1 Hera, perempuan yang dicintai

Sebuah tivi kabel menyala di ruangan yang remang. Suara riuh dari berita yang menayangkan kerusuhan adalah satu-satunya sumber suara. Seorang laki-laki duduk di sofa panjang. Ia menatap kosong ke arah tivi. Sikunya bertumpu pada lutut. Ia sibuk menggigit kuku-kukunya. Sementara tivi masih menayangkan berita kerusuhan di kota.

Sebelum tayangan berita dimulai, laki-laki itu memasak air. Ia membuat secangkir kopi. Lalu mengoleskan mentega pada dua potong roti. Sebuah lagu dinyanyikannya tanpa lirik. Sebuah nampan plastik berwarna hitam bergambar bunga dipakainya untuk membawa kopi dan piring berisi dua potong roti. Ia membawa nampan itu dengan senyuman yang tergambar di wajahnya. Nyanyian tanpa lirik tetap dilantunkan. Ia berjalan keluar dapur. Melewati ruang tengah, sofa panjang, dan tivi yang menyala.

Ia berdiri di depan sebuah pintu. Ia mengetuk pintu itu lalu membukanya. Beberapa detik ia berdiri di ambang pintu dan melayangkan senyuman. Seorang perempuan berkaos hitam dengan celana dalam terbaring di atas ranjang. Siapapun tidak bisa melihat senyum perempuan itu. Seorang laki-laki yang datang menaruh nampan di atas meja. Ia membangunkan tubuh perempuan itu, mengikat rambutnya, dan melantunkan nyanyian tanpa lirik.

Perempuan itu adalah cintanya. Hidupnya. Hera. Dulu mereka bersahabat. Hera sangat suka kopi. Sering kali ia bercerita pada sahabatnya tentang aroma kopi pada kencingnya saat pagi. Bukan hanya kopi, juga aroma tembakau dari rokok yang dihisapnya sesekali. Saat tersenyum ia manis sekali. Kini sahabatnya itu menyembunyikan senyum Hera agar tidak ada yang memiliki.

Laki-laki itu mengangkat perempuan yang dicintainya menuju kamar mandi. Seluruh kain di tubuh perempuan itu ditanggalkannya. Juga kain hitam yang melilit tubuh perempuan itu. Laki-laki itu memandikan perempuan yang dicintainya dengan tetap tersenyum dan nyanyian tanpa lirik masih dilantunkan.

Hera suka warna hitam, merah, dan abu-abu. Seluruh pakaian yang dimilikinya hanya terdiri dari tiga warna itu. Tak ada warna lain. Ukuran baju dan kaosnya selalu melebihi ukuran tubuhnya yang kecil. Hera hampir tidak pernah menyisir rambut sepundaknya. Ia lebih senang menggelung rambutnya ytang masih berantakan atau sekedar menutupnya dengan topi. Hera menyisir rambutnya ketika ia akan pergi bersama kekasihnya. Dan ketika itu pula sahabatnya akan mengoyak rambut hera yang sudah tersisir rapi. Sahabatnya juga selalu mengatakan kaki Hera terlihat begitu jelek saat ia mengenakan rok pendek. Sahabatnya itu selalu senang pada Hera yang apa adanya dan berantakan dibandingkan Hera yang bersembunyi di balik riasan. Hera yang memakai riasan adalah milik kekasihnya, sementara Hera dengan rambut acak-acaka akan selalu bersamanya.

Selesai memandikan perempuan yang dicintainya, laki-laki itu memakaikan gaun selutut berwarna merah polos. Ia selalu senang melihat perempuan yang dicintainya memakai rok, kakinya terlihat begitu indah. Ia juga menyisir rambut sepundak perempuan itu. Ia membiarkannya tergerai rapi. Laki-laki itu kembali melilitkan kain di tubuh perempuan yang dicintainya. Kain berwarna merah yang sedikit berbeda dengan warna gaunnya. Lagu tanpa lirik masih dinyanyikan laki-laki itu dengan senyum.

Perempuan itu dibimbing laki-laki yang mencintainya menuju sebuah kursi di samping tempat tidur dekat cendela. Laki-laki itu membuka salah satu cendela kaca. Udara dari luar masuk ke dalam kamar. Terdengar suara klakson dan lalu lalang kendaraan di jalan. Perempuan itu memandang jalanan di bawah. Mata laki-laki itu memandang perempuan yang dicintainya dengan sorot binar matanya, bibirnya tak berhenti tersenyum pada perempuan yang dicintainya. Laki-laki itu melepas penutup senyum perempuan yang dicintainya itu. Ia ingin seutuhnyai memiliki senyuman yang diagungkannya itu. Itulah alasan ia menyembunyikan senyuman perempuan yang dicintainya itu di balik plester hitam. Jarinya menyingkap rambut di wajah perempuan yang duduk dihadapannya. Telunjuk dan ibu jarinya mencoba menarik garis senyum di wajah perempuan itu. Tapi senyuman itu lenyap.

Laki-laki itu mengambil secuil roti, menyuapkannya pada perempuan yang dicintainya. Dengan senyuman dan lagu tanpa lirik yang masih selalu dinyanyikan. Perempuan itu menjatuhkan airmata yang sudah tak bisa lagi ditahannya di pelupuk mata. Ia menunduk dan terisak. Selama ini airmatanya selalu dihapus oleh jari laki-laki yang mencintainya. Sekarangpun demikian. Ia masih menunduk dan terisak. Laki-laki yang mencintainya itu meletakkan piring berisi roti lalu memeluknya dengan lembut. Pelukan itu selalu dirasakannya sebagai obat penenang yang menghangatkannya. Tidak dengan sekarang. Pelukan itu dirasakannya sama dengan ikatan kain di lengan dan pergelangan kakinya.

Laki-laki itu menatapnya sembari tetap tersenyum. Mata mereka saling bertemu dan menatap. Perempuan itu menatap mata laki-laki yang mencintainya dengan sisa tangis. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi air matanya kembali jatuh. Tangan laki-laki yang mencintainya kembali mengusap airmata itu.

"Biarkan aku pergi," perempuan itu tak bisa mengatakan kalimat yang lebih panjang, sementara tangis membekukan suaranya. Laki-laki di hadapannya hanya tersenyum dan kembali mengusap airmata yang jatuh.

"Mengapa kau selalu ingin pergi? Aku akan memberikan seluruhnya padamu. Apapun. Kecuali kepergianmu. Kepergianmu adalah kematianku. Apakah kau ingin membunuhku secara perlahan?" laki-laki itu tetap tersenyum pada perempuan yang dicintainya.

"Aku mencintaimu sebagai teman baik. Aku akan tetap tinggal di sampingmu selamanya sebagai seorang sahabat," perempuan itu masih dalam isak tangisnya. Laki-laki itu berdiri. Menghadap cendela. Kedua tangannya di pinggang. Terdengar hembusan napasnya dalam.

"Jangan pernah katakan itu lagi. Bagimu, itu mungkin terdengar sangat ringan, tapi itu terdengar sangat berat dan menyakitkan bagiku. Aku tahu, perasaanku mungkin menyulitkanmu. Sudah kukatakan aku akan mundur sedikit, aku akan menunggumu. Sehingga kau akan merasa nyaman. Aku akan berdiri jauh darimu. Tapi kau yang berusaha lari dan pergi meninggalkanku. Tolong, jangan tinggalkan aku Hera....jangan meninggalkanku," laki-laki itu kembali duduk di kursinya engan penuh permohonan.

"Apa kau sudah gila? Aku harus pergi dari kegilaan ini!" kini ia berusa memberontak.

"Ya.... aku sudah gila. Karena kesedihan ini membuatku gila. Kenapa kau mencoba meninggalkanku? Kenapa? Kekasihmu tak pernah mencintaimu, hanya aku Hera, hanya aku laki-laki yang mencintaimu. Kenapa kau selalu ingin meninggalkanku?"

"Bunuh aku!" mendengar kata kata Hera, laki-laki itu terdiam, keningnya mengkerut, gigi-giginya dirapatkan.

"Bunuh aku! Kalau kau tidak ingin aku pergi, maka bunuhlah aku! Ayo bunuh aku!" perempuan itu berteriak dalam tangisnya. Ia memberontak. Ia menggerakkan seluruh badannya yang dililit kain. Ia tersungkur. Jatuh dari atas kursi yang didudukinya. Perempuan itu masih menangis. Laki-laki yang mencintainya masih berdiri memandang ke arah luar cendela.

Hera membentur-benturkan kepalanya ke lantai. Berkali-kali. Darah mengalir dari kepalanya. Ia masih sadar dan terus membenturkan kepalanya ke lantai. Suara tangisan dan benturan terdengar bersamaan kemudian lenyap. Digantikan suara jarum jam dan tivi yang menyala di ruang tengah. Laki-laki itu menghembuskan nafas yang berat. Ia menunduk dan bergumam.

"Mengapa kau mencoba meninggalkanku dan membuatku menyesal atas kepergianmu?" laki-laki itu berjalan melewati tubuh perempuan yang dicintainya yang terbaring di lantai. Darah menjejak kakinya di lantai kamar.

Ia duduk di sofa panjang ruang tengah yang remang. Tivi menyala. Acara berita menayangkan kerusuhan di kota. Mata laki-laki itu memandang kosong ke arah tivi. Gigi-giginya sibuk menggigit kuku jari tangannya. Bola matanya kemudian bergerak ke kanan dan kekiri dengan cepat. Ia menggerak-gerakkan kakinya lalu berdiri. Laki-laki itu masuk ke dalam ruangan tempat perempuan yang dicintainya. Ia menutup pintu kamar itu. Terdengar suara kunci diputar dua kali. Terdengar suara laki-laki itu menangis. Menangisi perempuan yang dicintainya. Menangisi dirinya sendiri.

Tivi kabel di ruang tengah masih menyala. Suara penyiar berita mengucapkan terima kasih dan menutup siaran. Usai penyiar berita dalam tivi undur diri terdengar dua kali suara tembakan. Tersisa suara jarum jam dan tivi yang masih menyala.

avataravatar
Next chapter