webnovel

JERITAN HATI SANG KUNTILANAK

Astrea Bulan mendatangi sebuah kampung yang lokasinya terpencil di tengah hutan. Kampung itu bernama Talu-talu. Tujuannya ke sana hanyalah untuk menguji nyali. Konon, di sana ada Kuntilanak Merah yang terkenal kejam dan suka membunuh siapa saja yang mengusik ketenangannya. Namanya Rarashati. Kabarnya lagi, Kuntilanak itu sudah mati sekitar lima puluh tahun yang lalu. Kisahnya yang tragis membuat Astrea Bulan semakin penasaran. Namun, tentu saja tidak mudah untuk menemui Kuntilanak Merah tersebut. Banyak hal-hal yang tidak diduga yang dia alami. Salah satunya, Astrea Bulan terpesat ke alam gaib dan waktu mundur lima puluh tahun dari sekarang. Apakah Astrea Bulan sanggup keluar dari dimensi lain dan kembali lagi ke zaman kini? Ikuti kisahnya dan waspadalah.

Triboy_Mustika · Horror
Not enough ratings
17 Chs

14. Tudung Saji Pacar Sang Kuntilanak

Aku tidak bisa tidur. Bang Arya di sampingku sudah seperti kerbau ngorok. Rasanya lucu sekali, tidur di sisi orang yang baru kau kenal dalam hitungan jam. Kupandangi wajahnya yang sedang mangap.

Perfect!

Bahkan tahi lalat kecil di bawah dagunya pun sama dengan yang kupunya. Mungkinkah dia ini moyangku? Atau mungkin dia yang dulu, lalu aku adalah reinkarnasinya. Mungkinkah?

"Kenapa kau melotot menatapku seperti itu? Kau mau cipok aku, ya?"

Astaga! Aku kaget, sumpah! Tiba-tiba saja Bang Arya sudah memegang kepalaku. Wajah kami begitu dekat, bisa kurasakan bau nafasnya yang mengeluarkan aroma cengkeh.

Kenapa aroma cengkeh? Ternyata di zaman ini, setiap mereka yang selesai makan kenyang, supaya napas tidak busuk, dikunyahlah sebutir dua butir cengkeh.

"Lepaskan, Bang! Bikin kaget saja." Aku berusaha melepaskan pegangan tangannya di rambutku.

"Jawab dulu! Kau mau melecehkanku, ya? Kau homo, ya?"

Ya ampun, dia benar-benar enggak punya bandrol sekali mulutnya. "Eh, Setan! Kalau ngomong jangan asal mangap, ya? Baru dipelototin gitu aja udah ngerasa paling bohay!" Aku sentakkan kepalaku hingga terlepas. Astaga. Bisa bayangkan, gak, sih?  "Mending aku tidur di lantai. Malas ngomong sama manusia purba." Kutarik bantal di kepalanya lalu mengembangkan sehelai tikar, tak lupa kutarik juga selimut tebal yang tadinya menutupi tubuh Bang Arya.

"Ya terserah kaulah. Ganggu orang tidur saja. Awas, kalau kau berani menatapku sedang tidur lagi, kucukil matamu, lalu kuinjak-injak sampai tuh mata berubah jadi asap!"

"EGP!" jawabku ketus sambil berkelumun. Udara malam ini terasa begitu dingin. Membuat tubuhku menggigil. Kasihan juga, sih, sebenarnya melihat Bang Arya tidur tanpa bantal dan selimut. Namun, gimana lagi, mulutnya itu benar-benar minta dihajar. 

Kupaksakan mata untuk terlelap. Namun, hampir satu jam mataku masih saja nyalang kayak ikan dikasih eek yang ada cabenya. Kepedesan. Sedangkan Bang Arya kembali berkeruh. Atau mungkinkah keruhnya itu yang membuatku tidak bisa tidur?

Bosan karena tidak juga kunjung tertidur, aku memutuskan untuk bangun. Kulirik Bang Arya, tubuhnya membentuk posisi nomor lima. Posisi kalau tubuh sedang diselimuti rasa dingin yang mencucuk. Kasihan. Kuambil selimut, kukelumuni dia dengan kain tebal itu.

"Istirahatlah dengan tenang, Bang. Semoga kau tenang di alam sana. Kwkwkwk." Aku capcus keluar dari kamar ini. Di luar sangat temaram sekali karena lampu yang menerangi hanyalah lampu minyak yang tergantung di dinding rumah.

Aku seperti orang buta waktu. Tidak tahu sekarang jam berapa. Apalagi di zaman ini kayaknya tidak ada jam, deh. Mungkin barang mahal di tahun segini, ya? Kalau aku hidup di tahun 2020 dibawa mundur ke lima puluh tahun yang lalu, berarti sekarang adalah tahun 1970. Wuih, keren cuy!

Namun, ternyata aku salah. Aku mendengar bunyi tik tik tik,waktu berdetik, tak mungkin bisa kuhentikan. Jam, saudara-saudara. Kulihat jarumnya menunjukkan pukul dua dini hari. Uh, pantas saja terasa begitu sunyi dan sepi. Udah selarut ini malam, dan aku masih saja terbelalak manja ulala. Apa, sih?

Lapar.

Kalau sudah masalah lambung, ada pepatah mengatakan begini, "Daripada berkelahi dengan perut, biarlah bunuh-bunuhan dengan orang." Kwkwkw, sadis 'kan, ya? Tapi memang kenyataannya begitu. Betapa banyak orang saling menyakiti agar perut tetap terisi.

Sambil jinjit aku mendekati meja makan Bang Arya yang ada tudungnya. Kuangkat tudung saji tersebut, dan terbelalak.

Tidak ada yang bisa dimakan, Guys! Selain cambung nasi yang kosong melompong.

Gimana ini? Aku sangat lapar. Perutku udah kriuk-kriuk. Coba ada Rarashati di sini, mungkin aku bisa dikasih makan enak bin nikmat.

"Kamu lapar, ya?"

Aku terlonjak hebat dan setengah memekik ketika aku mendengar suara asing di belakangku. Segera kuputar badan dan mendapati seorang nenek-nenek dengan rambut riap-riapan di depanku. Asli horor.

"Hantuuu!" teriakku sambil tiarap di lantai.

Kuntilinuuu ..., Cuy!