95 BAB 94. PANGERAN

"Pangeran!" panggil mereka sambil memberi hormat pada Barna.

Pangeran? Barna adalah seorang pangeran?

Tapi dia hidup di hutan. Kenapa? Bahkan Nyi Rompah tidak segan-segan memukul kepalanya, seakan dia benar-benar cucunya.

"Syukurlah. Akhirnya kami bisa menemukan pangeran." kata seorang pemuda. Wajahnya tampak lega melihat Barna.

Tetapi tidak dengan Barna. Wajah Barna berubah menjadi sangat buruk. Ada kebencian dan kemarahan yang tergambar di wajahnya.

Barna menarik tudungku lebih dalam dengan kasar, seakan berusaha menyembunyikan wajahku secepatnya, agar orang-orang itu tidak sampai melihatku.

Apakah identitasku berbahaya untuk diketahui oleh mereka? Siapa mereka? Apa mereka orang-orang suruhan Daniel? Tapi sepertinya tidak seperti itu.

Aku tidak bisa bertanya kepada Barna sekarang, karena situasi yang tidak kupahami. Walau aku tidak yakin pernah mengenal mereka, bisa jadi berbahaya untukku.

"Pangeran mari kita pulang." kata seorang yang paling tua, yang sepertinya adalah pemimpinnya. "Yang mulia sudah terlalu lama menunggu Pangeran."

Walau kalimat yang dilontarkan kepada Barna adalah berupa ajakan, tapi dari wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak menyukai Barna.

"Bagaimana jika aku menolak!" ucap Barna sambil tersenyum mencemooh.

"Maka kami terpaksa akan menggunakan kekerasan." jawabnya dingin.

Melihat kekuatan yang tidak berimbang, menurutku melawan bukanlah pilihan yang baik.

Barna tergelak

"Apa kau akan membunuhku? Itukah yang diinginkan Ratu-mu?! bentak Barna

"Barna...."

Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, jari telunjuk Barna menutup bibirku.

"Ssst..." bisiknya di telingaku. "Jangan bicara apapun."

Aku mengangguk.

Barna mendengus

"Kau tentu sangat kesal, paman." ucapnya dengan nada mencemooh.

Pria paruh baya itu membalik kudanya.

"Tentu saja kami tidak akan melakukan itu, Pangeran. Tapi anda harus pulang bersama kami." ucapnya tegas. "Saya khawatir pangeran akan menyesal jika tidak kembali bersama kami."

"Kenapa? Apakah pria tua itu akan segera mati?!" tanya Barna dengan nada menyindir.

"Pangeran!"

Barna sudah memancing kemarahan orang itu.

"Yang Mulia membutuhkan kehadiran Pangeran. Kanjeng Ratu-pun memohon agar Pangeran segera pulang." kata pria yang lebih muda. "Pangeran, Inang Sih sudah cukup tua kesehatannya pun terus memburuk. Saya yakin dia sangat ingin bertemu dengan Pangeran sebelum...."

Pemuda itu tidak melanjutkan kata-katanya. Dia menarik nafas dalam, melihat perubahan pada wajah Barna. Wajah Barna yang sebelumnya keras, kini tampak kebingungan setelah mendengar nama 'Inang Sih' disebutkan. Dia pasti orang yang sangat berarti untuk Barna.

"Kawal Pangeran!" perintah pemimpin itu pada dua orang yang lain.

"Mari, Pangeran." kata pemuda yang tadi menjelaskan tentang 'Inang Sih' kepada Barna.

Barna akhirnya mengikuti mereka. Dua pemuda itu mengawal dibelakang kami. Kami terus berjalan kearah barat. Aku bisa mengetahui dari arah sinar matahari.

"Barna." bisikku. "Kita akan kemana?" tanyaku.

"Pulang." jawabnya singkat.

"Pulang?!"

Aku bingung. Aku harus segera bertemu dengan Aryo. Seandainya Aryo tertangkap, maka aku harus segera menemukan cara untuk membebaskannya. Aku tidak peduli sekalipun aku harus berlutut dihadapan Daniel.

"Barna." bisikku lagi saat dia memacu kudanya lebih kencang.

Barna menoleh kepadaku.

"Aku turun saja disini." lanjutku. "Aku akan...."

"Kau ikut aku!"

Nada bicaranya sangat tegas, bahkan seperti sedang kesal.

"Aku..."

Lengan Barna semakin erat menghimpit tubuhku. Dan dipacunya kudanya dengan lebih kencang lagi. Ketiga orang tersebut berusaha menyamakan laju kuda mereka dengan kuda Barna. Mungkin mereka khawatir Barna akan lolos lagi, jika mereka tidak menjaga jarak mereka.

Setelah sekian lama kami berkuda, sampailah kami di sebuah benteng kota. Barna begitu saja melewati penjagaan hingga sampai ke sebuah istana.

"Pangeran!" seru beberapa orang begitu melihat kuda Barna berhenti. Mereka segera menghambur kearah kami.

Mereka menunduk memberi salam dan hormat kepada Barna. Tapi Barna seakan mengabaikan mereka. Setelah membantuku turun dari kuda, Barna menyeretku dengan langkah lebar untuk masuk ke dalam bagian samping istana tersebut.

Begitu menginjakkan kakinya didalam ruangan besar. Seorang wanita setengah baya tergopoh-gopoh mendatangi kami.

"Syukurlah, pangeran sudah kembali." ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Barna berhenti sebentar menatap wanita itu, tapi kemudian dia kembali menarikku untuk terus masuk ke dalam bagian lain dari istana itu. Wanita itu tetap mengikuti kami dari belakang.

"Tuanku... tunggu!" serunya

Begitu sampai sebuah pintu tertutup yang dipenuhi ukiran indah, langkah Barna terhenti. Dia menghela nafas dengan berat.

"Aku titip dia kepadamu." katanya kepada wanita itu.

Wanita itu tampak masih mengatur nafasnya, setelah nyaris berlarian mengikuti kami.

Wanita itu mengangguk-angguk kepada Barna.

Barna berlalu meninggalkanku bersama wanita itu.

"Putri." ucapnya sambil membungkukkan badannya dan memberi hormat kepadaku.

"Aku..."

Aku ingin memberitahunya bahwa aku bukan seorang Putri. Dia tentu tidak bisa melihat wajahku dengan tudungku yang tertutup rapat. Tapi akhirnya aku putuskan untuk tidak berkata apa-apa dan hanya menanggapinya dengan anggukkan.

"Saya Kepala Dayang Ai. Mari ikut saya, Putri." katanya.

Dia membuka pintu yang ada dihadapanku. Itu bukanlah ruangan seperti yang kupikirkan. Pintu itu adalah penghubung menuju koridor lain di tempat itu. Setelah berjalan melewati beberapa ruangan, kami sampai ke sebuah ruangan terbuka.

"Ini adalah imah Pangeran." katanya. "Disini ada tiga kamar." jelasnya padaku. "Yang diujung paling kanan adalah kamar pangeran. Dan.."

Dia menatapku dengan pandangan bingung. Aku lupa jika tudung kepalaku masih terpasang, bahkan hampir menutupi seluruh wajahku. Lalu aku menjatuhkan tudung dari kepalaku.

Aku bisa melihat bahwa wanita tersebut tampak terkejut melihat penampilanku. Tapi kemudian dia segera menguasai dirinya dan wajahnya kembali seperti sebelumnya.

".. Saya tidak tahu apa hubungan Noni dengan pangeran, tapi saya akan memberikan kamar disamping kamar pangeran." lanjutnya sambil berjalan menuju salah satu ruang yang tertutup.

"Apakah ada yang Noni butuhkan?" tanyanya.

Aku sadar dia beberapa kali mencuri pandang kearah perutku.

"Jika Noni menginginkan sesuatu panggil saja saya. Saya akan tempatkan satu dayang kepercayaan saya disini untuk melayani Noni."

Kamar itu cukup luas dan nyaman.

Tapi jika ini istana, sungguh aneh jika tidak ada seorang penjaga pun yang bertugas.

"Ai!" panggilku. "Maaf, apakah aku bisa memanggilmu Ai?" tanyaku.

Dia mengangguk dan tersenyum. Senyumnya ramah dan hangat, mengingatkanku pada senyum nenekku.

"Silahkan Noni."

"Kemana Barna pergi?" tanyaku.

"Pangeran pasti sedang menemui Inang Sih." jelasnya. "Atau mungkin juga menemui Yang Mulia."

Wajahnya memandangku dengan pandangan prihatin.

Ada apa?

"Semoga mereka semua bisa menerima Noni." katanya sambil menundukkan wajahnya. Wajahnya tampak sedih.

Tunggu?! Menerima? Siapa yang diterima? Aku? Yang benar saja!

"Inang sepertinya salah paham." kataku. "Saya tidak punya hubungan seperti..."

Apakah dia paham apa yang kukatakan?

"... Saya cukup mengenal Pangeran. Dia orang yang sangat keras. Tapi menjadikan Noni calon pendampingnya pasti akan banyak pertentangan." Dia menghela nafas berat. "Tapi Noni tidak perlu khawatir, saya yakin pangeran pasti punya cara. Apalagi Noni sudah hamil." lanjutnya

He?! Het is een verschrikkelijk misverstand! (*Apa?! Ini kesalahpahaman yang mengerikan!)

"Saya akan menjaga ruangan ini, agar tidak ada seorang pun yang masuk dan bertemu Noni."

Aku mengangguk kepadanya.

Sepertinya Barna harus menjelaskan ini semua kepada wanita itu. Kosakataku terbatas sekali. Dia bicara dalam bahasa Sunda.

"Verdomme!" umpatku pelan.

"Noni?"

Dia melihatku dengan wajah bingung.

"Tidak apa-apa. Saya akan istirahat." ucapku kemudian.

Aku tidak ingin kesalahpahaman ini semakin jauh. Aku tidak ingin dia bertanya-tanya kepadaku, karena kemungkinan aku juga tidak bisa menjawabnya dengan baik. Jadi aku putuskan untuk segera mengusir wanita itu dari kamar itu. Aku tidak bohong, rasanya seluruh tubuhku sangat sakit. Aku benar-benar butuh istirahat.

"Saya akan menyiapkan air mandi untuk Noni. Dan Noni bisa beristirahat setelah Noni membasuh tubuh Noni."

"Baiklah." jawabku.

Beberapa saat setelah aku merebahkan tubuhku. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras.

BRAK!

Aku segera terduduk karena terkejut.

"Siapa kamu?" tanyaku

avataravatar
Next chapter