue gak tanggung jawab," perintahnya pada Aura.

Aura mengangguk lalu meletakkan kedua telapak tangannya di bahu lelaki itu dengan pelan.

"Pegangan yang erat!"

Dan gadis itu langsung mencengkram kuat bahu Edgar.

Lelaki itu mendengus sebal di balik helm-nya. Ekspetasinya gadis itu akan melingkarkan tangan di perutnya. Tapi apa ini? Dirinya malah seperti tukang ojek!

Ah, terserah.

avataravatar
Next chapter