8 Vaza

Ara mengemudikan kendaraan dengan kecepatan sedang, mengarah menuju pantai. Dia tidak langsung pulang. Ada yang perlu dia lakukan di sana.

Menepikan mobil kesayangannya, Ara lalu melangkah perlahan mendekati bibir pantai. Beruntung, ada jaket tebal di jok belakang. Jadi, udara beku ini tidak terlalu memagut tubuhnya.

Gadis dengan kaki jenjang dan gemar mengenakan sepatu flat ini menempelkan kelingking kanan ke arah bibir. Begitu dia meniup, terdengar suara lirih mirip orang bersiul. Suara itu adalah kode rahasia ketika dia perlu memanggil teman-temannya dari dasar laut.

Suara lirih di udara, tetapi mampu menembus air laut dan terus menjalar ke dasar lautan. Tidak sampai lima menit, satu sosok pria berambut pirang pucat mendekati putih muncul dari dalam laut. Ara melangkah mendekati, masuk ke dalam air laut hingga sebatas lutut.

Pria berjenggot panjang dengan tubuh setengah manusia, setengah lagi ikan itu tersenyum melihat kehadiran Ara di hadapannya.

"Salam, Putri Arandelle. Ada yang bisa hamba bantu?" Tubuh pria itu serupa bersinar tertimpa cahaya bulan. Kulit putih mulus, terlihat sedikit licin seperti kulit ikan pada umumnya.

"Tubuhku terluka, Vaza. Bisakah kau mengobatiku?"

Pria duyung yang dipanggil Vaza itu mendekat. Dia merentangkan kedua tangan ke samping, kepala sedikit menengadah. Mulutnya tampak berkomat-kamit membaca sesuatu, lalu menggerakkan kedua tangan ke depan, ke arah Ara.

Air laut di kaki Ara seolah hidup. Mulai naik, merayap menyelimuti seluruh tubuh Ara tipis-tipis. Air laut itu membantu mengeringkan luka-luka yang ada di tubuh gadis itu. Luka yang tadinya menganga, lalu dipaksa menutup dengan dijahit, ditarik oleh benang-benang polydioxanone, kini benar-benar menutup sempurna. Luka-luka itu mengering, walau belum sepenuhnya sembuh.

Setelah beberapa menit terbungkus air laut, perlahan air itu kembali turun. Tubuh Ara terasa lebih segar dari sebelumnya. Rasa sakit dan perih juga sudah tidak ada lagi. Rupanya ini, alasan kenapa dia menolak dibawa pergi ke rumah sakit. Ara mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

Dia punya tabib istimewa yang bisa mengobati lukanya dengan jauh lebih cepat dari dokter di rumah sakit. Vaza, duyung tertua di alam bawah laut memang memiliki kemampuan unik. Tak heran, banyak duyung lain dan ikan-ikan besar meminta tolong padanya ketika terluka.

"Terima kasih, Vaza. Sekarang, aku harus kembali pulang. Pergilah."

"Baik, Putri Arandelle." Vaza membungkuk dengan hormat lalu menyelam, kembali ke dasar lautan.

Ara melangkah kembali ke mobil dan melaju pulang ke rumahnya. Entah, apakah bisa disebut itu rumah. Bagi Ara, itu hanya sebatas bangunan, tujuan terakhir setiap hari ketika dia harus mengistirahatkan badannya.

Bangunan megah, menaungi empat penghuni utama. Ara, kakak Ara dan istri, serta bayi mereka yang baru berusia beberapa minggu. Selebihnya, hanyalah pelayan dengan berbagai tugas yang berbeda. Memasak, membersihkan rumah, taman, kolam, dan lain-lain.

Ara tahu, Reagant sangat menyayangi dia, adik semata wayangnya. Namun, terpisah sejak kecil dan baru bertemu setelah remaja, membuat gadis dengan jari panjang dan lentik itu tidak bisa merasa dekat dengan sang kakak. Ditambah lagi, Reagant sudah menikah dan punya anak. Tentu Ara merasa canggung jika harus menyedot perhatian serta waktu kakaknya.

Istri dan anak Reagant jelas lebih membutuhkan itu. Ara meyakini bahwa dirinya memang ditakdirkan untuk hidup sendiri di dunia ini. Hidupnya sudah tidak normal sejak kecil. Jadi, dia tidak mau berharap lebih.

"Kejar bahagiamu, Ra. Setiap manusia berhak untuk bahagia. Temukan caramu bahagia. Pasti bisa!" Reagant pernah memberi semangat pada Ara. Percuma. Ara sudah tidak percaya pada semesta. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya tetap bernapas, atau mungkin lebih tepat ... terpaksa bernapas dan menghabiskan waktu di luaran sana.

Selain pantai, Ara menyukai segala hal yang berkaitan dengan air dan ikan. Dia suka sungai, air mancur, air terjun, bahkan suka berendam di dalam bathtub. Menghabiskan waktu berjam-jam di dalam bathtub sembari membaca, makan buah, atau sekadar diam dan melamun.

Walau kadang tidak tahu harus melamunkan apa, Ara membiarkan tubuh terendam air dengan pikiran kosong. Menikmati saja getaran-getaran halus yang ditimbulkan oleh partikel-partikel air, juga letupan-letupan kecil dari busa melimpah akibat sabun yang dia tuangkan ke dalam air.

Ketika tiba di rumah, semua orang sudah terlelap. Melirik sekilas ke jam tangan yang melilit pergelangan, Ara berdecak kaget. Sudah pukul tiga pagi. Cepat sekali waktu berlalu. Pantas saja mata sudah memaksa untuk menutup. Rasanya berat, lengket, panas.

Tanpa mengganti baju, Ara langsung menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Menyalakan penghangat, lalu meringkuk di dalam selimut tebal. Musim gugur kali ini serasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya.

Di sisi lain, Judas meninggalkan pabrik dan menuju Grand Peacock, salah satu hotel miliknya di Moresby. Tubuhnya terasa sangat lelah. Tidak ada luka sama sekali di tubuhnya. Kecelakaan tadi malah melukai Ara, dewi penolong Judas.

'Bagaimana keadaan gadis itu?'

Merasa cemas, Judas meraih telepon genggamnya, lalu mengirimkan pesan pada Josh. Dia tidak ingin mengganggu tidur orang kepercayaannya itu agar besok Josh bisa bekerja dengan baik.

[Besok, pastikan kamu sudah menemukan siapa gadis itu. Orang yang tadi kupinjam teleponnya.]

Julian segera mengganti pakaiannya. Dia menyimpan beberapa potong pakaian di kamar ini. Untuk mengusir dingin, dia mengambil salah satu botol minuman dari rak berisi minuman beralkohol, koleksi pribadinya.

Botol dengan label 'Henry IV Dudognon Heritage Cognac Grande Champagne' menjadi pilihannya. Satu botol bisa seharga dua juta dollar. Minuman fantastis! Minuman ini terbuat dari cognac yang sudah diawetkan selama seratus tahun.

Wajar saja harganya mahal. Tidak hanya kandungan cognac saja yang membuat kagum, tetapi desain botolnya pun membuat geleng-geleng kepala. Botol itu terbuat dari sterling platinum, emas 24 karat, dan dilapisi dengan enam ribu berlian kecil. Tampak elegan.

Prestise, itu yang ingin didapatkan oleh pelanggan minuman mahal ini. Judas salah satunya.

"Buat apa menghasilkan banyak uang, kalau tidak untuk dihabiskan. Toh, aku tidak akan jadi miskin kalaupun minum Henry IV setiap hari," ujar Judas sombong. Kesombongan yang tidak bohong. Karena memang yang dia hasilkan setiap jam sudah lebih dari cukup.

Meneguk setengah gelas, Judas merasa tubuhnya mulai menghangat. Dingin seperti ini lebih nyaman kalau tidur bersama seorang wanita di sampingnya. Judas menghubungi resepsionis, meminta dikirim pelacur langganannya.

Judas menunggu sambil memikirkan semua masalah yang terjadi beruntun, bahkan hampir bersamaan malam ini. Kebakaran pabrik dan kecelakaan mobil, apakah pelakunya satu orang? Julian masih menimbang-nimbang.

Sepuluh menit berlalu, bel kamar berbunyi. Julian membuka pintu itu dan menyapa seorang gadis berusia sekitar 24 tahun. Dari dandanannya, sama sekali tidak terlihat bahwa dia adalah penjaja cinta. Penampilannya sangat elegan bak nona besar keluarga bangsawan. Tidak heran kalau bayarannya demikian mahal.

"Hai, Jud. Aku sangat merindukanmu." Gadis itu bergelayut manja.

Judas menutup pintu dengan kakinya karena gadis itu sudah terlanjur menempelkan bibir. Keduanya berpagut mesra sembari melangkah setapak demi setapak menuju ranjang. Malam Judas tak lagi dingin.

avataravatar
Next chapter