1 Pernikahan

Malam ini, pintu kamar kontrakan terlihat lesu. Begitupun dengan wajah Joyo yang baru pulang dari kiosnya di Taman ria, Monas. Sepanjang waktu ia di luar, tak satupun karya ukirnya terjual. Terpaksa malam ini lagi-lagi mengulang makan angin. Tapi sang istri yang setia menyambutnya pulang tak pernah jemu membawakannya senyuman disela air putih hangat yang dihidangkan.

"Kok baru pulang to mas?" Sapa Wati, istrinya yang sudah tujuh tahun dinikahi Joyo. Kini ia berhadapan dengan suaminya, sang kesatria dari desa tetangga di rumahnya.

"Iya, tadinya ku kira setelah kios-kios lain sudah tutup akan ada orang yang bakal membeli barang satu saja. Ternyata tidak. Perasaanku yang menyuruhku untuk bertahan lebih lama sedikit lagi. Ya, jadinya aku pulang lebih malam." Lalu Joyo membakar rokoknya yang di dapatkan dari berhutang. Hutangnya tak pernah alfa dari catatan si penjaga warung. Sambil menatap jam dinding ia memutarkan waktu pada jarum-jarum ke belakang, ke ingatan, saat pernikahan mereka.

*

Joyo dan Wati, adalah sepasang suami istri yang menikah tanpa proses pacaran terlebih dahulu. Begitu saling bertatapan, seminggu kemudian Joyo memberanikan diri untuk melamar. Dengan uang yang lumayan, ia berhasil menyingkirkan saingan-saingannya. Karena terhitung banyaknya lelaki yang mau pada Wati. Jika ditanya kepada Wati, kenapa kamu memilih Joyo? Padahal ia kan orangnya semrawut, memakai kalung sebesar jam dinding, dengan gelang yang berjubel, tatoan, serta gondrong pula. Tentu jawabannya akan tidak tau, karena hati yang menuntun.

"Ini, baru cinta sejati! Ketika hati yang berbicara, bibirmu tak kuasa menahan kata iya." Gelegar suara pak kades desa Sosoran, kabupaten Temanggung itu. Suaranya memecah bujukan-bujukan dari para pesaing Joyo yang saat itu ada empat orang tengah duduk di ruang tamu.

"Loh, gimana to pak kades? Kok bapak malah memberi peluang untuk Wati menerima tawaran Joyo? Sudah jelas aku yang lebih dulu, aku lebih kenal akrab, toh aku lebih sugih." Ucap Sapto. Lelaki usia dua puluh tujuh tahun, berbadan gemuk namun tidak cukup tinggi itu anak juragan beras dari desa Kandangan yang saat ini tengah merintis usaha ternak dan pemotongan ayam.

"Heh, Le! Eling, sugih tanpo bondho, digdoyo tanpo aji. Trimah mawi pasrah, sepi pamrih tebih ajrih. Kamu itu kan baru merintis, loh apa bedanya dengan Joyo? Dia juga sama. Eh tapi ada bedanya, kamu ini lebih tua dari Joyo." Balas pak kades yang dari gaya bicaranya terlihat berkharisma serta bahasa menunjukkan bahwa ia sosok pemimpin yang sebenarnya.

"Tapi, ini adalah soal realita, kenyataan. Soal masa depannya Wati pak kades."

"Mau soal masa depan, mau soal masa lalu, sampai soal masa bodoh sekalipun, yang namanya intuisi ya tetap hakikat paling agung to?"

"Halah pak kades ini, terbiasa berpidato jadi model bicaranya erat seperti ini, padahal dalam membahas pernikahan untuk si Wati."

"Ya, sekarang begini. Sampeyan-sampeyan sudah mendengar sendiri to keputusannya Wati? Kalo sudah mendengar yaudah, nrimo. Tur cinta itu ndak bisa dipaksa. Lagi saya salut sama Joyo, pak Ahmad, Bu Iffah. Baru dia berbicara ingin menikahi Wati tapi sudah bikin heboh. Apalagi kalau sudah menikah beneran."

Wajah kecut terpancar dari para calon yang melamar Wati. Hingga satu persatu mereka pamit pulang.

"Hati-hati kalian, jangan menyimpan dendam, karena itu akan merugikan kalian sendiri. Jadi orang itu yang nerima, kalo belum waktunya sekarang, ya masih ada waktu selanjutnya. Kalo bukan Wati, masih tiga milyar lebih wanita di dunia." Teriak pak kades kepada para calon yang sudah mulai menjauh dari rumah Wati.

Sementara Wati masih terdiam memikirkan kejelasan dari Joyo. Dalam hatinya ia bingung. Perasaannya campur aduk, rasa bahagia pasti karena cinta pada pertemuan pertama. Beberapa jam dalam satu hari bersama pada sebuah acara, lalu Joyo meninggalkan kalimat tanya, "Will you marry me?" tapi disisi lain ia mempertanyakan kejelasan itu. Hatinya serasa ingin menuntut Joyo dengan sigap, "Ayo, tanggung jawab! Aku sudah sangat siap menikah denganmu! Cepat temui aku dan tepatilah janjimu seperti seorang kesatria sejati!"

Bagaimana tidak bimbang, Joyo pergi meninggalkan Wati di hari itu dengan percaya diri, "Tunggu seminggu lagi, aku akan datang." Tanpa meminta jawaban darinya, atau meminta waktu Wati untuk menjawab, Joyo berlalu pergi, balik ke rumahnya dengan sepeda ontel.

"Yasudah kalau begitu saya pamit diri dulu ya, pak Ahmad dan Bu Iffah. Sudah sore saya waktunya mandi. Apabila Joyo datang lagi, segera datangi saya, saya akan membantu mencari segala keperluan pernikahan warga saya, sampai mencari penghulu." Kata pak kades yang sudah memakai sepatu hendak pergi.

"Pokoknya, ayah dan ibumu sangat mendukung keputusanmu." Ucap pak Ahmad dan Bu Iffah yang saat itu berdiri di hadapan Wati, di hadapan pintu yang terbuka.

"Enggeh, Yah, Bu."

*

Seminggu kemudian, Joyo datang membawa cinta dengan rasa percaya dirinya yang sudah ia tabung tujuh hari lamanya. Dengan mengenakan celana jeans dan kemeja gaya orang Jakarta yang formal untuk bertemu seseorang, ia mengetuk pintu rumah Wati pagi-pagi. Sebelum adzan subuh berkumandang. Pintu yang sepertinya juga masih tertidur pun nampaknya kaget dengan ketukan Joyo, suaranya terdengar membangunkan Wati. Dengan sempoyongan dan masih menguap sambil mengucek mata Wati membuka pintu.

"Aku sudah siap, bagaimana jawabanmu?" tegas saja Joyo menembak Wati.

"Em, a, emmm itu." Wati yang kaget dengan kata-kata yang menyerang perasannya itu. Karena tidak diduga Joyo yang datang pagi-pagi sekali, belum genap pukul lima.

"Apa? A em a em. Kamu sudah bicarakan dengan orang tuamu?"

"Maaf mas, aku kaget. Kamu datang pagi sekali. Sudah, sudah aku bicarakan, mereka setuju." Wati terlihat merapikan rambut, berusaha semaksimal mungkin mempercantik diri dalam kondisi mendesak dan terhimpit tanpa cuci muka.

"Jelas aku datang pagi, sebab katanya rezeki datang pagi hari, dan kalo kesiangan nanti dipatok ayam "

"Hehe." Wati hanya menjawab dengan tertawa.

"Yasudah, aku siap-siap. Menjemput orang tuaku. Tolong bantu aku dengan membangunkan orang tuamu. Hari ini, kita jadi."

"Mengapa kau tidak menanyakan dulu padaku, aku mau atau tidak?"

"Oh iya. Tadi aku sudah bertanya, aku bertanya sudah dua kali. Tidak ada jawaban darimu, jadi ku simpulkan saja mau."

"Hahaha kamu ini memang semrawut ya."

"Aku sudah lebih rapih."

"Apa orang-orang seni selalu begini ya?"

"Intinya orang seni punya cara tersendiri untuk mencintai."

"Seperti yang kamu lakukan ini?"

"Sttt ini hanya pemanasan."

Suara pintu dari kamar sebelah TV pun terbuka.

"Ada siapa Wat?" terdengar suara pak Ahmad bertanya. Wati menoleh dan mengatakan bahwa yang datang adalah Joyo. Dan ketika Wati ingin menanyakan apakah Joyo mau bertemu dengan orang tuanya dulu atau tidak, ternyata Joyo sudah kabur. Wati keluar teras dan melongok jalanan, terlihat Joyo mengayuh sepeda ontelnya dengan cepat.

Wati tertawa kecil dalam hati, "Haha dasar, cara mencintaimu memang penuh seni."

*

Waktu sudah malam, mereka resmi menjadi PASUTRI pasangan suami istri. Wati secara resmi di boyong oleh Joyo ke rumahnya, ke desa Sanggrahan. Sebenarnya, jarak rumah mereka tak jauh, hanya membutuhkan waktu tempuh empat puluh lima menit jika menggunakan bis. Mereka tetangga desa. Satu bulan berlalu, karena mereka merasa tidak enak tinggal bersama orang tua akhirnya mereka memutuskan agar Wati tetap tinggal di rumahnya sendiri, di desa Sosoran, sementara Joyo merantau ke Jakarta ikut kakaknya membuat kaligrafi menggunakan tembaga. Ada perasaan khawatir jelas dalam diri Wati, tapi selalu berhasil ia tutupi dengan motivasi baik yang dia ciptakan sendiri bahwa kesatrianya tidak akan pernah berkhianat, "ah, anak seni memang begitu, bekerja keras mempertahankan hobinya dan memperjuangkan cita-citanya. Walau dia semrawut dengan gaya seenaknya, tapi soal cinta aku yakin dia selalu menjaga." Akhirnya, doktrin-doktrin yang berbalut doa itupun berbuah manis. Sebelum lebaran, Joyo kembali ke peraduan, ke pangkuan. Membawa kabar, bahwa setelah lebaran, Wati dipersilahkan ikut ke Jakarta.

"Aku sudah menyiapkan tempat untukmu berteduh dari hujan dan panas. Tapi tak layak disebut istana."

Karena Wati bukan orang yang membayangkan muluk-muluk, ia amat merasa senang dengan ajakan suaminya. Sementara Joyo masih asyik bercakap-cakap dengan keluarganya, Wati menyibukkan diri dengan membayangkan dirinya. Di pikirannya adalah bahwa ia akan menjadi istri yang sesungguhnya, menabur senyum setiap harinya, menjadi bongkah semangat setiap kali Joyo ingin meraih asa, menjadi penenang kala kerasnya lelaki bertarung dengan kerasnya ibu kota sejak zaman Belanda yang sudah banyak ia baca dari buku-buku semasa sekolahnya. Betapa hatinya tak sabar menjadi istri yang mulia.

Setibanya menginjakkan kaki di Jakarta, hati dan bibir Wati tak henti-hentinya mengucap kata "Wah." Pada setiap matanya yang melihat kemacetan, melihat gedung-gedung tinggi, melihat gelandangan, orang-orang yang berlalu lalang termasuk para pedagang, mobil-mobil kinclong yang berbaris jadi satu dengan bis kota, sampai pada ketika ia melihat rumah-rumah dempet yang menjadi wilayah tempat tinggalnya. Dan keramaian manusia yang menumpuk di dalam satu rumah kontrakan, terbagi menjadi beberapa kamar. Tidak satupun kata ia keluhkan, tidak satu perasaan ia kecewa, dan tidak sampai hati ia menuntut kaya. Kesetiaan, dan konsistensinya berumah tangga tak pernah luntur sampai pernikahan mereka berusia tujuh tahun. Di Jakarta, ia belajar banyak memahami suaminya, banyak belajar memahami Bhineka, banyak belajar memahami kerasnya ibu kota dan orang-orang yang memperjuangkan cita-cita dengan bakat kemampuannya.

avataravatar
Next chapter