4 Awkward

"Aura, ayo ke kantin!"

Bel istirahat sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Para penghuni kelas satu per-satu meninggalkan kelas untuk mengisi perut mereka yang kelaparan. Namun tidak dengan gadis satu ini, Aura masih saja merebahkan kepalanya di meja enggan untuk pergi kemanapun. Entahlah, tiba - tiba saja ia merasa malas bangun dari kursinya.

Aura menengadah, melihat Kelly yang berdiri disamping mejanya seraya memaninkan ponsel dengan satu tangan.

"Demi apa aku males banget Ly. Aku nitip aja ya? Boleh ya?" Pinta Aura sembari memainkan jari tangan Kelly satunya yang menganggur.

"Ih, lo mah kebiasaan."

"Yaudah deh mumpung mood gue lagi bagus, chat aja lo pengen apa. Gue orangnya pelupa," lalu Kelly berjalan pergi meninggalkan Aura yang masih duduk manis di kursinya.

Aura dengan senang hati merogoh sakunya untuk mengambil ponsel, kemudian menuliskan pesanannya pada Kelly. Dan setelah itu, ia kembali merebahkan kepalanya di meja dengan tangan sebagai bantalan dan memejamkan mata.

''Aura, bangun! Hey, gue sayang sama lo. Jangan tinggalin gue kaya gini, Ra. Gue mohon.''

Gadis itu terlonjak kaget saat mendengar suara yang baru saja memenuhi seisi telinganya.

Suara itu, siapa?

Aura menoleh sekitar, pandangannya menyapu seluruh isi kelas. Namun nihil. Tak banyak orang didalam kelas saat ini, hanya dua orang tersisa, itu pun tengah sibuk dengan urusannya masing - masing. Satu siswa sedang menulis dan satunya lagi tertidur. Kelas itu sunyi, tak ada satupun yang sedang membuat kebisingan.

Tapi suara tadi, terdengar sangat jelas sekali di telinganya. Jantungnya berdegup kencang. Suara itu, seperti familiar sekali.

Belum selesai memikirkan suara tadi, kini tiba - tiba suara melengking lain mengacaukan pendengarannya.

"Akh," suara lengkingan tersebut sontak membuat Aura menutup rapat kedua telinganya.

Bersamaan dengan itu, beberapa potongan memori ingatan samar bermunculan memenuhi kepalanya.

Dia siapa?

Cuplikan memori bak kaset rusat itu menunjukkan seorang lelaki. Lelaki asing yang rasanya familiar bagi Aura. Suara tadi dan potongan memori ini, apakah berhubungan? Mengapa ini sangat familiar? Namun dirinya sama sekali tidak dapat mengingat apapun tentang lelaki dalam ingatan itu. Rasanya seperti ada yang pernah hilang dalam ingatannya, pikir Aura.

It's something wrong. But, what?

"Apa lagi yang aku gak tau? Kenapa aku gak inget sama sekali?"

Ting!

Kelly

| Ra, kantin penuh, ngantri banget

| Mending lo kesini aja daripada gabut dikelas

| Kalo gamau kesini ya, sabar aja yaa

Aura

| Yaudah deh aku kesana, tungguin ya

Sepanjang jalan menuju kantin, gadis itu tidak lepas memikirkan hal yang baru saja ia alami. Potongan - potongan memori samar itu terus berputar di otaknya bersamaan dengan suara misterius lelaki yang tadi sempat melewati gendang telinganya.

Mengacak rambutnya frustasi, "Duh, emangnya kapan ada kejadian kaya gitu di hidup aku?" Gadis itu terus saja berjalan dengan raut kebingungan tergambar di wajahnya.

Aura menghentikan langkahnya saat teringat sesuatu. "Bunda. Aku harus tanya bunda." Gadis itu terus saja mengoceh sendiri hingga tanpa sadar siswa lain sedang menatapnya aneh.

Sesampainya di kantin, ternyata Kelly tidak berbohong. Kantin ini benar - benar ramai. Aura hanya berdiam diri di pintu masuk kantin, celingak celinguk mencari sosok sahabatnya. Namun, akhirnya menyerah. Terlalu banyak umat kelaparan yang berseliweran di kantin ini.

Tak ambil pusing, ia lekas berjalan menuju sebuah lemari pendingin dan mengambil satu buah minuman kaleng, lalu membayarnya dan duduk di salah satu kursi kosong yang tersisa di kantin itu.

Aura merogoh sakunya berniat menelepon Kelly, namun apa yang dilihatnya kini, lebih membuatnya penasaran hingga melupakan niat awalnya tadi.

Dari punggungnya, wajahnya, terlihat familiar sekali dimata Aura. Tentu saja, bukannya tadi pagi ia berkenalan dengan lelaki itu?

Bukan, bukan itu. Rasanya ia pernah bertemu lelaki bernama Edgar itu jauh sebelum ini. Lagi - lagi ia bertanya pada dirinya sendiri, "Tapi dimana?" gumamnya.

Benar - benar tanpa berfikir panjang, ia menghampiri satu meja di pojok dekat jendela yang ditempati tiga orang tampan, mereka duduk mengelilingi meja tersebut. Namun, hanya satu yang menjadi tujuannya, Edgar.

Mereka nampaknya sedang berbincang bersama sebelum akhirnya Aura menghentikan aktivitas tiga lelaki itu.

"Edgar?" panggil Aura dengan gugup.

Jujur saja, Aura sangat malu. Tapi rasa penasarannya mengalahkan semua urat malu dalam dirinya itu. Lelaki itu kemudian menoleh kebelakang, sedikit menengadahkan kepalanya melihat Aura yang sedang berdiri.

"Ya?" jawabnya dingin. Tentu saja.

Aura meremas roknya gugup, "Aku boleh ngobrol sama kamu bentar? Tapi ga disini. Berisik." Ucapnya lancar.

Namun sedetik kemudian ia tersadar saat Edgar hanya menatapnya datar. Tadi ia benar - benar seperti di hipnotis.

Gadis itu nampaknya menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan saat ini. Karena ia takut, lelaki tampan dihadapannya pasti mempunyai seorang pacar. Bagaimana jika Aura harus berurusan dengan hal seperti itu?

Namun jika Aura membatalkannya, bagaimana jika ia di cap sebagai orang aneh? Sangat tidak lucu diberi gelar seperti itu di hari pertama ia bersekolah.

"Iya. Mau dimana?" Edgar kemudian berdiri siap untuk mengikuti gadis itu. Namun gadis didepannya hanya mematung, memikirkan segala hal.

"Hey, kok ngelamun? Jadi gak?" Lelaki itu memecah lamunannya yang sedari tadi sedang memikirkan pertanyaan apa saja yang akan ia lontarkan.

"E—Eh iya, jadi kok," wajahnya memerah dan segera saja ia berjalan membelakangi Edgar.

"Yo, bayarin dulu mie ayam gue. Nanti gue ganti."

"Ganti 2x lipat? Oke boleh deh," celetuk Rio.

"Mulut lo mau banget gue jait?"

"Kalo gamau yaudah." Rio menjulurkan lidahnya.

Edgar menghela nafas panjang kemudian mengangguk pasrah. Lalu pergi mengikuti Aura yang sudah lebih dulu jalan.

...

Disinilah mereka sekarang. Taman belakang sekolah.

Sejuk, dan tidak berisik seperti di dalam kantin tadi. Namun pertanyaan yang sudah disusun rapi oleh Aura sejak tadi hancur begitu saja oleh kegugupan. Membuat dirinya kebingungan saat ini.

Hening.

Suasana saat ini sangat canggung. Sejak tadi belum ada yang melontarkan sebuah pertanyaan ataupun membuka mulut untuk berbicara. Keduanya hanya terdiam. Aura sedang mengingat kembali tujuan awalnya berbicara dengan Edgar, sedangkan Edgar sedang menunggu Aura menyampaikan yang ingin ia katakan tadi.

Gadis itu menarik nafas dan bergumam pelan, "Edgar," panggilnya pelan.

"Kenapa? Apa yang mau lo omongin tadi?" Dengan cepat Edgar menoleh pada Aura yang sedari tadi hanya diam.

"A—aku mau bilang makasih."

Edgar tidak menjawab. Ia hanya menatap Aura, lebih tepatnya melihat kematian gadis itu di matanya. Masih sama seperti tadi, tragis.

Oh, dan ada yang baru Edgar sadari. Gadis itu memakai seragam sekolah di hari terakhir hidupnya. Wah, maut benar - benar tidak pandang umur. Sangat disayangkan, gadis itu tidak tahu seragam sekolah barunya itu akan menjadi baju yang dipakai saat ia meregang nyawa.

"Edgar?" Aura mengibas - ngibaskan telapak tangannya didepan mata Edgar yang terlihat sedang melamun. Karena lelaki itu tak kunjung menjawab.

Apa lelaki itu hobi melamun? Saat tadi berkenalan di depan kelas pun seperti itu. Batin Aura bertanya - tanya.

"Ya, makasih buat apa?"

"Di koridor tadi, karena kamu negur mereka, cewe tadi jadi bisa aku tolong." Aura menduga duga pasti saat ini Edgar sedang menganggap dirinya aneh.

Siapapun, tolong Aura untuk mengakhiri pembicaraan awkward ini.

"Oh, no problem, udah gitu doang?" Edgar merasa membuang waktunya jika gadis ini mengajaknya berbicara hanya untuk mengatakan terima kasih.

"A—aku juga mau nanya, kamu sebelumnya pernah ketemu atau kenal sama aku? Soalnya kamu familiar banget." Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutnya. Oh ayolah, Aura sudah sangat malu saat ini. Ia harus segera pergi.

Edgar terlihat berfikir sejenak. "Engga kayaknya. Emang kenapa? Muka gue pasaran ya?" Entah ini pertanyaan atau lelucon, Aura tidak mau menanggapinya lebih lanjut. Sepertinya cukup sampai disini saja.

Aura tidak mau dianggap aneh.

"Eh, maaf! Maksudnya bukan kaya gitu. Aku lancang banget ya? Y—yaudah aku duluan ya. Ini, anggap aja sebagai rasa terimakasih. Maaf ya ganggu waktu kamu padahal aku cuma nanya yang gak jelas kaya gini." Ucap Aura seraya memberikan minuman kaleng yang tadi dibelinya. Lalu setelah itu ia melesat pergi meninggalkan Edgar yang masih kebingungan.

Edgar hanya menatap datar punggung Aura yang sudah berlari menjauhi tempat mereka duduk tadi.

"Aneh banget tuh cewe. Ah, bener juga, padahal gue mau nanya soal kenalannya. Gue penasaran, apa dia beneran punya kenalan yang namanya mirip gue?"

avataravatar
Next chapter