4 Sang Malaikat

Getaran keras berasal dari pintu yang berusaha dibuka dari luar. Selang beberapa detik kemudian sebuah benda menghantam keras kaca di sebelah Judas. Tangan itu merogoh panel pintu di dalam mobil, mencari-cari tombol pengunci.

Setelah pengunci berhasil dibuka, tangan itu menarik sabuk pengaman, membuatnya lepas dari tubuh Judas yang sudah mulai kehilangan kesadaran. Hanya gelap dan dingin, beku. Itu yang dirasakan oleh Judas. Dia pasrah, menyerahkan sepenuhnya nasib diri kepada takdir.

Tangan itu mencengkeram kuat, menarik Judas keluar dari mobil, lalu membopongnya, berenang dengan cepat ke permukaan. Judas sudah sepenuhnya kehilangan kesadaran. Dia terakhir merasakan ketika tangan itu menariknya keluar dari mobil, penghujung kesadaran.

Siapa yang rela terjun ke dalam air laut di tengah cuaca seperti ini? Larut malam pula. Penolong itu menarik tubuh Judas yang jauh lebih berisi daripada tubuhnya sendiri hingga ke bibir pantai. Ada sedikit area berpasir sebelum akhirnya batu-batu tersusun terjal hingga ke jalan raya.

Penolong itu memberikan napas buatan pada Judas dan sesekali menekan dada laki-laki itu hingga beberapa hitungan. Dilakukan berulang-ulang, sampai Judas tersadar. Dia memuntahkan banyak sekali air laut yang terlanjur masuk sambil terbatuk-batuk.

Tubuh Judas menggigil karena seluruh pakaiannya basah. Dia masih berusaha mengingat-ingat tentang apa yang baru saja terjadi. Bau terbakar, rem blong, kecelakaan!

"Apa kamu yang sudah menyelamatkan aku?" Judas memicingkan mata, berusaha melawan kegelapan agar dia dapat melihat sosok dewa penolongnya. Dewa? Ternyata bukan.

Dewi penolong. Rambut berwarna keemasan itu basah, masih meneteskan sebagian air. Wajah cantik itu ....

Gadis cantik itu tidak menjawab pertanyaan Judas. Jelas saja, itu adalah sebuah pertanyaan bodoh. Sudah pasti gadis ini yang menyelamatkan Judas karena tidak ada orang lain lagi di sana. Hanya mereka berdua.

"Aku akan membawamu ke klinik terdekat." Gadis itu membantu Judas untuk duduk.

Di bawah sinar bulan yang tidak terlalu terang, Judas menatap heran ke arah gadis itu. Dia sama sekali tidak kedinginan. Jauh berbeda dengan Judas yang giginya bergemeletuk dan badan bergetar hebat menahan beku. Padahal, baju yang dikenakan gadis itu sangat tipis.

"Kamu ... tidak kedinginan?" Judas tak bisa melawan rasa penasaran.

"Aku suka air. Jadi tentu saja aku sangat menyukai dingin. Lepas mantelmu, agar tidak berat dan tidak semakin dingin. Ayo, kita segera ke klinik." Gadis itu membantu Judas melepas jaket agar lebih ringan dan tidak masuk angin.

Tertatih, keduanya mencoba untuk naik ke jalan raya. Mobil sport merah menyala tampak anggun di atas sana, menunggu sang pemilik datang.

Judas berhasil naik lebih dulu. Walau baru saja mengalami kecelakaan, tentu saja tubuh Judas jauh lebih kuat daripada gadis itu. Dia mengulurkan tangan, membantu gadis itu untuk naik. Dalam hati, dia memuji keberanian dewi penolongnya ini.

Tubuh langsing bahkan terkesan ringkih, tetapi dengan berani dia turun dari jalan raya menyusuri tebing bebatuan. Tidak hanya itu, butuh keberanian ekstra untuk menceburkan diri ke dalam laut larut malam seperti ini di musim gugur yang dingin dan berangin kencang. Padahal bisa saja dia tidak perlu peduli, lanjut perjalanan daripada harus bersusah payah. Gadis ini mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk membantu Judas.

Hal yang patut diacungi jempol. Judas merasa berutang budi pada gadis cantik ini. Kalau tidak ada dia, tamatlah sudah kisah hidup Judas Ellington, pria terdahsyat di kota Nemville.

"Tanganmu berdarah. Kakimu juga." Judas terkejut melihat keadaan gadis itu tidak lebih baik dari dirinya. Hebatnya lagi, gadis itu tidak mengeluh sama sekali. Luka berdarah seperti itu, pasti sangat perih terkena air laut yang asin karena mengandung garam.

"Aku justru tidak menyadarinya. Ayo, kita ke klinik." Gadis itu berniat masuk ke mobil, tetapi Judas menahannya.

"Biar aku yang mengemudi. Kamu duduk saja di sebelah." Tanpa menunggu jawaban, Judas menarik lembut pinggang gadis itu, membawanya ke pintu sebelah kiri. Ya, negara ini menggunakan kemudi di sebelah kanan, seperti kebanyakan negara-negara di Asia.

Monaghan adalah negara monarkhi di Eropa, berbatasan dengan Asia. Jadi, secara adat dan budaya merupakan hasil akulturasi keduanya. Keakraban dan keramahtamahan Asia, berpadu dengan toleransi tinggi dan kebebasan individu ala Eropa.

Judas mengitari mobil begitu dia menutup pintu untuk gadis itu. Dia duduk di belakang kemudi dan mulai melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Seingat dia, sekitar satu kilometer lagi akan ada klinik kecil di kanan jalan. Dia pernah melihat papan nama klinik tersebut ketika dulu melintas di perjalanan yang sama, menuju Moresby.

"Namaku Judas. Kamu?" Judas melirik gadis di sebelahnya. Tatapan khawatir. Namun, sepertinya gadis itu baik-baik saja. Ekspresi wajahnya datar, tidak terlihat menahan sakit atau perih dengan luka separah itu di tangan serta kakinya.

"Perlukah namaku?" Gadis itu menjawab dengan dingin.

"Tentu saja. Bagaimana aku bisa berterima kasih dengan layak jika tidak tahu siapa dewi penolongku. Apa kamu keberatan menyebutkan namamu?" Judas balik bertanya. Gadis ini sangat unik, pikir Judas.

"Ara." Jawaban teramat singkat.

"Terima kasih, Ara. Kamu sudah menyelamatkan nyawaku. Apa yang bisa kulakukan untukmu demi membalas budi?" Judas berucap sembari menahan rasa dingin yang terlampau erat memeluk. Untung saja ada pemanas yang cukup dalam mobil ini.

"Tidak perlu berterima kasih. Aku melakukannya bukan untuk kamu." Ara membuang pandangan ke arah luar.

Dia seperti tidak nyaman berbicara dengan Judas. Padahal, kebanyakan wanita akan terpana dengan pancaran ketampanan Judas. Kenapa Ara tidak terpengaruh sama sekali? Judas sangat penasaran, juga merasa dilecehkan. Jelas saja, ini adalah pelecehan terhadap ketampanan!

"Bukan untuk aku? Kalau bukan untuk aku, lalu untuk siapa kamu melakukan ini? Apa ada yang mengupahmu untuk menjaga dan menyelamatkan aku?"

Ara tersenyum sinis lalu menjawab, "Dasar bodoh. Memangnya aku body guard-mu? Aku melakukan untuk diriku sendiri. Aku menyukai laut. Dan aku tidak ingin laut yang kucintai tercemar oleh bangkaimu."

Judas sangat terkejut mendengar jawaban pedas dari bibir tipis yang terlihat menggairahkan itu. Sungguh perpaduan yang sangat kontras. Dia tidak menyangka, kalimat sekasar itu bisa meluncur dengan lancar dari mulut Ara.

"Andai saja kamu bukan dewi penolongku, sudah kusobek mulut jahatmu itu!" Mau tidak mau, Judas merasa kesal pada gadis itu.

"Coba saja kalau kau berani," tantang gadis itu. Dia bersandar santai lalu memejamkan mata.

Judas menatap marah pada gadis di sebelahnya. Namun, seketika tatapan garang itu berubah sendu ketika dia melihat cucuran darah di tangan Ara. Gadis kuat, puji Judas dalam hati.

"Lukamu tidak sakit?" Judas mencoba menyalurkan rasa khawatirnya dengan bertanya.

"Mana ada luka yang tidak sakit. Jangan terus jadi laki-laki bodoh, Om."

avataravatar
Next chapter