15 Tentang Hati yang Berubah

Kedua langkah dengan kaki jenjang itu melangkah dengan tempo yang seimbang. Tidak cepat dan tidak lambat. Langkahnya sangat santai dan tanpa tergesa. Kedua kakinya hari ini dibalut sepatu flat shoes dengan model simple berwarna abu dengan ujungnya yang lancip yang membuat kaki tersebut terlihat elegan.

Gadis itu mulai melangkahkan kakinya memasuki area depan gedung kantornya. Hari ini rambutnya ia gerai dengan sisi rambut bagian kanan agak dijepit ke belakang dengan jepit rambut sederhana. Bajunya kali ini cukup membuatnya terlihat mungil dan cantik. Atasan kemeja berwarna merah muda yang ujungnya dimasukkan ke dalam, disertai rok model A line panjang seukuran mata kakinya yang berwarna abu cerah.

Senyumnya merekah dan menyapa setiap orang yang dia temui. Dan tiba-tiba saja teman perempuannya merangkulnya dari belakang.

"HEYYY!! Diraa... udah sehat?" Sapa Karina dengan nada sangat senang diikuti senyum gadis itu yang Nadira akui bahwa Karina punya pesona dirinya.

"Eh mbak Karin.. hehe iya mbak aku udah sehat alhamdulillah.. maaf ya aku gak masuk jadi kerjaan larinya ke mbak Karin ya?" Tanya Dira dengan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Gapapa santai aja kali.. kan ada Dinda yang bantuin gue.." jawab Karina.

Nadira mengangguk paham saja. Ia biarkan saja tangan kanannya di gandeng oleh Karina. Dan mulai hari ini Nadira rasa, ia nyaman menjadi sahabat Karina.

*

"Mbak Karin bawa bekal?" Tanya Dira yang menghampiri meja Karina yang berada di pojok ruangan dekat jendela.

Karina mendongak dan tersenyum. "Iya nih cuman bawa salad buah kok Ra.. kalo makan siang sih ya tetep makan di kantin. Ini kan baru jam setengah sebelas.. pengen ngemil aja gue.."

"Dira kira mbak lagi diet.. kok bawa salad buah.."

"Enggak.. eh kamu ngapain ke meja gue? Udah kelar juga kerjaannya?" Tanya Karina.

"Iya nih mbak. Bingung mau ngapain di meja. Apa kalo menuju akhir bulan gini ya?"

"Iya Ra.. kita kalo akhir bulan agak nyantai sih. Paling cuman ngurusin orderan customer yang mau diklaim langsung ke pabrik sih.."

Dira mengangguk paham saja. Maklum saja Dira agak pasif di kantor. Karena ia masih beradaptasi dan masih menjaga cara bicaranya dan tingkahnya.

"Mbak Dinda kemana sih mbak?" Tanya Dira yang kali ini celingukan mencari sosok Dinda yang biasanya berkutat dengan laptop di mejanya.

"Dinda biasa lah dia sekarang sibuk dan juga dia jadi di tunjuk suruh buat laporan rapat sama Akbar. Maklum kak Diani itu diem-diem tukang nyomblangin orang loh.." jelas Karina. "Tapi tenang aja.. kak Diani maksudnya itu bikin have fun kok.. gak aneh-aneh.. soalnya disini tuh sering disebut biro jodoh nih Ra.. siapa dicomblangin siapa gitu banyak juga yang jadi suami istri beneran tau.."

"Ahaha beneran mbak? Lucu dong. Kayak tempat ngumpulnya jodoh ketemu jodoh aja dong disini?" Dira terkekeh mendengar lelucon yang diucapkan Karina. Namun memang sebagian Dira dengar sendiri bahwa memang begitu adanya. Rasanya seperti ajang biro jodoh saja, karena memang tidak pernah disangka bahwa banyak yang menjadi pasangan dan bisa disebut 'cinlok' alias cinta lokasi. Dimana memang ada pepatah yang mengatakan bahwa 'Cinta ada karena terbiasa'.

"Dih beneran Raa.. tapi ya gitu, di perusahaan kalo suami istri satu tempat disini harus salah satu mengalah turun pangkat atau yang istrinya aja yang keluar kerja gitu.."

"Oh itu sih Dira paham mbak.. kalo mbak Karin pernah dicomblangin gak nih? Sama siapa cobaaa?" Tanya Dira bermaksud menggoda.

Karina agak diam. Pikirannya kali ini tertuju pada Angkasa lagi. Kemudian ia berusaha menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya. "Ah ada lah pokoknya.. tapi gue udah ada pasangan yang bukan orang sini Raa.. doain aja ya bisa ke jenjang selanjutnya.." ujar Karina tanpa menatap Nadira. Padahal, kondisinya saat ini ia sedang mogok bicara dengan Aris.

Dan Dira memilih tersenyum saja dan mengiyakan. Dira cukup tahu, ada sesuatu dibalik pandangan Karina yang terlihat kosong setelah percakapan itu.

Dira mengelus pundak kanan Karina pelan. "Kalo ada sesuatu, mbak Karin bisa leluasa buat bagi cerita ke Dira kok. Dira bakal jadi pendengar yang baik." Ucapnya dengan tersenyum.

Karina mendongak menatap Dira yang posisinya kali ini duduk sedikit di pucuk meja kerjanya dan menghadap penuh pada Karina yang duduk di kursi nyamannya.

Tidak ada siapapun siang ini dalam ruangan bidang umum. Semua karyawan keluar untuk mengisi perut mereka. Dan Dinda entah pergi kemana bersama Akbar dari bidang rapat.

Air mata Karina mulai menetes perlahan. Membasahi pipinya yang tadi pagi ia tambahkan perona pipi yang kali ini menjadi samar. Menorehkan jejak-jejak air mata yang membuatnya menyedihkan.

"Tumpahin aja mbak tumpahin semua beban mbak Karin. Dira disini temenin mbak Karin.." ucap Dira menenangkan.

Dan pada akhirnya, Karina lelah. Perempuan itu menghampur memeluk pinggang Nadira sambil terisak kecil. Selanjutnya, pun bibirnya ingin mengatakan hal-hal yang mengguncang hatinya saat ini.

"Gue resah Diraa.. gue bingung... gue sayang sama Aris tapi entah kenapa akhir-akhir ini gue semakin yakin kalo perasaan gue ke dia gak bisa untuk selamanya. Rasa gue ke dia mulai berkurang dan semakin habis Raa.. gue bingung dan sekarang ada satu nama yang mengisi otak gue dan perasaan gue. Nama itu yang selalu temen-temen comblangin ke gue. Dan gue udah berkali-kali nolak dia.. tolong bilang ke gue Raa.. ini bukan karma dari cinta kan? Gue gak mungkin suka sama orang yang udah gue tolak berkali-kali. Apalagi dia temen gue sendiri. Gue gak mau. Gue gak bisa untuk suka ke dia Raa.. gue udah ada Aris. Gue bingung...." gerutunya. Karina mengeluarkan semua uneg-uneg dalam benaknya semampu ia bisa. Selama tenaga dalam hatinya begitu tangguh.

Nadira terdiam. Kedua tangannya tak henti bergerak lembut membelai punggung dan rambut perempuan yang kini menangis dipelukannya. Diam-diam hati Nadira ikut teriris entah kenapa. Benaknya ikut bertanya, jika yang disebut Karina 'nama itu' adalah seorang yang sering digunakan para temannya untuk menjodohkannya dengan orang itu, maka lelaki itu bekerja disini bukan? Lalu siapa?

Dan entah mengapa, Nadira ingin mengetahuinya. Bibirnya hanya bisa bungkam dan tak mampu mengeluarkan saran apapun. Karena, hati memang untuk merasa. Tak bisa dibohongi barang sedikitpun walaupun sedetik saja.

"Mbak.. mbak Karin pasti tau kan kalimat ini nih.. 'hati pasti tau arah kemana jalan pulang'. Begitu juga hati mbak Karin, cinta tau dimana rumahnya. Mbak Karin juga akan begitu, dan menemukan seseorang yang nantinya mbak Karin bisa sebut dia rumah dan bisa membuat mbak Karin jadi diri sendiri.. entah itu mas Aris atau bukan, jodoh udah ada yang mengatur mbak.. mbak jangan seperti ini yaa.." ucap Nadira menenangkan. Entah kenapa ia jadi mahir menasehati seperti ini.

Isak kecil Karina berhenti, perempuan itu menarik dirinya dari pelukan Nadira. Menghapus jejak air matanya segera.

"Udah mbak jangan nangis lagi. Bentar lagi karyawan yang lain masuk kesini loh." Ujar Dira, kemudian gadis itu membuka laci meja Karina. Mengambil benda berukuran kecil berbentuk bulat dan persegi panjang. "Nih bedakan sama bibirnya dipoles lagi. Bersihin dulu tuh pakek tissu. Jelek tauk mbak Karin kalo abis nangis. Dira tunggu di kantin oke.." sambungnya dan melesat pergi keluar ruangan.

Karina tersenyum, "Dira bener, cinta tau dimana rumahnya. Ah gue kayak anak labil aja nangis kek gini. Beruntung gue kenal kamu Raa.." gumamnya.

*

"Anjir ngapain sih Bar lo mepet-mepet ke gue hah?" Semprot Dinda galak.

Dalam jarak wajah yang cukup dekat Akbar merasa gugup lalu menjauh dan memberi jarak antara dirinya dan Dinda.

"Sssttt jangan bicara kasar dong Din. Ntar Karin denger kalo lewat kan alamat.." ucap Akbar sambil terkekeh.

Dinda memasang tampang kesalnya. "Ck.. udah deh yuk keluar dari sini." Ajaknya lalu keluar dari balik tembok belokan dekat ruangan umum. "Huh lega gue, hampir aja tadi ketahuan Dira karena dia keluar ruangan tiba-tiba tanpa kita denger langkah kakinya." Sambungnya dengan menghela napas lega.

Akbar masih diam saja di samping Dinda. Lalu Dinda menepuk agak keras lengan Akbar agar lelaki itu tidak terdiam.

"Woy!! Lo kenapa sih?" Tanya Dinda kesal.

"Gue takut aja Din.. sekarang Karin makin kelihatan kan kalo perasaannya tuh berubah ke Angkasa? Yang gue takutin adalah gimana kalo Dira tau tentang perasaan Karina ataupun sebaliknya kan salah satu dari mereka pasti nanti ada yang sakit hati." Jawab Akbar.

Dinda ikut terdiam juga. Perempuan itu juga punya firasat, bahwa nantinya pasti ada sesuatu yang terjadi.

"Ck bawel ah. Mending kita diem aja deh. Dan lo jangan coba-coba keceplosan kalo kita tadi abis ngupingin mereka di ruangan. Awas aja lo.." ancam Dinda dengan kepalan tangannya dihadapan wajah Akbar yang ternyata malah membuat laki-laki itu menahan tawa, karena menurutnya Dinda semakin hari semakin menggemaskan.

***

avataravatar
Next chapter