7 Gedung Putih

Mata Ara melotot ke arah Julian, tetapi laki-laki dengan tulang pipi menonjol itu tidak mempedulikan. Dia melangkah meninggalkan IGD dan memberikan kertas resep itu pada anak buahnya. Dia menyuruh segera membeli obat itu untuk Ara. Judas juga meminta dia untuk menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit.

"Siap, Tuan. Tuan Judas bisa langsung pergi saja. Silakan beristirahat."

Judas kembali ke IGD dan duduk di sebelah Ara.

"Kamu mau aku antar pulang?" tanya Judas.

"Hei, itu mobilku. Jadi, aku bisa pulang sendiri." Ara beranjak dari tempat tidur, menengadahkan tangan, tanda meminta kunci mobilnya dikembalikan.

"Kamu mau ke mana?" Judas menyerahkan kunci mobil Ara.

"Pulang. Urusan kita sudah selesai." Ara menjawab tanpa menoleh sedikit pun.

"Hei, tunggu. Nama kamu siapa?" Judas berusaha menahan kepergian Ara.

"Kenapa? Kamu minta diganti biaya pengobatanku? Kuganti sekarang saja, Om." Ara membalikkan badan, menatap dengan ekspresi dingin ke arah Judas.

'Sial. Dia pikir aku orang miskin?' Lagi-lagi, Judas hanya berani menggerutu dalam hati.

"Hei, Nona Arandelle Tarrigan. Aku, Judas Ellington. Konglomerat terkenal. Kasino yang kamu kunjungi tadi adalah salah satu bisnis milikku," kata Judas dengan pongah.

"Terkenal? Buktinya, aku tidak kenal kamu. Sudahlah, tidak perlu membual di depanku. Kamu butuh berapa?" Ara mengambil beberapa lembar uang dari dalam dompet ungu miliknya.

"Aku ... Judas Ellington. Pewaris tahta kerajaan Monaghan. Tanah yang kamu injak sekarang, adalah tanah milik leluhur dan keluargaku, Nona." Judas mencengkeram tangan kurus Ara, mengangkatnya hingga ke dekat wajah.

"Aku tidak peduli dengan itu semua. Mau kamu pewaris tahta, mau pemilik dunia, bahkan anak Tuhan sekalipun." Tanpa rasa takut, Ara melepaskan tatapan, tepat menghunjam manik mata hazel milik Judas.

"Kamu ...." Saking geramnya, Judas tak mampu menyelesaikan kalimat.

"Ya. Aku, Arandelle Ellington, tidak peduli dengan itu semua. Kalian orang-orang sok kuasa, bisanya cuma menindas orang di bawah kalian. Orang-orang yang kalian pandang lemah. Semua manusia sama. Pahamilah itu, Tuan Judas Ellington." Mata gadis itu berkaca-kaca ketika meluncurkan serentetan kalimat pedas.

Judas bisa merasakan kepedihan yang teramat sangat dalam setiap kata yang diucapkan oleh Ara. Pasti dia punya pengalaman buruk tentang itu. Dia juga pasti bukan orang dari keluarga sembarangan. Tidak mungkin, orang biasa datang ke kasino miliknya. Demikian pemikiran Judas.

DIa melepas tangan itu. Ada rasa tidak tega melihat netra gadis itu mulai berembun. Judas yang kejam rupanya masih bisa tersentuh hatinya. Hanya gadis biasa, tidak terlalu cantik dibandingkan gadis-gadis super model yang pernah menghangatkan malam Judas atau pelacur-pelacur kelas tinggi yang pernah dikirimkan sebagai upeti dari beberapa rekanan bisnisnya.

"Terimalah." Ara mengulurkan tiga lembar uang seratusan dollar ke arah Judas.

'Nona, apa arti uang tiga ratus dollar bagiku? Setiap menit, bisnisku mampu menghasilkan lebih dari itu!'

Judas hanya mampu protes dalam hati. Pada akhirnya, dia hanya mampu bergeming. Membiarkan tangan itu terulur dan tetap mematung.

"Ya, sudah kalau kamu tidak mau. Jangan salahkan aku. Aku pulang, Om." Ara sengaja memperjelas kata 'om' untuk membuat Judas jengkel.

'Sial! Dipanggil om lagi.' Judas ikut melangkah keluar, persis di belakang Ara.

Tiba-tiba, Ara menghentikan langkah. Hampir saja Judas menabrak tubuh gadis itu.

"Berhenti nggak pakai lampu sign," gerutu Judas.

"Kenapa kamu mengikuti aku?" Ara membalikkan badan.

"Aku tidak mengikutimu. Pintu keluar memang di situ." Judas kembali melangkah. Kali ini, dia sengaja mendahului Ara supaya tidak dibilang mengikuti dia.

"Kau tinggal di mana?" teriak Judas ketika Ara melewatinya.

"Di atas bumi, di bawah langit." Ara melambaikan tangan lalu masuk ke dalam mobilnya yang masih terparkir di depan gedung rumah sakit. Tangan dan kaki sudah tidak terlalu sakit. Jadi, dia memutuskan untuk segera pulang dan beristirahat. Ini sudah dini hari.

Mobil merah menyala itu melaju meninggalkan rumah sakit. Judas memandang kepergian gadis misterius bernama Ara itu dengan tatapan nyalang. Ada harga diri yang terkoyak, tetapi entah mengapa, dia tidak bisa marah pada gadis itu. Semua amarah luntur seketika ketika menatap binar bening di dua bola matanya. Mata itu ... melemahkan.

"Tuan, ini obatnya. Biaya rumah sakit sudah saya bayarkan." Anak buah Judas mendekat dan mengulurkan sebungkus obat-obatan yang baru dia tebus dari apotek rumah sakit.

"Astaga." Judas menepuk jidatnya sendiri. Dia lupa, obat ini untuk Ara. Gadis itu sudah terlanjur pergi dan dia tidak tahu di mana rumahnya.

"Mana handphone yang aku minta." Judas mengulurkan tangan.

"Ini, Tuan. Yang putih, nomor sementara. Sementara yang hitam, besok akan aktif nomor lama Tuan. Demikian pesan Tuan Josh tadi."

"Ambil mobil, saya mau ke hotel sekarang," titah Judas.

Anak buahnya itu bergegas menjauh menuju tempat parkir mobil. Sembari menunggu, Judas menghubungi Josh.

"Ya, Tuan." Suara berat di seberang sana terdengar serak.

"Kamu sudah tidur? Maaf mengganggu. Tolong selidiki nomor yang tadi kupinjam untuk meneleponmu. Kabari aku besok."

"Baik, Tuan."

Judas menutup panggilan teleponnya. Tubuh lelah, tapi dia merasa belum tenang jika belum ke pabrik. Begitu mobil tiba di depannya, dia segera masuk dan memerintahkan anak buahnya itu meluncur menuju pabrik yang terbakar. Judas ingin mengecek sendiri keadaan pabrik tersebut.

Tiba di pabrik, Judas langsung menuju gudang yang terbakar. Cukup parah. Dua gudang ludes terbakar. Namun, tidak masalah. Kerugian itu tidak seberapa dengan penghasilan Judas. Sekarang, hal terpenting adalah menemukan pelakunya.

Judas melangkah menuju ruang CCTV. Kepala keamanan menunjukkan beberapa hasil rekaman terkait insiden kebakaran. Tampak sekitar delapan orang berpakaian serba hitam menyiramkan cairan lalu membakar di beberapa titik yang berbeda. Mereka semua mengenakan topi dan masker yang menutupi hampir seluruh wajah mereka. Sulit untuk mengenali mereka.

"dasar orang-orang nekat. Berani sekali mereka mencari gara-gara denganku." Rahang Judas tampak mengetat, geram memandangi hasil rekaman yang terpampang di layar.

"Kalian bodoh, membiarkan orang-orang itu masuk dan lolos." Judas menendang tulang kering kepala keamanan dengan keras. Pria itu langsung jongkok memegangi kaki sambil meringis kesakitan.

Judas menendang dada orang itu hingga jatuh terjengkang. Belum reda sakit di kaki, sekarang sudah ditambah di bagian dada. Masih belum puas, Judas beberapa kali menendang pria yang sudah telentang tak berdaya itu. Perut, wajah, kaki, semua ditendang sembarangan oleh Judas untuk melampiaskan kesal.

"Untung saja gedung putih tidak terbakar. Kalau sampai itu terbakar, kubunuh kalian semua!" teriak Judas marah.

Mereka memang biasa menyebut gudang narkoba di sana dengan istilah gedung putih. Memang bangunannya berwarna putih. Pintu otomatis dan serba canggih dipasang di sana untuk memastikan keamanan. Terletak di bagian paling belakang area pabrik, tidak sembarang orang bisa mendekati. Ada satu gerbang khusus, dijaga dengan ketat oleh beberapa pasukan bersenjata.

avataravatar
Next chapter