11 Warung Nasi Goreng

Simpan mawar yang ku beri

Mungkin wanginya meng-ilhami

Sudikah dirimu untuk~

Kenali aku dulu

Sebelum kau ludahi aku

Sebelum kau robek hati ku~

Aku bisa membuatmu

Jatuh cinta kepadaku

Meski kau tak cinta

Kepadaku

Beri sedikit waktu~

Biar cinta datang karna telah terbiasa..

Lagu yang berjudul Risalah Hati dengan vokalis Hanin Dhiya itu mengalun indah dalam kamar Nadira. Gadis itu juga ikut menyanyikan liriknya walau nada yang ia keluarkan agak sumbang dan terdengar cempreng!

Tapi kalau Dira sih gak masalah suaranya jelek. Yang penting Dira suka. Udah gitu aja.

"Woy Diraa! Lagunya selow tapi suara kamu tuh gak banget tau gak! Hanin teriaknya gak sejelek itu.. berhenti coba." Interupsi Rendra dari ruang keluarga yang memang terletak di depan kamar Nadira. Dan pintu kamar Nadira sedang dibuka lebar-lebar, sementara Rendra asyik bermain game di ponselnya sambik rebahan di sofa empuk.

Dira berdecak pelan, "kenapa sih bang! Suka-suka gue dong. Lagi seneng juga direcokin." Gerutunya sambil meneruskan kegiatan melipat baju rumahnya yang baru saja kering.

"Gak enak di denger deeekkk.. kalo mau nyanyi boleh. Tapi ditutup kek pintu kamarnya." Protes Rendra lagi.

Dira cemberut dibuatnya. "Kelakuan. Tetep aja jujur banget dihadapan Dira. Iya iyaaa gak nyanyi lagi deh."

Rendra hanya membalas berdehem lalu melanjutkan keasyikannya bermain game di ponselnya.

Ini hari minggu. Dan hanya mereka berdua yang kebetulan tidak ada agenda keluar rumah. Pradipta mengajak Meisya menghadiri undangan pernikahan temannya dan setelah itu tidak langsung pulang. Mereka berdua harus berkunjung ke rumah Ayah dan Ibu dari Meisya di Bogor. Mereka juga sudah bilang kalau bisa-bisa pulang larut karena macet.

"Tumben gak kencan bang?" Tanya Dira setelah lagu yang ia putar durasinya sudah habis dan gadis itu memilih menghentikan semua lagunya.

"Pacar lagi ada acara keluarga di Bandung. Kakaknya Dina yang nomer satu lamaran disana." Jawab Rendra.

Dira mengangguk paham. "Seharusnya abang ikut dong. Kan abang pacarnya mbak Dina nih. Apalagi kalian udah hampir 4 tahun barengan."

"Awalnya gitu dek. Tapi disana digelar khusus keluarga aja. Bahkan kakak Dina yang nomer dua sama adiknya dia juga gak bawa pacarnya. Bener-bener keluarga. Ya abang gak jadi ngikut Dina." Jelas Rendra.

"Oh gitu toh.."

"Kamu sendiri ngapain nggak kencan? Bukannya kata Mama lagi kasmaran sama seseorang?" Tanya Rendra sambil menghentikan gamenya lalu beralih mencari remot televisi dan menyalakan televisinya dengan volume sedang.

Dira dibuat merona pipinya juga gugup sedikit. Gadis itu menggaruk bagian kepalanya yang bahkan tak gatal sama sekali. "Aahh itu.. emm anu bang, belum begitu deket kok. Hehe.."

"Abang cuma pesen aja. Kenali lebih jauh dulu sebelum jalin hubungan ya.."

"Emang kenapa bang? Belum tentu juga kok Dira pacaran sama dia." Ujar Dira.

"Iya abang tau. Ya abang cuma pesen gitu aja ke kamu. Kamu itu cewek gampang baperan. Awas aja kalo sampek sakit hati." Ujar Rendra serius.

"Dih.. iya iyaa.. gak lagi." Balas Dira malas.

"Belajar teliti mulai sekarang. Kamu kan udah kerja. Pikiran harus udah mulai dewasa. Kenali satu demi satu dari setiap orang yang kamu kenal. Belajar dari masa lalu, kamu juga pernah patah hati sama mantanmu itu." Cerocos Rendra mengungkit masa lalu Dira.

Nadira yang sedang melipat kaos rumahan terakhirnya melirik sinis ke arah Rendra. "Dulu ya dulu bang. Itu kan gue masih kekanakan. Gila apa.."

Dan Rendra tertawa keras mengingat dulu saat hampir setahun setengah lalu Dira ditinggalkan oleh mantan pacarnya yang memang sudah lama menjalin hubungan bersama adiknya itu. Rendra hanya mengingat bagian dimana Nadira rela mogok makan dan bolos sekolah hanya demi meraung-raung di dalam kamar dan menghabiskan stok tissu milik Mamanya. Menurut Rendra, kala itu Nadira tidak jauh beda seperti orang gila. Ya jujur saja, bahkan Nadira kemana-mana membawa foto lelaki itu, dan habis itu gadis itu menangis lagi. Sampai rasanya Rendra bosan berada di rumah.

"Ih udah dong bang. Gak usah ngegas juga ketawanya. Dulu ya dulu. Lagi pula gue waktu itu emang berlebihan sih soalnya baru pertama itu diputus sama cowok. Kan biasanya juga gue yang mutusin. Hehe.." ujar Dira receh.

"Hmm ya sudah lah. Ntar sore cari makanan yuk? Mama gak ninggalin apa-apa di rumah nih."

Dira mengangguk menerima ajakan Rendra. "Eh abis maghrib aja bang. Dira pengen nasi goreng nih. Beli yuk ke warung nasgornya bang Mamat yang di perempatan depan perumahan sana?"

Rendra terlihat bepikir sebentar. Apakah perutnya juga menginginkan nasi goreng atau tidak?

"Ya udah abis maghrib aja keluarnya. Abang gak tau nanti juga ikut kepingin makan itu juga atau enggak. Gampang lah yang penting kesitu dulu, kan kamu yang pengen." Ujar Rendra mengalah.

Lalu Dira bangkit dari duduknya berlari kecil menghampiri abangnya itu seraya mencubit keras kedua pipi Rendra hingga laki-laki itu meraung kesakitan.

"Duuuhhh gemes banget deh punya abang baik kayak gini adek makin sayaanggg uluh uluuuhhh.."

"DEK! BERHENTI GAK? GAK ABANG ANTAR LOH!"

Dan setelah itu Dira memilih diam dan berlari ke kamarnya. Sedangkan Rendra mengusap-usap pipinya yang terlihat sangat merah sekali disertai berbagai gerutuan dari mulutnya.

***

Suasana malam sehabis waktu maghrib sudah sepi saja disini. Maklum saja, ini kawasan perumahan dimana orang-orang tertentu saja yang mau bersosialisasi secara ramah dan baik.

Beberapa gang blok per blok dilewati Dira dan Rendra sudah sangat sepi. Hanya ada dua orang yang berjaga ronda di pos perumahan paling depan. Dan hanya dua orang itu yang menyapa mereka berdua ketika melewati pos itu.

Rendra dan Nadira memilih naik sepeda masing-masing. Dira yang enggan diajak naik mobil, katanya sih gini "alah masa cuman ke perempatan depan situ doang naik mobil. Ribet puter baliknya ntar. Naik sepeda aja dah sekalian olahraga kaki bang." Begitu.

Setelah sampai di warung yang dituju mereka memarkir sepeda mereka tepat di sebelah warung nasi goreng tersebut. Terlihat ada dua orang sedang mengantri untuk porsi di bungkus. Rendra mengajak Nadira duduk di kursi kayu panjang yang di sediakan disitu.

"Pesen minum yuk dek. Daripada bengong nunggu agak lama." Tawar Rendra yang langsung diberi anggukan oleh Dira. "Minum apa dek?" Tanyanya.

"Aku apa ya bang.. emm teh anget aja deh. Cocok sama suasananya agak dingin." Jawab Dira.

"Pak Mamat! Minum teh angetnya dua yaa.." teriak Rendra agak keras karena suara bising kendaraan jalan raya.

Pak Mamat yang mendengar itu lalu mengangguk dan menyuruh istrinya untuk membuatkan dua gelas teh hangat untuk Rendra dan Dira. Dan tak butuh waktu lama istri Pak Mamat sudah mengantarkan dua gelas teh hangat itu pada mereka.

"Ini mas mbak diminum.." ujar wanita itu.

Dira mengangguk seraya tersenyum. "Makasih ya buk.. nih mas minum juga." Ujar Dira dengan menyodorkan segelas juga pada Rendra.

"Makasih dek.." ucap Rendra.

Wanita tadi terkekeh geli melihat Nadira dan Rendra. Sementara dua kakak beradik itu hanya saling pandang dengan kedua alis bertautan. Tanda tidak tahu mengapa istri Pak Mamat terkekeh seperti itu.

"Kalian romantis banget. Imut ya pak kalo lihat pasangan suami istri muda kayak gini.." ujar wanita tadi yang biasa disapa Budhe Laras.

Pak Mamat hanya terkekeh saja sambil meneruskan kegiatannya menggorengkan nasi pesanan orang yang telah menunggu di warungnya.

Dira langsung saja menyahut. "Ah maaf ya Bukdhe.. ini mah kakak kandung saya.. bukan suami..hehehe"

Rendra mengangguk setuju.

Budhe Laras tentu saja merasa agak malu karena mengira mereka adalah pengantin baru. "Waduuuhh maaf loh mbak.. tak kirain ya suami istri lawong mukanya mirip gini. Apalagi kelihatan deket gitu. Eh ternyata saudara kandung toh.."

"Haha gapapa budhe santai saja.. kalo gitu kita makan disini saja budhe. Pesan nasi gorengnya agak pedas dua yaa.." sahut Rendra dengan cengirannya.

"Oh iya iya mas ditunggu yaa.." balas Budhe Laras dengan agak canggung.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, mereka berdua telah sibuk dengan ponsel masing-masing. Dira sampai agak menunduk dan rambutnya yang tergerai jadi agak menutupi wajahnya sebagian.

"Pakdhe..! Pesan nasi goreng empat porsi bungkus yaa.." interupsi seorang lelaki yang baru saja datang setelah dua orang lainnya tadi usai membeli.

Nadira yang masih memainkan ponselnya yang sedang ia gunakan berchit-chat ria dengan Dela itu merasa tak asing dengan suara ringan namun tegas itu. Suara yang membuatnya nyaman akhir-akhir ini.

Dira pun mendongak sembari menyelipkan rambutnya ke belakang telinga kanan.

"Mas Asa?"

Yang di panggil menoleh dan memasang wajah agak kaget. Lalu perlahan Angkasa melemparkan senyumnya pada Dira.

Dalam seketika, mereka berdua sama-sama mengingat moment bertemu kemarin siang di kanti  belakang.

"Eh mas Asa udah nunggu lama?" Tanya Dira agak ngos-ngosan karena ia berjalan agak cepat dan kebetulan ia memakai sepatu berhak yang tinggi haknya 5 centimeter.

Angkasa menggeleng lalu tersenyum. "Enggak kok. Ini baru duduk juga setelah chat kamu tadi."

"Oh gitu.."

"Iya.."

Sudah itu saja. Lalu pesan menu dan diam sampai menu mereka datang.

Sebenarnya keduanya bingung hendak mencari topik apa. Namun Angkasa menemukan topiknya terlebih dahulu.

"Kamu sibuk hari ini?" Tanyanya.

Dira memberanikan diri menatap mata Asa. "Ah enggak kok mas. Ringan aja soalnya gak ada banyak dokumen yang diurus."

Lalu Angkasa bergumam saja.

"Kalau mas? Sibuk?" Tanya Dira mati-matian menahan gugupnya.

"Enggak kok sama aja. Malah tadi santai di ruang kerja. Akhir bulan sih, jadi kerjaan agak surut." Jelas Asa yang mulai menikmati suasana.

"Oh gitu yaa.. enak dong gak capek.."

"Iya.. sama aja Dira juga.."

"Ah iya mas.."

Lagi-lagi topik habis. Keduanya sibuk bermain dalam pikiran masing-masing. Memikirkan sebaiknya membahas apalagi setelah ini. Dan akhirnya sampai makanan mereka habis tidak ada dialog lagi. Hanya lirikan demi lirikan di antara keduanya.

Nadira selesai dengan makanannya. Kali ini ia juga sudah kenyang karena minumnya.

"Kenyang?" Tanya Asa.

"Hehe iya."

"Kirain nggak kenyang." Ejek Asa.

"Ih emangnya aku apa makan segini banyaknya nggak ada rasa kenyang?"

"Ya kan siapa tau aja Dira itu suka makan tapi nggak gendut."

"Apaa??!! Idih bilang aja kalo aku gendut mas.."

Horor! Asa rasa Asa salah dalam ucapannya.

"Ah bukan gitu dek.. ya maksud ku itu siapa tau kamu itu suka makanan tapi badannya nggak pernah gendutan gitu loh." Bujuk Asa agar tidak menaikkan darah marah pada gadis dihadapannya.

"Haha iya santai aja mas. Dira tau kok."

"Mau nambah sesuatu lagi nggak?" Tanya Asa menawarkan.

"Enggak deh. Udah kenyang banget ini. Seriusan."

"Oke.. langsung aja nih. Aku ngajakin kamu ketemu disini cuman pengen kenal kamu lebih dekat. Kamu gak keberatan kah?"

Agak lama Dira menjawab. Namun gadis itu bilang 'iya gak keberatan mas'.

"Aku juga minta ijin dari kamu. Kalo semisal aku pengen coba deketin kamu, boleh nggak? Jujur aja. Aku tertarik sama kamu dari awal ketemu kamu. Kalo semisal hal ini mengganggu, aku gak bakal berani deketin kamu lagi Dira.. aku seriusan. Sebuah hubungan gak akan tercipta tampa sebuah ijin dari pemilik hatinya. Jadi, apa boleh aku mendekati kamu?" Tanya Angkasa serius. Untung saja keadaan kantin sepi kali ini.

Dira kelabakan dalam hatinya. Ia berteriak-teriak dalam pikirannya. Rasanya kakinya ingin berlari jauh dan menghentikan waktu begitu saja.

"Emm.. anu.. eh? Aduh gimana ya ngomongnya.." ujar Dira terbata.

Angkasa terkekeh. "Kalem aja dek.."

"Hehe emm.. iya gapapa mas Asa deketin aku. Asal, mas Asa tulus dan mas Asa memang udah ada niat seperti itu. Jangan sekalipun tinggalin niat itu begitu saja kalau aku sudah betul punya rasa sama mas."

Angkasa terdiam sejenak. Kemudian mengangguk. "Iya. Aku janji. Makasih ya Dira udah boleh deketin kamu.. hemm yaa semoga aja kamu secepatnya suka sama aku.."

"Idih gombalnya. Lihat besok-besok deh mas..hahaha.."

"Nakal ya dek Dira ini.."

"Biariiinnn.. belum juga apa-apa."

Diselanya tertawa, Angkasa mengucapkan kalimat yang tidak bisa Dira lupakan. "Maka dari itu, mulai sekarang jangan sungkan-sungkan kasih kabar ke aku ya. Kita kenalan satu sama lain. Sampai bisa kamu juga ada rasa seperti aku."

Dan kala itu, waktu tidak bisa menghentikan mereka berdua. Lelaki bernama lengkap Angkasa Putra, hari itu, saat itu dan di detik itu. Sudah resmi memasuki hati Nadira Aisyah yang lama kosong.

Dan tinggal menunggu waktu yang menjawab, apakah Nadira akan menikmati hubungannya dengan Angkasa seperti ini? Hanya hati mereka yang tahu.

Keduanya seolah kembali terlempar ke dunia nyata. Nadira cepat meneguk teh hangatnya yang ada di samping piringnya. Sedangkan Angkasa memilih segera duduk saja daripada pingsan mendadak.

Seharian tadi Nadira tidak menerima pesan atau kabar apapun dari Asa. Gadis itu sebenarnya menunggu kabarnya, dan mengira Asa akan mengajaknya keluar pergi entah kemana. Ternyata tidak, memang sebuah ekspetasi tidak bisa dibandingkan dengan kenyataan.

Rendra berdehem. "Kamu kenal dia dek?"

"Ah anu.. dia--"

"Kenalin, saya Angkasa Putra. Teman satu kantornya Nadira." Ucap Angkasa dan mengulurkan tangan kanannya yang disambut oleh Rendra.

"Oh itu toohh.. gue Narendra. Abangnya Dira, ternyata elo gebetan adek gue?"

Angkasa agak gugup dibuatnya. "Ah bukan gebetan kok. Teman saja dulu." Jawab Asa singkat. Dan hanya Nadira yang memahami kegugupannya.

"Kok milihnya yang lebih tua dari abang sih dek? Kan jadi gak enak ngobrolnya. Lo umur berapa sih bro?" Tanya Rendra berusaha tetap ramah.

"Saya umur 26 tahun. Tidak usah melihat umurnya mas. Anggap saja kita sebaya."

Mendengar itu Rendra jadi tau, lelaki dihadapannya ini sangat mementingkan kesopanan. Dan Rendra tidak bakal bermacam-macam dengan lelaki seperti ini.

Setelah itu mereka berdua jadi akrab dan menikmati setiap obrolan. Dira bahkan merasa dia yang menjadi obat nyamuknya. Bagaimana tidak? Ia bahkan jadi suntuk karena Angkasa lebih seru mengobrol dengan abangnya yang beda 2 tahun lebih muda dari Angkasa.

Namun Dira senang, satu dari keluarganya jadi tahu, seperti apa sosok Angkasa Putra jika berbicara dekat seperti ini. Nanti malam Dira akan mencubit pipi Rendra keras-keras dan berterima kasih pada abangnya itu karena menerima dengan baik seorang Angkasa seperti yang dilakukan sekarang.

***

avataravatar
Next chapter