22 MATALANGI

Hampir enam bulan berlalu sejak adik-adikku di BEM mengambil pendampingan pendidikan di Kebun Sayur. Tidak banyak perubahan yang terjadi di Kebun Sayur. Hanya pernah sesekali terjadi kegaduhan.

Salah satunya saat seorang teman Pak Rohmat — yang mengaku paralegal di tempat Wira bekerja — datang ke Kebun Sayur. Waktu itu aku, Nan, Laras dan Kak Gigih sedang berkunjung.

Lelaki bernama Darmono itu membawa konsep sekolah formal ke Kebun Sayur. Dia berbicara panjang lebar tentang perlunya SMA dan SMK di Kebun Sayur. Dia mengincar ruang belajar baru sebagai sekolah formal.

Lalu dia menawarka pendamping pekerjaan dan gaji yang layak sebagai guru. Mulailah dengan cekatan dia hitung ongkos dan biaya makan pendamping selama di Kebun Sayur. Lalu kembali pada kesimpulannya sendiri, kalau sudah sekolah formal, pendamping tidak bekerja sia-sia, tapi akan punya penghasilan tambahan.

Jelas Naldi murka dengan kata-katanya. Begitu juga Meisya dan Jonathan. Pendampingan pendidikan di Kebun Sayur sudah jadi program pemberdayaan masyarakat BEM. Tidak sedikit pun terbersit di benak pendamping untuk mengambil keuntungan dari pendampingan yang dilakukan.

Semua pendamping yang ada di Kebun sayur murni ingin berbagi dan belajar. Lagipula, apa pentingnya bangun sekolah formal di Kebun Sayur? Toh anak-anak Kebun Sayur juga sudah mendapat pendidikan formal. Kembali ke prinsip dan tujuan semula, pendampingan pendidikan di Kebun Sayur diarahkan pada pendidikan kritis yang kontekstual.

Pendidikan yang kami upayakan adalah pendidikan yang membuat anak-anak Kebun Sayur mampu bertahan di tengah kemelut sengketa tanah yang tidak kunjung berakhir. Pendidikan yang tidak menjadikan anak-anak asing di tengah lingkungannya sendiri. Pendidikan yang tidak perlu dibebankan biaya seragam, beli buku, sumbangan uang gedung, ataupun gaji guru.

Perdebatan tidak bisa dihadiri. Pak Darmono yang awalnya terlihat simpatik berubah jadi kasar dan marah. Aneh sekali. Dianggapnya pendamping itu bodoh, karena tidak mengerti hitung-hitungan biaya pendidikan.

Seakan kepandaian anak-anak Kebun Sayur hanya sebatas komoditas yang bisa ditakar dalam kelipatan Rupiah. Kak Gigih tertawa tak habis-habisnya, melihat tingkah si Pak Damono itu.

"Wahahaha….dikiranya mahasiswa itu miskin semua kali ya? Langsung setuju begitu diiming-imingi uang. Dia belum tahu, mahasiswa yang datang ke Kebun Sayur itu anak-anak orang berada. Mereka tidak punya masalah dengan materi. Mereka hanya ingin hidupnya lebih berarti."

Usut punya usut, ternyata Pak Darmono ini memang bermasalah. Wira mengklarifikasi langsung dari Amerika. Memang Pak Darmono pernah jadi paralegal, tapi sudah diberhentikan, karena ketahuan tidak beres dan punya kepentingan pribadi. Sejak saat itu, adik-adikku lebih selektif menerima orang-orang — yang mengaku aktivis — di Kebun Sayur. Bangga sekali aku dengan adik-adikku ini.

Apalagi sekarang jalanan di dalam Kebun Sayur semakin rapi. Rumah-rumah mulai dibangun permanen. Sepertinya isu penggusuran benar-benar lenyap dimakan waktu. Anak-anak kecil berlarian dengan riang tanpa gangguan preman ataupun teriakan frustasi orang dewasa.

Sawah di dekat gerbang masih ada. Warung di seberangnya juga masih ada. Tidak banyak berubah. Hanya sedikit ke dalam, ada beberapa bangunan baru yang berdiri. Tidak jauh dari pos besar, dekat pohon jengkol, tiga toilet umum sudah selesai dibangun.

Kabarnya ini hasil perjuangan Jonathan, yang mengajukan permohonan dana CSR untuk membangun MCK di Kebun Sayur. Syukurlah, kalau dr. Satya dan suster Rana melihat ini, tentu mereka senang sekali. Satu masalah kebersihan dan kesehatan di Kebun Sayur akhirnya menemukan solusi.

Ruang belajar baru yang dulu dibangun dengan patungan biaya dan bahan bangunan dari warga juga sudah bagus. Bangunannya kokoh dan cukup luas. Anak-anak bisa belajar lebih leluasa di sini. Bagian dalam ruang belajar baru itu dihias huruf-huruf besar dari karton: MATALANGI.

"Matahari, bintang dan pelangi…!!! Bagus kan?" Mata Meisya berbinar-binar.

Wajar dia pamer. MATALANGI terlihat begitu meriah dan ramai. Tidak hanya ramai dengan anak-anak Kebun Sayur, tapi juga mahasiswa FH yang berebut jadi pendamping. Kata Naldi, mahasiswa yang jadi pendamping semakin banyak. Tidak hanya anak-anak BEM.

Kebetulan hari ini tidak hanya aku yang singgah di Kebun Sayur. Nan juga datang. Katanya ada yang ingin dia berikan. Setelah beberapa bulan tidak bertemu, aku merasa sedikit canggung. Kami hanya sebentar bermain di MATALANGI. Aku menemui anak-anak di Kelompok 5 dulu. Mengunjungi warga, lalu pamit bersama Nan.

"Mbak…Bang Nan kan sudah mau nikah…sudah gak available." Hardi menggodaku.

"Tapi Dia tetap tukang ojekku," jawabku cuek. Aku mengajak Nan segera pergi. "Ayo tukang ojek, nanti aku terlalu malam."

Nan hanya diam dan tertawa kecil. Hari ini dia lebih banyak diam. Aku naik ke jok belakang motor Nan. Kami keluar dari gerbang Kebun Sayur yang penuh kenangan. Waktu di Kebun Sayur, cuaca cerah.

Entah kenapa, di tengah jalan malah hujan deras. Ah, semesta senang sekali bercanda. Menggiring aku dan Nan berteduh di teras sebuah supermarket.

"Kita berteduh dulu ya, Rei." Nan memarkir motornya. Mengajakku berdiri di bawah atap.

"Tentu, hujan begini mana bisa jalan?" Aku menerawang. "Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia."

Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. "Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?"

Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. "Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?"

Nan menengok dan menatapku. "Kurasa begitu."

Aku tersenyum. "Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan."

Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

"Kau bilang ada yang harus kita bicarakan. Berkali-kali kau menelpon dan mengirim pesan..Kau bilang itu tentang kita? Sesuatu yang bisa membuat perang di Kuruseta bangkit kembali. Tetapi aku terlalu takut untuk mendengar apa yang ingin Kau katakan. Sekarang bicaralah!"

Nan tertawa ala Joker. Seperti sedang mengejek sesuatu. "Tentang itu tidak perlu lagi dibahas, Rei. Sudah bukan waktunya. Beberapa hal lebih baik tidak diungkapkan. Mungkin semesta memang melarang kita untuk bicara."

Aku mengerti maksud Nan. "Iya Nan, sebaiknya memang tidak bicarakan. Jika semesta tidak memberi restu, tandanya aku memang tidak perlu tahu."

Nan bersandar pada tembok putih yang lembab. "Aku ingin memberitahu Rei berita yang lain lagi. Aku akan menikah dengan Rania."

Aku juga bersandar di tembok yang sama. "Aku tahu."

Nan tesenyum kecut. "Sedikit sekali orang yang mengerti diriku dan Rei salah satu perempuan yang mengerti aku dengan sangat baik."

Hujan berubah jadi gerimis, aku tidak tahu harus berbuat apa. "Perempuan di sisimu itu yang terbaik. Dia akan menemanimu dan tidak pernah bosan memahami dirimu. Kadang aku iri pada Rania. Dia punya cinta yang begitu besar dan tulus. Aku tidak punya itu. Setidaknya…sampai sekarang belum. Aku…aku ingin sekali bisa mencintai seorang lelaki, seperti Rania mencintaimu."

Nan tersenyum tipis. Kian menenuduk. "Jadi…Rei akan…."

Aku menyela. "Akan kubakar semua kapal yang pernah kubawa berlayar — untuk singgah di pulau yang baru." Senyumku merekah. Ada harap dan doa kupanjat disela hujan.

Nan menggeleng. "Kapten hanya melepas kapal mengikuti air, saat ada perkiraan dan alirannya dapat terbaca."

Dia terdiam sebentar. Lalu berdiri tegap, menghadapku yang masih bersandar di tembok putih. "Tapi jangan khawatir, perjalanan malam biasanya dituntun bulan dan bintang."

Tubuhnya lalu berbalik arah, membelakangiku, menatap hujan yang tinggal rintik. "Rei sedang mengikuti kebebasan Rei kan? Ikutilah satu jalur perjalanan."

Aku meninggalkan tembok putih yang jadi sandaran. Mataku berkaca-kaca. "Terima kasih, Nan."

Nan mengeluarkan bungkusan dari tasnya. "Ini! Sebelum aku lupa." Bingkisan itu diberikan padaku.

"Apa ini?"

"Sesuatu yang harusnya kuberikan pada Rei sejak dulu."

Aku mengambil plastik hitam berukuran besar berisi benda berbentuk segi empat. Kuintip isinya. Ada satu bingkai foto berwarna coklat yang menghiasi foto seorang gadis.

Tampak jelas foto diambil dalam sebuah lorong panjang. Warna tembok dalam lorong berpadu dengan baju si gadis yang sedang asik memotret.

Foto itu pasti diambil tanpa sepengetahuan si gadis. Sebab, aku lah gadis itu, dan yang memotretku tanpa izin, pastilah Prana Marauleng. Selain foto diriku, di figura coklat itu, terselip kertas putih berisi beberapa bait puisi.

Hujan berhenti. Nan mengeringkan jok motornya sebentar. Aku memakai helm dan merapikan jaket. Berdua, kami menembus malam yang dingin. (TAMAT)

avataravatar