3 3 Memulai lembaran baru

"Nah begitu dong. Dan hari ini, Jeni Sapitri resmi menjadi calon istri dari calon pengusaha muda, Wili Azhari."

Mendengar nama ujung Wili, Jeni seakan di ingatkan pada satu nama di masa hitamnya beberapa bulan ke belakang. 'Akh, Wil. Kenapa nama belakangmu sama seperti, Mas Jefri Azhari. Bikin aku mual saja mendengarnya,' gerutu Jeni dalam hatinya. Namun, ia tetap tersenyum mendengar celoteh pacarnya itu.

Wili yang selalu ceria, humoris dan perhatian membuat Jeni sangat mengaguminya. Terlebih parasnya yang tampan juga berkulit pulit semakin menambah pesonanya. Meskipun ia tak pernah tahu asal usul keluarganya, karena Jeni sangat mengenal Wili, sosok lelaki yang bertanggung jawab dan pekerja keras.

"Wil! Belum apa-apa kok aku jadi deg-degan begini ya," lirih Jeni seraya memegang dadanya dengan telapak tangan kanan.

Wili tersenyum geli. "Masa sih, Jen? Biasalah ketemu calon mertua pasti nervous," goda Wili seraya mencubit hidung mancung Jeni.

"Ih, apaan sih kamu!"

Pasangan yang baru saja resmi pacaran itu terlihat sangat bahagia, setelah 3 tahun kebersamaan akhirnya wili mampu menaklukan hati Jeni yang awalnya terlihat dingin.

'Aku tak pernah menyangka, Wili adalah sosok lelaki yang aku impikan selama ini, kehangatannya mampu melelehkan hatiku yang telah lama membeku,' betin Jeni bahagia.

Setelah makan siang, Jeni lekas pulang ke rumahnya, sayangnya Wili tak sempat mengantarkannya karena ia masih ada yang harus di selesaikan di kampusnya mengenai skripsinya.

Setelah sampai di rumah, senyiman hangat menyambutnya dengan bahagia.

"Jen, ibu lihat akhir-akhir ini wajahmu semakin berseri saja. Semangat dan ceria," ucap Bu Karin saat Jeni membuka sepatunya di teras rumahnya.

Tersungging senyuman manis di bibir merah Jeni. "Aku sudah resmi jadi pacar Wili, Mah," ucapnya bahagia seraya memeluk tubuh wanita paruh baya yang duduk tepat di sampingnya.

Bu Karin turut serta bahagia dan membalas pelukan anaknya. "Syukurlah, Jen. Kalau kamu sudah menemukan pendamping yang baik, Mamah bahagia mendengarnya," ucap Bu Karin.

Setelah bertahun-tahun sendiri tanpa seorang kekasih, Bu Karin merasa bahagia mendengar Jeni sudah punya pasangan. Setidaknya, pil pahit yang telah ia berikan atas perceraiannya dengan Papah Jeni sedikit terobati. Harapnya, Jeni tak lagi memikirkan masa lalu keluarganya yang terlalu pedih untuk diingat.

"Kamu sudah makan, Jen?" tanya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak jauh berbeda dengan Jeni, kecantikannya seperti di turunkan pada putri tunggalnya.

"Sudah, Bu. Tadi sama Wili," jawab Jeni.

"Yah, padahal Mamah sudah masak rendang kesukaanmu. Tapi tidak apa-apa kalau kamu sudah makan," ucap Bu Karin yang tak terlepas dari senyuman.

"Serius, Mah. Aku laper lagi kalau gitu, Mah," timpal Jeni yang tak ingin mengecewakan Ibunya. "Ayo, Mah. Kita makan sudah tidak sabar," imbuhnya seraya menarik tangan Bu Karin untun masuk ke dalam rumah.

Langkah Jeni langsung tertuju pada ruangan dapur, dimana sudah tersedia rendang kesukaannya di meja makan.

Ia memang suka sekali sama rendang masakan Ibunya, sampe nambah berkali-kali. Tapi meskipun begitu, tubuh wanita berlesung pipit itu tetap langsing dan ideal tak sesuai dengan porsi makannya yang banyak.

Kebahagiaan yang terasa semakin sempurna. Impiannya yang selama ingin hanya angan-angan perlahan mulai menunjukan ke arah nyata. Calon suami idaman, ekonomi keluarga yang aman, dan kuliah S1 sampe beres, dan satu lagi kebahagiaan Ibunya. Rasanya itu semua semakin nyata terlihat di depan mata.

"Ya Tuhan, terima kasih banyak atas semua ini," ucap Jeni saat ia merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan wajah menatap langit-langit kamarnya.

Kisah kelam yang di berikan Ayahnya mulai hanyut dari pikirannya. Kini, hanya kebahagiaan yang ada di depan mata menunggunya untuk diraih.

Jeni juga tak akan lupa pada Jefri yang sudah membantunya, meskipun ia hanya masa lalu di dunia kelamnya. Tapi, Jefri yang telah mengangkatnya dari kubang lumpur yang teramat hitam.

Jefri hanya masa lalu, ia tak akan melupakan kebaikannya. Kelak, jika ia sudah menggapai kesuksekan ia akan membalas kebaikan Jefri selama ini.

Goodbye past, welcome future.

***

Pagi ini mentari sudah menyapa kamar Jeni dengan jendela yang masih tertutup rapat.

Rupanya Jeni masih tertidur lelap di ruang kamarnya, tidurnya yang terlarut malam karena harus berjibaku di depan leptop guna menyelesaikan tugas kampusnya, membuat kelopak mata wanita berlesing pipit itu masih tertutup rapat.

Sementara, Bu Karin yang sudah selesai membuat sarapan pagi, melirik benda bundar yang menempel di dinding menunjukkan pukul 09.00 pagi.

"Ya ampun, Jeni. Mentang-mentang ini hari minggu sudah siang begini belum juga bangun. Bukannya mau pergi sama Wili," desis Bu Karin. Gegas ia mengetuk pintu kamar Jeni yang hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

"Bangun, Jen. Ini sudah siang!" Teriaknya seraya mengangkat tangan dan mengetuk pintu kamar Jeni dengan keras. Tak juga ada balasan dari sang pemilik kakar, Bu Karin mencobanya terus agar Jeni segera terbangun.

"Iya, Mah!"

Terdengar suara sahutan dari dalam kamar, rupanya Jeni sudah tersadar dari tidur lelapnya.

Terdengar suara pintu di buka dari dalam kamar. "Kenapa, Mah? Aku masih ngantuk," tanya Jeni dengan mata masih menyipit. Ia hanya mengeluarkan kepalanya dari balik pintu.

"Ya ampun, Jen. Ini sudah jam 9, bukannya kemarin kamu bilang mau pergi sama wili?"

Jeni terperanjak, matanya tiba-tiba membulat sempurna setelah mendengar celoteh Ibunya yang mengingatkannya pada suatu hal. "Ya ampun, Mah. Iyah betul."

Jeni bergegas lari ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. Ia baru saja ingat akan janjinya, jam 10 Wili akan datang menjemputnya.

"Jeni, Jeni. Kebiasaan emang." Bu Karin menggelengkan kepala.

Satu jam lagi Wili akan datang sementara Jeni baru saja bangun dan mandi, belum sarapan apalagi dandan. Terdengar bunyi dering berkali-kali yang menyala di ponsel Jeni yang ia taruh di atas nakas di ruang kamarnya.

Bu Karin yang mendengarnya cukup penasaran, siapa yang berkali-kali menelpon dari tadi. Karena ia pikir takut ada yang penting, Bu Karin mengambil ponsel Jeni di ruang kamarnya kemudian menjawab telpon yang bertuliskan nama "Wili" di layar ponsel Jeni.

"Hallo, Wil. Ini Mamahnya Jeni," ucap Bu Karin pada benda pipih yang telah ia dekatkan ke telinganya.

"Oh iya, pagi Tante. Jeni ada?" tanya Wili pada Bu Karin di dalam sambungan telpon.

"Jeni lagi mandi, Wil. Mungkin 5 menit lagi beres," ucap Bu Karin.

"Oh begitu. Tolong sampaikan saya sebentar lagi jemput ya, Tante." Wili kembali berucap.

"Oke nanti tante sampaikan ya,"

"Makasi, Tante."

Sambungan telpon itu berakhir setelah Wili mengucap salam kemudian menutupnya.

"Kenapa, Mah?" tanya Jeni yang baru saja tiba di ruang kamarnya dan melihat Bu Karin memegang ponselnya.

"Ini Wili barusan telpon, sebentar lagi dia datang jemput kamu," ucap Bu Karin seraya menyodorkan benda pipih itu ke tangan Jeni.

Jeni terbelalak. "Apa!"

Jeni bergegas memilih pakaian yang sopan di dalam lemarinya. Entah karena terburu-buru atau karena grogi, tanpa disadari ia tak sengaja menjatuhkan selembar obat berbenduk bulat kecil-kecil berisi 28 kaplet berwarna kuning dan putih.

avataravatar
Next chapter