1 Adiba Orlin

Jam weker yang berada di atas nakas berdering di angka lima, menit ke empat lima, membangunkan sosok yang masih meringkuk di dalam selimut bermotif bunga sakura itu. 

Adiba Orlin mahasiswa semester enam di salah satu universitas ternama, berkat kecerdasan yang ia miliki wanita itu diberi kepercayaan mendapat beasiswa di negeri Uncle Sam.

Mata sayu itu perlahan terbuka, menoleh seraya mematikan jam yang tadi terus berdering. 

Ia merentangkan tangannya ke atas, guna melenturkan otot-otot yang dari semalam bekerja mengerjakan serangkaian tugas kuliahan sebelum ia membersihkan ranjang dan melangkah masuk ke kamar mandi. 

Sehabis mandi, Adiba mematut dirinya di depan stand mirror. Memakai celana jeans panjang serta baju kaos putih polos. Sedikit mempoles wajahnya dengan foundation dan lipgloss menambah aura kecantikan yang wanita itu miliki. 

Gegas ia melangkah menuju dapur, memasak nasi goreng ceplok sebagai sarapan pagi sebelum ia berangkat menuju kampus. 

***

"Adiba?" Wanita itu menoleh, melambaikan tangan dan mengulas sebuah senyuman. 

"I am sorry, I am late. Apa kamu sudah menunggu dari tadi?" ucap wanita yang kini tengah berdiri di hadapannya. 

Adiba menggeleng. "Tidak aku juga baru sampai."

Dua wanita itu melangkah masuk ke gedung mewah itu. 

Salah satu hal yang paling Adiba sukai adalah literasi, khususnya dalam bidang kepenulisan, baik itu novel maupun artikel. Itulah mengapa wanita itu mengambil jurusan sastra. 

"Literature is a group of works of art made up of words. Most are written, but some are passed on by word of mouth."

Adiba mencatat bait demi bait yang diucapkan oleh dosen di depan papan tulis itu. 

Tak terasa angka jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Adiba berbelok ke salah satu lorong, menuju kantin. Memesan moccacino latte dan beberapa snack sebagai makan siang. 

"Hey, girl. Sendiri, aja? "

Adiba mendongak sejenak, sebelum kembali ke aktivitasnya, mengetik naskah di laptop. 

"Sebaiknya kamu pergi kalau hanya ingin menggangguku, Lex."

Alex tersenyum seraya mendudukkan diri di kursi depan Adiba. 

"Calm down, babe. Biasanya kamu selalu bersama Aisley. Kemana dia?"

Adiba menyipitkan matanya, curiga. 

"Kenapa tiba-tiba kau mencarinya? Apa kau ingin mengganggunya lagi?"

Adiba dan Aisley sudah berteman sejak mereka masuk ke Universitas itu. Walau mereka beda jurusan, tapi persahabatan mereka tak pernah pudar. Adiba gadis sederhana, mandiri, dan periang yang mampu berbaur dan berteman dengan siapa pun. 

Alex tertawa terpingkal-pingkal. 

"Tidak. Aku mencarinya karena aku ingin meminta maaf atas kejadian kemarin."

"Kalau kau ikhlas untuk meminta maaf, kenapa kau tidak datang saja ke rumahnya."

 

Alex menghela napas panjang."Aku tidak ingin mati sia-sia."

Adiba mengernyitkan kening." Maksudmu?"

Alex menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. 

"Apa kau tidak tahu, kalau kakak Aisley adalah seorang Mafia yang berdarah dingin."

"Jangan membuat rumor yang tidak benar, Lex."

Alex tersenyum miring. "Sekarang aku curiga. Apa kalian beneran sahabatan atau cuma sandiwara?"

Adiba menatap tajam ke arah pria berambut kecoklatan itu. "Apa maksudmu?" 

 "Itu bukan sekedar rumor belaka, Adiba. Apa kamu tidak menaruh curiga, mengapa banyak orang-orang yang tidak mau berteman dengan wanita itu?" Alex jeda sejenak. "Itu karena kakaknya. Pria itu tidak segan-segan membunuh siapa pun yang menyakiti adiknya."

Adiba mengangkat telapk tangannya, menyuruh pria itu berhenti bicara. 

"Apa pun statement yang kalian buat, itu sama sekali tidak akan berpengaruh padaku."

Adiba memasukkan buku, laptop dan beberapa peralatan tulisnya ke dalam tas ransel seraya beranjak pergi dari sana. 

Wanita itu tidak suka jika ada orang yang menjelek-jelekkan sahabatnya. 

***

Jiwa kemandirian Adiba sudah tertanam erat, saat Ayah dan Ibunya meninggalkannya, kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Dan tinggal di Panti asuhan. 

"Adiba, tolong bawa minuman ini ke meja 13, ya?"

Selain menjadi Mahasiswa, Adiba juga bekerja sebagai part time di salah satu Cafe yang berada tak jauh dari tempatnya tinggal. Alasan mendasar, wanita itu ingin mencari pundi-pundi penghasilan lainnya, selain uang beasiswa per-bulannya. 

"Selamat menikmati!" ucap Adiba saat setelah menata minuman tersebut di atas meja customer. 

Adiba kembali ke dapur, mencuci piring beserta gelas bekas pakai. 

"Adiba? You had a dinner?"

Adiba menggeleng. "Not yet."

Wanita berambut kuncir itu mendekat. 

"Yaudah, kamu makan dulu. Biar aku yang selesaikan ini."

"Terima kasih, " ucap Adiba, mengulas senyuman. 

Sehabis ke kampus wanita itu akan bergegas ke tempat kerja. Mengganti pakaiannya juga di tempat kerja. 

Demi menghemat biaya, kadang, wanita itu akan membawa bekal yang ia buat sendiri. Sama seperti sekarang wanita itu menyantap masakan yang ia bawa bersama dengan karyawan lainnya. 

"Adiba, kenapa kamu tidak buka restoran sendiri saja?" 

Adiba tersenyum bukan kali pertama pertanyaan itu dilontarkan padanya. 

"Iya, benar, masakanmu sangat enak, Adiba. Aku yakin kalau kamu buka restoran sendiri, pasti akan laku, " ucap karyawan lainnya. 

"Apalagi masakan ini, masakan Indonesia. Belum ada di daerah sini, benarkan teman-teman?"

Mereka semua menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan wanita berbadan Endomorph itu. 

"Doakan saja, semoga aku punya biaya untuk buka restoran sendiri."

Mereka semua mengaminkan doa wanita berkulit langsat khas wanita Indonesia itu. 

Tak ada yang tidak tahu, bagaimana kegigihan Adiba dalam mengenyam pendidikan, juga kegigihannya dalam bekerja. 

"Kenapa kamu harus bekerja? Kan, sudah ada uang bulanan yang kamu terima dari beasiswamu?"

Adiba mengulas senyuman. "Aku hanya ingin menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman dalam dunia kerja."

"Bukan karena uang?" tanya wanita berambut blonde. 

"Iya, kamu benar. Itu adalah alasan paling utama." Mereka berdua tergelak. 

Jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. 

"Adiba, kau belum pulang?" tanya salah satu karyawan yang sudah berdiri di depan pintu. 

"Sebentar lagi, " sahutnya, seraya menata kursi terakhir. 

Tak berselang lama, wanita itu sudah selesai. Mengganti pakaian dan bersiap meninggal Cafe. 

Ia merogoh tas ranselnya, hendak memastikan tidak ada pesan penting yang masuk. Adiba mengerutkan keningnya, ada begitu banyak panggilan dari Aisley. 

Tumben, wanita itu menelponnya sebanyak itu. Tapi, saat Adiba telpon balik, HP Aisley sudah tidak aktif. 

Sudahlah, besok saja ia bertanya pada wanita bermata abu-abu itu, mungkin saja wanita itu ada keperluan padanya. 

Adiba berjalan sendirian, menyusuri lorong jalan setapak, tampak sunyi. Sebagian orang sudah pada terlelap dalam mimpinya masing-masing. 

Mata wanita itu membulat,  beberapa meter di hadapannya, ada tubuh seorang wanita yang tergeletak. Gegas, Adiba berlari, menghampiri wanita tak sadarkan diri itu. 

Adiba membekap mulutnya sendiri saat membalikkan tubuh wanita itu. 

"Aisley!" Tangan Adiba gemeteran. Dari sela rambut kecoklatan Aisley terdapat cucuran darah yang keluar. 

"Aisley, bangun, Aisley. Tolongggg." Adiba tak dapat membendung air matanya yang hendak keluar. Meraung-raung meminta pertolongan, tapi tak seorang pun yang datang. 

Tak berselang lama, beberapa pria dengan seragam kepolisian datang, mengepung tempat itu. 

"Angkat tangan, dan jangan bergerak."

avataravatar