1 Malam Pertama

"Saya mandi dulu, ya, Sayang," goda Pimpim sambil melepaskan kancing bajunya.

"Geli gue ngedengernya, Pim!" umpat Sakinah.

"Pinjem handuknya. Punya saya masih di rumah." 

Badan Pimpim yang cukup berotot membuat mata Sakinah tak berkedip memperhatikan. Perempuan berbulu mata lentik itu terpukau, tetapi rasa takut juga menyelimuti. Seandainya Pimpim tiba-tiba melakukan sesuatu yang sedikit di luar batas, mungkin seperti melompat ke arahnya, maka dipastikan dirinya akan kalah tenaga.

Sakinah bimbang, Sakinah menimbang. Dia tertanya pada diri sendiri begitu Pimpim sudah berada di kamar mandi. "Gue perlu ganti baju nggak, ya?"

Detik berlalu, menit berganti, akhirnya Sakinah pun memutuskan untuk mengganti gaun putih kebesaran para pengantin yang dipakainya dengan sesuatu yang lebih nyaman.

Tak berapa lama, pintu kamar mandi berderit, menandakan Pimpim akan keluar. Sakinah sedikit terkejut. Perempuan berlesung pipi itu baru selesai memakai daster. Dengan cepat Sakinah naik ke atas ranjang dan menyelimuti dirinya.

Pimpim menggeleng pelan menyaksikan kelakuan Sakinah. Senyum tersungging di bibirnya yang agak menghitam karena rokok.

Sakinah memojok di tepi ranjang, memunggungi dinding. Namun, sekali lagi matanya terus melihat ke arah Pimpim yang hanya berhanduk.

Pimpim berlalu ke arah tas yang tergeletak di lantai, dekat pintu. Handuk yang tak seberapa besar membuat pergerakannya terbatas, atau pahanya akan kelihatan.

"Lo jalan kayak nenek-nenek," ejek Sakinah.

Pimpim mengeluarkan sebuah celana tidur dari tas, lalu berusaha memakainya.

"Lo gila? Jangan pasang di sini!" sergah Sakinah.

Pimpim berhenti, kemudian berputar menghadap Sakinah. "Kenapa emangnya?"

"Gue nggak mau liat!"

"Bohong," ujar Pimpim, "palingan kamu penasaran. Kaaan?"

"Penasaran dari Hongkong. Kayak bagus aja."

"Ini ukirannya beda, loh. Khas Eropa."

"Gue nggak mau tau!" jerit Sakinah.

"Yodah, tutup mata aja. Ribed amat."

"Kalo gue tutup mata, lo jangan ambil kesempatan, ya. Awas lo, jangan deket-deket!" ancam Sakinah. Mimik wajahnya mengguratkan keseriusan.

"Diih ... ge-er amat kamu. Saya juga malas mau dekat-dekat. Kamu itu bau ketek." Pimpim menunjuk Sakinah. Celana yang baru masuk satu kaki, jatuh.

"Wooi!"

"Lah, emang, kan? Julukanmu dulu itu Sakinah Burket." Pimpin tertawa kecil.

Sakinah semakin sepaning. Giginya ditekan. Alisnya bertaut.

"Masih ingat, kan, kenapa julukan itu diberikan padamu?" lanjut Pimpim.

Kemarahan Sakinah memuncak. Dibuktikan dengan sebuah bantal yang dia lemparkan ke badan Pimpim. Sayangnya, bantal tersebut justru membuat handuk terlepas.

Detik kemudian, Sakinah menjerit keras. Suaranya melengking. Pimpim dengan cepat meraih handuknya.

"Ssst, diaam!" Pimpim meletakkan telunjuk di depan bibir. Dirinya khawatir jika siapa pun yang mendengar teriakan Sakinah akan salah paham.

----------

Di kamar, kedua orang tua Sakinah yang awalnya bersiap tidur, terkejut ketika mendengar suara anaknya menjerit. Mereka membuka mata dengan cepat, lalu bersitatap sekian detik.

"Sakinah, kok, teriak-teriak, Bang Sat?" Flo bersiap turun dari ranjang, tetapi lengannya ditahan Satoshi.

"Mau ke mana?" tanya Satoshi melihat gerak-gerik istrinya yang mencurigakan.

"Mau liat keadaan Sakinah. Mungkin dia perlu tutorial," sahut Flo.

"Tutorial ndasmu! Lagi pula, Bunda dulu juga sama."

"Kapan?" Flo menepuk lengan suaminya, meminta dilepaskan. "Aku mah kalem. Nggak teriak-teriak," lanjutnya sambil menggeleng.

"Kalem mbahmu!"

"Tapi ...."

"Udaaah! Biarin aja mereka, kita urus urusan kita aja," ujar Satoshi sambil tersenyum nakal. "Yuk!" 

"Yuk apaan, Bang Sat? Ini tuh malam pertama anak kita. Bukan kita!"

"Ya, gapapa. Sekalian mengenang masa lalu." Kamar pun berubah gelap sejurus tangan ayah Sakinah menekan saklar.

---------

Di saat bersamaan, Dya terlihat gusar. Sesekali dirinya keluar kamar untuk mengintip ke rumah depan. Khairul yang sedang membaca buku sambil berehat di atas ranjang pun dibuatnya merisau. Ayah Pimpim itu kemudian meletakkan buku beserta kacamatanya ke atas nakas, lalu menyusul sang istri.

"Dinda lagi ngapain, sih?"

Dya menutup gorden yang tadi disibaknya sedikit demi mengintip keadaan. "Nggak ada apa-apa, Bang Khai. Aku cuma khawatir."

"Khawatir apa?"

"Bisa nggak anak kita itu ngalahin anak si perempuan gila itu?" Dya balik bertanya ke suaminya.

"Hei, Tudung Saji! Anak kita bukan lagi tanding gulat. Nggak ada acara kalah dan menang!" Khairul menarik tangan istrinya untuk ikut. "Kita tidur aja. Besok kan harus nyiapin acara untuk menyambut menantu baru."

---------

"Kamu bisa diem, nggak, sih?" tanya Pimpim. "Ntar yang lain dengar, gimana? Nggak malu?"

"Lu yang harusnya diem!" Sakinah mendengkus kesal. "Dari dulu nggak berubah. MESUM!" 

"Kenapa jadi saya? Kamu yang bikin handuk saya terlepas. Atau kamu emang sengaja melempar bantal itu dengan tujuan supaya saya ...." Pimpim menggantung kalimatnya.

"Supaya apa? Jangan ngaco!"

"Ya kali. Karena kamu udah nggak sabar kepingin kita ...." Pimpim memberi gambaran lewat gerakan tangannya.

Melihat hal tersebut, Sakinah kembali menaikkan suaranya, menyebutkan nama lelaki yang baru tadi siang resmi menjadi suaminya. "Lo gila, Pimpiiim ...!"

-----------

Pernikahan Pimpim dan Sakinah adalah ketidaksengajaan. Tetapi begitulah takdir, selalu memberi kejutan. Hal yang dipikir Sakinah dapat digenggamnya hingga akhir, nyatanya lepas dalam sekelip mata. Berganti dengan sesuatu yang dikiranya sebagai sebuah kemustahilan.

Lantas, bagaimana semua ini bermula? Untuk menjawab itu, kita harus kembali ke masa hampir sebulan yang lalu.

avataravatar