webnovel

ROMANSA DI SEKOLAH

Kini giliran Raya yang mengajar di kelas Devan, entahlah kenapa hatinya tidak seperti biasanya. Jantungnya berdebar tak menentu bahkan sebelum masuk ke dalam. Tapi Raya harus tenang. Tak boleh menunjukkan perasaan malunya sedikit pun.

Raya berjalan ke kelas dengan sangat elegan. "Hai, semua. Dua hari yang lalu Ibu memberikanmu tugas apa? Sepertinya ada dua puluh soal ya? Silakan dikumpulkan dulu."

Sang ketua kelas langsung bergerak untuk mengambil kertas tugas teman-temannya. Terlihat Devan malah kebingungan. Hm, pasti anak itu tidak mengerjakan tugasnya. "Siapa yang belum mengerjakan tugas?"

Devan mengangkat tangannya. "Maaf, Bu. Tugas saya ketinggalan di rumah. Saya lupa membawanya padahal sudah disiapkan di atas meja belajar." Devan nyengir.

Raya menghampiri Devan yang bersikap santai. "Berikan telingamu. Kamu harus disentil."

Dengan senang hati Devan menyodorkan telinganya. Alih-alih menyentil dengan keras, tangan Raya malah lebih terkesan mengusapnya sambil di tarik sedikit. "Lain kali jangan diulangi ya. Sekarang hukumanmu berdiri di luar kelas. Jangan masuk sebelum aku memanggilmu."

"Beres, Bu." Devan mengerling manja sambil keluar kelas.

Kemudian pelajaran pun dilanjutkan seperti sediakala. Raya mulai menjelaskan di depan kelas. Baru saja sepuluh menit berjalan, Devan membuat ulah dengan terus-menerus mengintip Raya dari jendela. Dengan senyuman yang khas terkembang di wajahnya.

Raya yang masih sibuk menerangkan mata pelajaran pagi itu, dibuat salah tingkah. Wanita mana yang tak malu jika dilihat terus-terusan oleh kekasihnya yang tampan, menganggap seolah mereka adalah pusat perhatian. Raya juga begitu. Hatinya meleleh seperti cokelat yang dipanaskan.

Satu jam berlalu Ray merasa kasihan pada Devan yang sedari tadi berdiri di luar kelas. Dia pun menghampirinya.

Devan langsung menariknya. "Sayang, nanti pulangnya aku kita barengan, ya?"

Raya menengok ke kiri dan ke kanan. "Devan, jangan panggil aku seperti itu di sekolah. Kamu nggak tahu ya di sini rawan mata-mata jahil. Kalau mereka sampai tahu hubungan kita, bisa gawat."

"Ish, nggak ada yang curiga kalau kita punya hubungan khusus. Mereka 'kan tahunya hubungan kita kakak dan adik ipar."

"Iya, juga ya." Raya menggaruk kepalanya. "Tapi kita tetap wajib waspada."

Devan meletakkan jari telunjuknya di bibir Raya. "Hus, jangan bawel. Kita sudah membahasnya ratusan kali loh. Sudah sana, kamu mengajar muridmu kan?"

"Eh, kamu juga ikut masuk. Masa hukumanmu berakhir. Lagian kamu kenapa tidak mengerjakan tugas?"

"Aku sudah mengerjakan, Sayang. Hanya saja aku lupa untuk mengambil buku tugasnya. Begitu," kilah Devan yang memang tak sengaja melupakan buku tugasnya.

"Ya, sudah masuk saja. Nanti kakimu sakit kalau berdiri terus." Raya masih mengkhawatirkan keadaan Devan habis sakit kemarin.

"Baik, Bu."

Raya pun kembali ke dalam kelas dengan kekasihnya. Lalu melanjutkan mengajar hingga pelajaran usai. Dia sedikit melirik ke Devan yang mengerlingkan mata ke arahnya. Saat itu Raya mau menghentikan langkahnya dan berbalik memeluk pria itu. Tapi apalah daya, mereka benar-benar dalam posisi yang sulit.

***

Jam istirahat berbunyi, Raya sudah bersiap untuk mengerjakan tugas dari Pak Danu. Hm, orang itu memang tak pernah bosan membuat Raya pusing dengan tugas-tugas yang menyiksa.

"Bu, ini saya bawakan cemilan untuk Anda. Silakan dinikmati." Devan seperti biasa menyodorkan makanan untuk dalam stereofom dan sekotak minuman.

Raya mengulas senyum letihnya. "Terima kasih."

"Kenapa mukamu begitu. Hm, si gendut Danu pasti memberimu banyak pekerjaan ya?" Devan mengambil kursi dan duduk di sebelah Raya. Dilihatnya pekerjaan itu. "Sini, biar aku yang mengetik. Kamu makan saja dengan tenang. Aku tahu kamu lapar 'kan?"

Raya mengangguk.

"Kalau begitu makanlah." Devan mengambil alih pekerjaan Raya. Tangannya dengan lincah mengetik beberapa lembar hanya beberapa menit saja.

Raya dibuat melongo dengan kecepatan tangan Devan. Bahkan dia memeriksa lagi layar komputer di depan, ternyata tidak ada typo sedikit pun. "Gila! Aku sanksi kalau tanganmu itu bukan robot. Cepat sekali mengetiknya?"

Devan tertawa. "Ini karena aku terbiasa dengan semua kegiatan mengetik. Misal pakai memejamkan mata pun aku bisa. Pokoknya pacarmu ini serba bisa loh."

"Iya, deh. Apa pun aku iyain aja asal kamu senang." Raya memakan batagor kesukaannya. Devan memang paling tahu cara memanjakan pacarnya.

"Bu, saya tadi mencari Anda di kantin sekolah. Eh, ternyata malah di sini. Bu Raya, susah makan belum?" tanya Pak Wilson, terlihat jelas dia sedang melakukan pendekatan dengan wanita itu.

Raya seolah bingung, untuk apa dia mencarinya. "Bapak, mencari saya? Ada urusan apa?"

Devan ikut nimbrung. Dia tak mau Pak Wilson sampai berusaha mendekati kekasihnya.

"Saya hanya mau mengajak Anda makan bersama. Bolehkan? Bagaimana kalau nanti sepulang sekolah kita pulang bersama?"

Ish, apa-apaan ini. Beraninya dia mengajak Raya di saat sebelahnya sudah ada pacar yang menunggu, batin Devan memaki. "Oh, ya Bu Raya. Tadi saya lupa menyampaikan kalau kakak saya, meminta bertemu di rumah sekalian makan siang. Anda tak mungkin menolak pacar sendiri 'kan, Bu?"

Raya berubah semringah. "Oh, tentu saja tidak. Baiklah nanti kita pulang bersama. Pak Wilson, maaf sekali saya tidak bisa ikut dengan Anda. Karena nanti siang say sudah ditunggu oleh pacar saya. Sekali lagi saya meminta maaf."

"Loh, bukannya Ibu Raya sudah dikabarkan putus dari Pak Claytone yah?" Mata Pak Wilson menyipit seolah menyelidiki sesuatu.

"Putus? Maaf, Bapak dapat informasi dari mana? Kakak saya belum putus dari Ibu Raya. Mereka sampai sekarang masih baik-baik saja kok. Anda yang salah mendengar kabar. Zaman sekarang rawan berita hoax, Pak. Jadi jangan asal percaya pada berita apa pun juga," sergah Devan yang mulai kesal jika pacarnya diganggu pria lain.

"Oh, maaf kalau saya salah. Ya sudah, saya permisi dulu, Bu. Terima kasih atas waktunya." Pak Wilson pun segera bergegas pergi dari sana.

Ah, lega sekali. Devan tak perlu berdebat pendapat dengan guru olahraga baru itu. "Akhirnya aku terselamatkan. Terima kasih, ya."

"Aku hanya tidak suka kamu dekat-dekat dengan lelaki mana pun. Pak Wilson seperti dia tergila-gila padamu. Jangan menerima ajakannya apa pun itu," geram Devan masih menahan emosi.

"Iya, aku juga tak pernah menerima ajakannya kok. Kamu tenang saja. Hatiku hanya untukmu," bisik Raya di kalimat yang terakhir.

Seketika hati Devan mencair. Dicubitnya pipi merah Raya. "Imut sekali. Coba kamu bilang sekali lagi."

"Ih, sorry enggak ada siaran uangnya." Raya mencebik.

"Sekali lagi, please. Aku mohon, Sayang."

"Hus, nanti ada yang mendengar pembicaraan kita." Raya untuk kesekian kalinya celingukan lagi.

"Makanya bilang dong."

Raya menatap Devan lekat. "Aku mencintamu, hatiku hanya untukmu. Dah puas?"

Devan mengangguk. Andai saja ini di luar jam sekolah, pasti dia sudah memeluk wanita itu.

Next chapter